Menimbang Hunian Berimbang (3): Jangan Hambat Akses MBR
Tak lagi terbantahkan, kebutuhan perumahan bagi MBR merupakan kewajiban pemerintah. Ketentuan itu eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 2011 (“UU PKP”). Kewajiban itu berasal dari amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan kemudian eksplisit dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP.
Lantas, apakah kewajiban Pemerintah itu digeser menjadi kewajiban nonpemerintah? Penurunan derjat kewajiban asli Pemerintah itu terjadi dengan ketentuan Hunian Berimbang yang hanya mewajibkan badan hukum swasta pelaku pembangunan.
Merujuk ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU PKP, badan hukum non pemerintah berkewajiban melakukan pembangunan perumahan Hunian Berimbang yang tidak dalam satu hamparan. Ditentukan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota. Kata yang digunakan “harus”, bukan kata “wajib” bukan pula kata “dapat”
Dalam upaya melaksanakan kewajiban merumahkan rakyat yakni rumah umum bagi MBR, dan mengatasi backlog apalagi dalam situasi Darurat Perumahan Rakyat, tidak beralasan menghambat pembangunan rumah umum bagi MBR.
Apakah ketentuan Hunian berimbang itu menghambat MBR?
Penormaan Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan namun harus dalam satu kabupaten/kota adalah menghambat (blocking) pemenuhan rumah umum bagi MBR jika dibatasi hanya dalam satu kabupeten/kota. Padahal, pembangunan rumah MBR mestinya mengikuti permintaan dan lokasi dimana MBR berada.
Alasan lain? Jika regulasi membatasi Hunian berimbang tidak satu hamparan namun harus dalam satu kabupaten/kota, hal itu menghambat akses MBR terhadap pasokan rumah umum termasuk dengan skema Hunian Berimbang.
Semestinya, tidak ada hambatan regulasi untuk pelaksanaan kewajiban Pemerintah dan pemda merumahkan MBR. Hemat saya, regulasi yang menghambat pemenuhan rumah MBR adalah bertentangan konstitusi dan vis a vis kewajiban Pemerintah dalam UU PKP.
Jika Hunain Berimbang untuk mengatasi backlog dan memenuhi kebutuhan rumah MBR yang merupakan kewajiban Pemerintah, logis jika Pemerintah dan pemda wajib memfasilitasi pelaksanaan Hunian Berimbang.
Bentuknya? Memberikan “bantuan” dan “kemudahan” yang diamanatkan Pasal 54 UU PKP. Termasuk pula “insentif” Pasal 34 ayat (4) UU PKP. Karena semangat UU PKP memberikan kemudahan dan bantuan, aneh jika terbit norma yang semangatnya menghambat Hunian berimbang untuk pasokan rumah MBR.
Tersebab itu, Pemerintah dan pemda mestinya mendukung Hunian Berimbang dengan membiarkan pembangunan rumah umum mengikuti kemana dan dimana MBR itu berada. Walaupun lokasinya tidak dalam satu kabupaten/kota.
Disinilah perlu ijtihat dan instrumen RPP yang menjembatani kewajiban konkuren Pemerintah dan pemda untuk pelaksanaan Hunian berimbang yang melampaui kabupaten/kota.
Lintas Kawasan
Kerabat saya bekerja di perusahaan gas swasta berkantor di kawasan Kuningan Jakarta, namun bertempat tinggal di Bekasi, jaraknya tidak jauh dari Jakarta. Kerabat yang lain, bekerja di perusahaan pembiayaan di Jalan Sudirman, Jakarta namun berumah di Serpong, Propinsi Banten.
Jamak orang menjadi penumpang bus kota atau kereta komuter setiap hari. Menjadi komuter. Jutaan orang menjadi komuter. Bekerja di Jakarta namun menetap di luar Jakarta.
Jika jutaan kaum komuter yang bekerja di Jakarta adalah warga MBR yang masih menyewa rumah atau masih menumpang di rumah keluarga, akankah logis dan bijak badan hukum membangun rumah MBR harus pada kota yang sama di Propinsi DKI Jakarta? Tentu saja tidak logis dan tidak bijak.
Lagi pula, faktanya pertumbuhan kawasan dan kebutuhan rumah MBR yang menjadi warga kota mandiri atau kawasan bertumbuh yang lintas kabupaten/kota, baik satu Provinsi ataupun berbeda Propinsi, seperti Cibubur atau Cimanggis terhadap Bekasi, Depok dan kabupaten Bogor, atau seperti Cibubur dan Cinere terhadap Jakarta.
Bukankah keberadaan MBR, pertumbuhan kota dan kawasan, dan perlintasan pekerja termasuk MBR, tidak terbatas hanya dalam lingkungan satu kabupaten/kota? Lumrah, arus MBR melewati batas administrasi formil otoritas pemerintahan.
Karena itu tidak tepat membatasi kewajiban Hunian Berimbang harus dalam satu kabupaten/kota yang sama.
Postulatnya: membangun rumah umum bagi MBR, ikuti kemana MBR berada, tak usah tergopoh harus dalam satu kabupaten/kota. Biarkan jika dalam kabupaten/kota berbatasan.
Dengan argumentasi itu, beralasan jika mendorong Hunian berimbang yang luwes yang tidak tersandera sekat administrasi pemerintahan.
Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita. Sumber