Mengusung “Layanan Puncak” JKN Anak: Apa Perintah Konstitusi?

Anda peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)? Istri anda hendak melahirkan? Bersiaplah untuk bersiaga paling siaga. Siapkan dana ekstra. Kalau perlu debatlah negara! Mengapa?

Diwartakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 25 Juli 2018 tidak menjamin atau menanggung persalinan bayi yang lahir sehat. Kepala Humas BPJS Kesehatan membenarkan, per Rabu (25/7), BPJS Kesehatan menerapkan beberapa Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan No. 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat.

Konon, dalih terbitnya peraturan ini mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Khususnya Pasal 24 Ayat 3 yang menyebutkan, BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.

Ups.., tunggu dulu, interupsi sebentar. Walau cuman dengan peraturan tingkat Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan, bukan dengan Peraturan Menteri Kesehatan apalagi dengan Peraturan Presiden, amat patut disoal mengapa bayi lahir sehat tidak dijamin JKN?

Apa salahnya anak lahir sehat? Bukankah setakat ibu melahirkan bayi itu beresiko tinggi bagi nyawa ibu dan bayi?

Bukankah bagi anak melekat hak hidup (right to life) dan hak kelangsungan hidup (right to survival). Bukankah itu hak utama (supreme right) yang tidak boleh dikurangi walaupun sedikit.

Enggan bising debat normatif. Duhai negara, rujuklah ulasan profesi kedokteran. Pantas mencermati sikap profesional berbasis kompetensi kedokteran yang diungkap PB IDI kritisi peraturan BPJS Kesehatan.

“Peraturan ini diterapkan jika tanpa kordinasi akan merugikan masyarakat. BPJS itu stakeholder pelaksana, walau alasannya untuk efisiensi, tetap regulasi ada di tangan Kemenkes”, ujar Ketua Umum PB IDI, Prof Ilham Oetama Marsis kepada detikHealth, Selasa (31/7/2018).

Dari Medan, sahabat saya Dr. Khairani Sukatendel, Sp.OG yang menangani pasien persalinan ibu dan membantu lahiran bayi hari demi hari, berpendapat kencang. Katanya,

“Ini Kemunduran pelayanan kesehatan. Selama ini setiap bayi lahir di fasilitas kesehatan, semua wajib diperiksa dokter anak satu kali. Setelah kebijakan ini tentu tidak lagi”.

“Bayi yang lahir kelihatannya sehat, belum tentu seperti yang terlihat. Diagnosis bayi sehat atau sakit, tentu dari dokter anak yang lebih berkompeten menilainya”, ulas Dr.Rani.

Mencermati itu, patut dikuatirkan keadaan persalinan bayi makin tak terlayani. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lembaga negara perlindungan anak, sepatutnya merespon segera.

Sekalian usung layanan puncak JKN Anak. Dr.Susanto, Ketua KPAI patut sampaikan policy brief itu kepada Presiden. Mencegah darurat layanan kesehatan bayi yang dilahirkan via JKN.

Elok jika policy brief layanan puncak JKN Anak itu, diintegrasikan dalam rancangan Perpres Jaminan Kesehatan yang tengah digodok tingkat kementerian. Mumpung belum dikirimkan kepada Presiden. Pastikan pula asas nondiskriminasi anak dalam JKN, jangan ada pasal yangbbedakan anak dari perkawinan yang sah dengan yang tidak. Usah cari soal baru melawan asas universal nondiscrimination itu.

Sekali lagi, resiko kematian anak bagaimana pun musti ditekan. Tidak bisa dibiarkan. Malah musti dengan upaya progresif dan pencapaian penuh (progresively and full achievement). Itu watak universal. Artinya, tak tepat kebijakan jalan mundur terhadap layanan persalinan bayi, meminjam frasa Dr. Rani yang jajaran PB IDI.

Pendapat itu relevan dengan layanan kesehatan anak musti bergerak progresif dan pencapaian penuh. Jalannya makin maju. Capaiannya penuh. Tidak setengah hati. Baik kualitas layanan maupun jangkauan kepesertaan anak pada JKN. Apapun kondisi dan pertimbangannya.

Dasarnya? Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 23/2002) menganut asas Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child).

Malah asas itu pertimbangan paling puncak (paramount consideration), dibandingkan pertimbangan lain. Termasuk pertimbangan anggaran, misalnya. Ringkasnya, untuk anak “tidak boleh coba-coba”. Sebab mereka “putra putri kehidupan”, merujuk syair Kahlil Gibran. Abaikan anak, jangan pula menjadi soal konstitusi.

Mencermati keadaan mutahir penyelenggaraan JKN anak itu, maka rujukan yang sahih dan mulia adalah menggunakan takaran asas hukum dan konstitusi.

Ada 6 (enam) landasan yang bisa jadi basis argumentasi mengapa JKN Anak tidak boleh diabaikan, walaupun cuman sedikit. Dengan kerentanan anak, JKN anak mustinya masuk layanan puncak (paramount services). Atau layanan premium meminjam istilah Dr.Chazali Situmorang, Ketua Dewan Jamjnan Sosial Nasional (DJSN) periode 2011-2015.

Hemat saya malah progresif jika kebijakan JKN premium untuk ibu melahirkan dan kelahiran bayi. Sebab menyangkut hak atas hidup dan kelangsungan hidup anak. Hak yang utama (supreme right).

Ohya.., berikut ini 6 basis argumentasi perlunya layanan puncak JKN Anak.

Pertama, asas larangan diskriminasi (nondiscrimination principle) pada anak/bayi lahir sehat dengan yang lainnya. Sebab anak/bayi yang dilahirkan dala kondisi krusial atas hak hidup.

Asas nondiscrimination itu bersifat universal yang dianut dalam segenap konvensi internasional utama perihal HAM.

Andai kebijakan JKN itu benar nyata membedakan bayi lahir sehat dengan yang lain, sulit membantah soal itu serius dan bisa mencecah asas larangan non diskriminasi. Para pembuat kebijakan dan regulator JKN musti paham bahwa persamaan dihadapan hukum adalah hak konstitusional (vide Pasal 27 ayat 1 UUD 1945).

Kedua, asas the best interest of the child yang malah dikokohkan sebagai perimbangan puncak (paramount consideration).

Karakteristik bayi, pun bayi lahir sehat, masuk kualifikasi rentan. Sebab itu diakui hak anak atas kelangsungan hidup (right to survival), dan tumbuh kembang (right to development), yang perumusannya dengan sengaja dirangkai dalam satu tarikan nafas tak terpisahkan. Asas yang bertemali dan tak terpisahkan. Mulai dari KHA yang diambil alih utuh UU 23/2002, karena anak apalagi bayi termasuk kualifikasi kelompok rentan.

Ketiga, untuk bayi yang lahir sehat, pun sejak dalam kandungan menghendaki upaya terbaik (best effort). Ini aplikasi dari prinsip progresively and full achievement dari Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ECOSOC Rights) yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia. Menjadi negara pihak (state party) ECOSOC Rights Convention yang harus membuat laporan nasional.

Mustinya, sejalan waktu dan kemajuan pelaksanaan jaminan sosial maka JKN anak makin menanjak ikhwal skala dan kualitas layanannya. Bukan sebaliknya.

Keempat, pemenuhan hak anak (right of the child) sebagai hak asasi manusia (human rights). Hak anak adalah HAM. Apalagi atas hak hidup yang supreme right. Pembaca, adalah tanggungjawab konstitusional negara, terutama pemerintah atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM (vide Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).

Kelima, pemenuhan hak anak atas JKN, sangat kuat justifikasi konstitusionalnya. Sebab terhadap anak/bayi dilahirkan terpaut 3 (tiga) materi-substansi hak konstitusi. Yakni hak jaminan sosial (vide Pasal 28H ayat 3 UUD 1945), hak pelayanan kesehatan (vide Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), dan hak kelangsungan hidup anak, tumbuh dan berkembang anak anak, serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi (vide Pasal 28B ayat 2 UUD 1945).

Trio substansi-materi hak konstitusi itu, satu kesatuan melekat pada anak/bayi yang dilahirkan, pun janin dalam kandungan.

Keenam, hak konstitusi atas perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil (vide Pasal 28D ayat 1 UUD 1945). Sebab kalau kebijakan internal operator akhirnya menyebabkan terhalangnya bayi sehat atas JKN, maka peraturan setingkat direktur mustinya tidak boleh seinci pun menegasikan hak konstitusional anak.

Dari 6 butir ulasan di atas, kuat alasan yang bersumber dari perintah konstitusi untuk mengusung layanan puncak terhadap anak dalam JKN. Demi “putra putra kehidupan”. Demi anak, “Don’t wait tomorrow. Their names is TO DAY”. Allahu’alam. Tabik.

Leave a Reply