Menimbang Hunian Berimbang (2): Kewajiban “Konkuren” Pemerintah Dan Nonpemerintah
Pertanyaan mendasar yang mesti dijawab adalah kewajiban siapa menyediakan rumah bagi MBR?
Jika Hunian Berimbang adalah jurus bijak mengatasi backlog dan menyediakan persedian rumah bagi MBR, patutkah kewajiban Hunian Berimbang hanya dinormakan kepada pelaku pembangunan non pemerintah? Adakah dukungan peran Pemerintah dan pemda?
Karena merumahkan MBR kewajiban Pemerintah, maka aneh jika skema Hunian Berimbang tidak didukung dengan bantuan dan fasilitasi dan Pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam kedudukan sebagai pemampu (enabler).
Padahal sudah jelas urusan perumahan rakyat merupakan urusan wajib konkuren (bersama) antara Pemerintah (pusat) dan pemda sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014.
Semestinya, jika kewajiban Hunian Berimbang dibebankan kepada pelaku pembangunan, maka secara bersamaan diwajibkan pula kepada Pemerintah dan pemda memberikan dukungan dan fasilitasi. Sebab, yang dibangun adalah rumah umum dan rumah susun umum untuk MBR.
Justru aneh dan melawan logika jika UU PKP kua normatif mewajibkan pelaku pembangunan melakukan Hunian Berimbang, namun Pemerintah dan pemda hanya diam saja dan membiarkan tanpa adanya kewajiban dari Pemerintah dan pemda sendiri.
Apa kewajiban Pemerintah dan pemda? Merujuk Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU PKP, Pemerintah dan pemda wajib memberikan kemudahan dan bantuan baik kebijakan yang pro MBR, subsidi dan insentif untuk membangun rumah bagi MBR. Hemat penulis, tentunya termasuk dengan skema Hunian Berimbang.
Namun, jika merujuk Pasal 34 ayat (4) UU PKP hanya menormakan Pemerintah dapat memberikan insentif untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang. Ketentuan itu merupakan reduksi atau pengurangan kewajiban Pemerintah dan Pemda.
Mengapa? Sebab menurut Pasal 54 UU PKP kewajiban memenuhi perumahan rakyat untuk MBR, yakni rumah umum bersubsidi adalah kewajiban Pemerintah.
Malah, Pemerintah dan pemda diwajibkan, sekali lagi diwajibkan memberikan kemudahan dan/atau bantuan yang eksplisit dalam Pasal 54 ayat (3) UU PKP, termasuk perizinan, penyediaan tanah, prasarana, sarana dan utilitas.
Jika merujuk Pasal 34 ayat (4) UU PKP, Pemerintah hanya dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang. Yang dipergunakan kata “dapat” bukan “wajib”.
Padahal, Hunian Berimbang sebagai jurus mengatasi backlog. Jurus menyediakan rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR. Yakni, dalam konteks melaksanakan kewajiban Pemerintah yang eksplisit dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP.
Tersebab itu, mestinya Pasal 34 ayat (4) UU PKP itu bukan menggunakan kata “dapat” namun menggunakan kata “wajib” sehingga mengikat Pemerintah.
Bahkan bukan hanya wajib memberikan insentif, namun wajib memberi kemudahan dan bantuan versi Pasal 54 ayat (3) UU PKP kepada pelaku pembangunan yang melaksanakan hunian berimbang, misalnya dengan memudahkan perijinan, penyediaan lahan murah untuk rumah umum bagi MBR.
Acap kali, kata “dapat” muncul dalam Undang-undang (UU) karena keragu-raguan pembuat UU, atau bisa jadi karena adanya titipan dalam pembuatan norma UU, yang menginginkan norma UU tidak efektif diterapkan.
Sekadar informasi, ada sekitar 16 kata “dapat” ditemukan dalam UU PKP. Patut mewaspadai penyamaran kepentingan dalam bentuk norma yang mengunakan kata “dapat” itu. Bahkan sampai-sampai kata “dapat” itu acap kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan dikabulkan MK.
Tepat jika Hunian Berimbang menjadi kewajiban konkuren antara pelaku pembangunan dengan Pemerintah, termasuk pemda.
Karena itu beralasan jika ada pendapat bahwa Pasal 34 ayat (4) UU PKP yang menggunakan kata “dapat” untuk peran Pemerintah, norma yang menghambat pelaksanaan Hunian Berimbang dan ragam pasokan rumah umum bagi MBR.
Ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 54 UU PKP dan bahkan hak konstitusional bertempat tinggal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan bagi pelaku pembangunan, pemberlakuan Hunian Berimbang karena terikat dengan asas Partisipasi dan Kemitraan sebagaimana Pasal 2 UU PKP dan Pasal 2 UU Rusun.
Tersebab itu aneh jika dilakukan kriminalisasi jika tidak melaksanakan hunian berimbang. Padahal Pemerintah belum memberikan fasilitasi kemudahan dan bantuan.
Termasuk pula belum bisa diberikan sanksi administratif Pasal 150 UU PKP, sebab Pemerintah belum menyiapkan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP).
Jika Pemerintah (pernah) tergopoh-gopoh membuat laporan kriminalisasi ataupun penjatuhan sanksi administratif namun tidak merujuk kepada PP yang diperintahkan pasal 150 ayat (3) UU PKP, itu melanggar asas legalitas dan asas kepastian hukum. Ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Sumber
Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).