“Mengetuk Hati Pemerintah: Komitmen Pengendalian Rokok di Indonesia”
Dalam program 100 hari pemerintah SBY-Boediono menempatkan reformasi sektor kesehatan sebagai salah satu dari 15 program prioritas. Presiden SBY mengatakan: “Paradigma meningkatkan kesehatan masyarakat atau sehat itu indah, sehat itu gratis, dalam arti bagi yang tidak mampu, saudara kita yang miskin, sangat miskin, kita dorong untuk sehat dan kemudian tidak harus berobat”. Ini berarti selain pemerintah bertanggung jawab terhadap rakyat terutama rakyat miskin agar mempunyai akses berobat gratis, tapi juga mendorong rakyat agar tetap sehat sehingga tidak perlu berobat (upaya preventif).
Salah satu upaya preventif yang belum digalakkan oleh pemerintah adalah pengendalian konsumsi rokok terutama untuk anak-anak dan penduduk miskin Hasil penelitian menunjukkan rokok mengandung 4000 jenis zat yang berbahaya bagi kesehatan. Data Susenas menunjukkan rumah tangga termiskin mengeluarkan uang yang cukup besar untuk membeli rokok. Pengeluaran ini hanya kalah oleh pengeluaran padi-padian (makanan pokok). Jika rumah tangga miskin dapat mengalihkan konsumsi rokok ke konsumsi lain yang berguna bagi anggota rumah tangga seperti makanan bergizi maka mereka akan lebih sehat dan tidak perlu berobat.
Mengingat pengendalian rokok belum banyak disinggung dalam kebijakan pemerintah SBY-Boediono, maka tujuan konferensi pers ini adalah untuk mendorong pemerintah agar lebih aktif dalam mengendalikan konsumsi rokok agar tujuan reformasi kesehatan “sehat itu indah” dapat tercapai. Pembicara dalam konferensi pers ini adalah tokok-tokoh yang aktif dalam gerakan pengendalian tembakau yaitu Tulus Abadi, Muhammad Joni, Kartono Muhamad, Widyastuti Soerojo, dan Abdillah Ahsan.
Dalam konferensi pers tersebut, Tulus dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia juga tidak mengaksesi FCTC. Sementara itu, RUU Pengendalian Produk Tembakau Terhadap Kesehatan yang sudah mengadopsi isi FCTC masih tersendat di Baleg DPR. Menurut Tulus, jika tidak ada UU yang mengatur peredaran produk tembakau maka upaya untuk mengendalikan konsumsi rokok akan makin sulit, karena perusahaan rokok akan terus mencari pasar baru yaitu anak-anak dan remaja.
Muhammad Joni, saat itu Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak, mengatakan gencarnya iklan rokok di berbagai media merangsang anak untuk mulai merokok, padahal sekali mencoba maka akan sulit bagi anak tersebut untuk berhenti. Kondisi ini karena pemerintah masih mengijinkan perusahaan rokok mengiklankan produknya. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan memberi kebebasan hampir mutlak kepada industri rokok untuk mengiklankan dan mempromosikan produknya ke masyarakat luas. Industri makin leluasa beriklan di berbagai media baik cetak, elektronik maupun media luar ruang. Mengenai uji materi Pasal 46 Ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang penyiaran khususnya soal iklan rokok yang ditolak MK, Joni mengatakan berniat akan melakukan perjuangan untuk memberantas penggunaan rokok dan perdagangan tembakau, salah satu diantaranya dengan mengajukan uji materi kembali ke MK dengan argumentasi yang berbeda.
Berkaitan dengan hilangnya ayat tembakau, Dr. Kartono Muhammad, mantan Ketua IDI menyatakan bahwa hilangnya Ayat (2) Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan mengenai sifat adiksi tembakau dan produk turunannya merupakan tindak pidana. Ada dugaan indikasi kolusi antara oknum Departemen Kesehatan dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penghilangan ayat tembakau yang mencurigakan. Bukti-bukti adanya indikasi ke arah kolusi tersebut sudah dikumpulkan. KPK diminta untuk mengusut kasus ini.
Peringatan bergambar merupakan salah satu cara yang efektif untuk pengendalian rokok. Menurut Dr. Widyastuti Soerojo dari PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), peringatan bergambar pada bungkus rokok sangat efektif dalam upaya mencegah anak-anak mulai merokok dan mempengaruhi perokok untuk berhenti merokok. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) tahun 2007 menunjukkan 76 persen atau lebih dari tiga perempat responden menginginkan pesan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan. Peringatan bergambar pada bungkus rokok luasnya 50 persen dari permukaan lebar depan dan belakang bungkus rokok, letaknya di bagian atas, diikuti tulisan yang menjelaskan gambar dan diganti secara periodik. Perusahaan rokok Indonesia sudah membuat peringatan bergambar bagi produk rokok yang akan diekspor ke negara-negara yang mewajibkan peringatan bergambar seperti Singapura, Brunei, Thailand dan Malaysia.
Sementara itu, Abdillah Ahsan, SE, MSE, peneliti dari Lembaga Demografi FEUI, berpendapat bahwa instrumen cukai merupakan cara efektif untuk menurunkan konsumsi rokok. Menurut hasil penelitian Djutaharta et al (2002) dan de Bayer and Yurekli (2000), kenaikan cukai 10% akan menurunkan konsumsi rokok sebesar 2-3%, dan yang paling sensitif terhadap kenaikan harga adalah kelompok anak-anak. Karena itu, harga rokok yang tinggi juga dapat mencegah anak-anak dan remaja untuk mulai merokok. UU No. 39 tahun 2007 tentang cukai menetapkan cukai rokok maksimal 57% dari harga jual eceran, sementara saat ini rata-rata cukai rokok baru 38%. Jadi masih ada banyak ruang untuk menaikkan cukai rokok sesuai dengan UU Cukai.