Menimbang Hunian Berimbang (4): Yang Terhormat Presiden
Akankah bijak dan logis membangun rumah MBR dengan skema Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan, harus dibangun dalam satu kabupaten/kota? Bukankah jamak kawasan perumahan dan permukiman tumbuh mengkota dan kembang menjadi kota mandiri, namun melampaui batas administrasi pemerintahan.
Jamak kaum MBR yang berada di kawasan mengkota yang tumbuh menjadi kota mandir, namun belum memiliki rumah. Akankah logis jika kaum MBR harus memperoleh rumah di kabupaten/kota yang sama? Padahal acap kali kota tumbuh dan mandiri itu terhampar pada kawasan lebih dari satu kabupaten/kota.
Dengan demikian, pembatasan Hunian Berimbang harus dalam satu kabupetan/kota tidak logis jika mengikuti kebutuhan MBR dan lokasi MBR berada. Karena itu, tidak relevan norma hukum yang harus membangun rumah umum untuk MBR dengan skema Hunian Berimbang dalam satu kabupaten/kota.
Pembatasan itu seakan kaum MBR tidak bergerak dinamis, persediaan tanah dan harga tanah bersifat stagnan dan homogen, padahal pilihan dan kebutuhan rumah MBR bersifat cair, adaptif, berbeda sesuai kemampuannya.
Sehingga pembangunan rumah umum MBR dengan skema Hunian berimbang harus dalam satu kabupaten/kota, telah keliru mengasumsikan watak MBR bersifat statis. Padahal MBR itu dinamis dalam arusnya dan beragam dalam kemampuannya.
Fenomena kaum MBR yang menjadi komuter merupakan bukti tidak relevannya sekat formil administratif dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang maupun papan. Tersebab itu, regulasi Hunian Berimbang mesti logis, bijak, luwes dan jangan dipaksakan penerapannya berbasis formil administrasi pemerintahan kabupaten/kota, atau harus dalam satu kabupaten/kota yang sama.
Logis jika membangun rumah umum bagi MBR diterapkan berbasis kebutuhan MBR, lokasi MBR, ketersediaan tanah untuk membangun rumah MBR dalam skema Hunian Berimbang sekalipun.
Hal itu relevan pula dengan rancangan kebijakan tata ruang dan wilayah kota yang terintegrasi di kota besar dan kota metropolitan.
Tersebab itu, dewasa ini muncul kebutuhan akan regulasi penataan kawasan terintegrasi, melewati kabupaten/kota bahkan propinsi, seperti halnya gagasan RUU Kawasan Megapolitan.
Kua tioritis, hukum itu logis, selain sebagai norma (logic and norm). Namun hukum harus menciptakan manfaat sebesar-besarnya bagi orang sebanyaknya.
Artinya, kebutuhan rumah umum bagi MBR tidak logis dan tidak bermanfaat jika diatur berdasarkan sekat administrasi pemerintahan kabupaten/kota. Bukankah kebutuhan “makan siang” orang Jakarta tidak harus dibeli dari rumah makan di Jakarta. Rumah tempat tinggal MBR yang bekerja di Jakarta, aneh jika dibatasi hanya wajib diperoleh di kawasan Jakarta saja.
Idemditto, apakah kebutuhan beras warga Cibubur hanya bisa dibeli di pusat pasar atau pasar modern di kawasaan “kota mandiri” Cibubur saja? Tentu saja tidak, bisa saja dibeli di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, atau Kota Depok. Permintaan selalu mengikuti kemana penawaran, dan melewati batas administrasi kabupaten/kota. Begitu pula sebaliknya. Begitu pula halnya dengan kebutuhan rumah MBR.
Karena itu biarkan saja membangun rumah MBR dalam skema Hunian Berimbang mengikuti kebutuhan MBR dan lokasi MBR berada. Termasuk membolehkan Hunian Berimbang tidak satu hamparan yang berbeda atau lintas kabupaten/kota bersebelahan, atau bahkan lintas propinsi yang berbatasan.
Kembali soal kota bertumbuh dan Hunian Berimbang. Kerap kali pembangunan perumahan dan kawasan permukiman tertentu tumbuh sebagai pusat konsentrasi penduduk. Dengan daya dukung fasilitas dan infrastruktur kawasan permukiman itu menggeliat menjadi kota baru, kota terpadu, kota mandiri, kota industri, atau kota non-otonom. Acap letaknya terhampar pada kawasan yang tidak satu kabupaten yang sama, bahkan propinsi berbeda.
Kua tioritis, perkembangan kawasan yang tumbuh mengkota itu acapkali walapun tanpa otoritas kota, namun saling mempengaruhi (resiprokal) dengan daerah kawasan sekitarnya. Termasuk munculnya back-wash effect, gejala urban sprawl, dan perkembangan kawasan wilayah penyangga (hinter land).
Tersebab itu, keliru jika UU PKP membatasi pembangunan rumah umjum bagi MBR dalam skema Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan namun harus dalam satu kabupaten/kota. Ketentuan itu melawan fakta dan tak sesuai tiori.
Sekaligus, norma seperti itu menghambat kaum MBR memperoleh rumah. Tentu saja melawan hak konstitusionalnya atas hak bertempat tinggal, dan vis a vis kewajiban Pemerintah memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
Dengan argumentasi itu, beralasan jika mendorong Hunian berimbang yang luwes yang tidak tersandera sekat administrasi pemerintahan.
Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita. Suimber