Menguji Dokter Asing UU Kesehatan: Tidak Konstitusional?!

Oleh: Advokat Muhammad Joni

Supremasi hukum kudu dipertahankan, walau disodorkan perihal dokter asing. Ikhwal pengaturan Tenaga Kerja Asing yang diatur UU Cipta Kerja, telah diuji berkali-jali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terakhir tebitnya Putusan MK RI Nomor 168/PUU-XXI/2023.

Putusan MK RI itu berdampak pada pengaturan doktera asing. UU Nomor17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur  Tenaga Medis spesialis dan sub spesialis warga negara asing lulusan luar negeri (yang dikenali sebagai  dokter asing).

Dokter asing dibolehkan dengan syarat  tingkat kompetensi tertentu. UU Kesehtan  mengguakan frasa “komptensi tertentu”, sebagai alasan dokter asing  dapat berpraktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Alasan itu diikuti dengan  dengan tiga syarat (1) terdapat permintaan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menggunakan; (2) untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan; (3)  untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dan hanya untuk 2 (dua) tahun berikutnya [vide Pasal 251 ayat (1) huruf c].

Opini ringas kali ini fokus menyentuh hal sensitif bagi dokter, yakni kompetensi. UU Kesehatan menggunakan frasa “kompetensi tertentu” sebagai dalil primer meloloskan masuknya dokter asing. Sepotong frasa, sepenggal kalimat,  bahkan satu kata  pun penting dalam kaidah hukum konstitusi apalagi  konstitusi itu sendiri.  Bahkan  ada pakar konstitusi dengan ekstrim menyebut satu titik [‘.”] maupun koma [“,’’] penting dalam tafsir konstitusi.

Majelis Pembaca yang bersemangat. Penggunaan frasa “kompetensi tertentu” itu adalah norma yang tidak pasti atau multi tafsir  yang jika dinormakan ataupun diterapkan merugian hak konstitusional warga anggota  masyaraat atas kepastian hukum yang adil Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, terlebih dalam negara huu demokratis (democratisch rechtstaat).

Mengapa? Karena  dalam kalkulasi yang logis dan penalaran yang wajar, frasa “komoetensi tertentu” yang tidak pasti itu area abu-abu masuknya wewenang tertentu yang bisa menyingkirkan Tenaga Medis Indonesia akibat  tanpa pembatasan yang jelas dan rigid. Tanpa batasan yang pasti dan jelas hanya untuk kompetensi tertentu mana saja, dan tidak disebutkan hanya untuk kompetensi medis yang sama sekali tidak tersedia di Indonesia. Analisis sedemikian  merujuk pertimbangan hukum  Putusan MK RI Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang  landmark decition dan dinilai  kaidah hukum yang progresif:  pro tenaga kerja domestik.

Juga, ketentuan pasal 251 ayat (1) huruf c UU Kesehatan merupakan pengaturan Tenaga Medis pekerja asing  terikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (2 tahun dan diperpanjang 1 kali untuk 2 tahun), maka ketentuan itu  tidak sesuai dengan jangwa waktu paling lama 2 (dua) tahun dan perpanjangan 1 (satu) kali untuk paling laa 1 (satu) tahun yang dipatok daam  Putusan MK RI Nomor 168/PUU-XX/2023 yang membatasi tenaga kerja asing.

Kiranya, konstelasi pengaturan dokter asing dalam UU Kesehatan pun berubah.  Apalagi, PP Nomor 28 Tahun 2024 pun tidak mengatur apa kriteria “kompetensi tertentu”, hanya mengatur prosedur formal bagaimana rekognisi menjadi dokter asing di Indonesia. Hanya penjagaan teknis pun kompetensi medis saja, bukan mengawal “kompetensi” secara yuridis konstitusionalitas dokter asing. Tetap menyala dokter Indonesia. Tabik. (Advokat Muhammad Joni, S.H., M.H., Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universtas Sumatera Utara).

Leave a Reply