Menimbang Hunian Berimbang (5): Rumah Umum = Rumah Sederhana?
Mengapa Pemerintah berkepentingan dengan Hunian Berimbang? Sebab, Hunian Berimbang relevan dan dimaksudkan mendukung Pemerintah menyediakan rumah bagi MBR. Pun demikian mengurangi backlog kebutuhan rumah yang layak huni dan terjangkau.
Kua normatif, ketentuan Hunian Berimbang dalam UU No. 1 Tahun 2011 ( UU PKP) mengandung berbagai soal yang justru tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Malah menghambat pemenuhan rumah umum dengan skema Hunian Berimbang.
Seri sebelumnya mengulas tidak konsistenya kewajiban Pemerintah, dan degradasi kewajiban Pemerintah dengan Pasal 34 ayat (4) UU PKP menjadi hanya sekadar “dapat” saja.
Soal lain, ketentuan Hunian Berimbang salah kaprah. Mengapa? Jika cermat diteliti ketentuan umum UU PKP, maka Hunian Berimbang tidak memiliki rasio legis yang jelas dan tidak terkait defenisi Rumah Umum sebagai rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Tersebab itu, pemenuhan kebutuhan Rumah Umum bagi MBR yang merupakan kewajiban Pemerintah. Karenanya, sekali lagi, kewajiban Hunian Berimbang kepada badan hukum non-pemerintah bukan kewajiban originalnya. Namun kewajiban turunan dari Pemerintah. Tak elok jika norma UU PKP justru membiarkan kewajiban turunan Pemerintah kepada non pemerintah itu tanpa kemudahan dan bantuan Negara.
Mari menelaah ketentuan Hunian Berimbang Pasal 35 ayat (1) UU PKP yang mengkonstruksikan Hunian Berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. Tidak terkait dengan Rumah Umum, oleh karena dalam UU PKP tidak terdapat korelasi antara defenisi Rumah Umum dengan rumah sederhana.
Suharso Monoarfa, mantan Menteri Perumahan Rakyat setakat diskusi “Menyoal Kriminalissi Hunian Berimbang” yang dilaksanakan HUD Institute, pernah mengemukakan tidak adanya korelasi antara defenisi Rumah Umum yang untuk MBR dan bersubsidi itu dengan jenis rumah versi Pasal 35 ayat (1) UU PKP: rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
Rumah Umum belum tentu rumah sederhana, bisa saja rumah sederhana termasuk rumah non subsidi yang dibangun dan dibeli non MBR, tersebab harganya bukan harga rumah yang bisa disubsidi, sehingga bukan rumah umum untuk MBR.
UU PKP membedakan jenis rumah menjadi rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus, dan rumah negara (Pasal 21 ayat (1) UU PKP) dan bentuk rumah dibedakan atas rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun (Pasal 22 ayat (2) UU PKP).
Rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana merupakan konsepsi rumah ditinjau dari segi harga rumah. Pernah ada Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 yang menentukan harga rumah mewah setara dengan 4 (empat) kali harga jual rumah sederhana.
Hal ini tidak berdasar karena bukan keadaan yang sebenarnya. Jika harga rumah umum misalnya di Provinsi Jawa Barat katakanlah Rp.115 juta, apakah logis mendefenisikan harga rumah mewah menurut sebesar Rp.460 juta?
Lebih logis jika dasar perhitungan Rumah Umum dengan Rumah Mewah adalah berdasarkan luasnya, bukan berdasaran harganya.
Selanjutnya, jika pelaksanaan Hunian Berimbang dikaitkan dengan harga Rumah Umum, yang berbeda tiap daerah/propinsi, maka ketentuan hal ikhwal lebih teknis-operasional Hunian Berimbang mestinya diserahkan kepada regulasi daerah saja.
Banyak ketentuan Hunian Berimbang dalam UU PKP mesti diubah. Merujuk Oswar Mungkasa, pelaksanaan Hunian Berimbang perlu panduan terinci dan fleksibel sesuai kondisi daerah. UU PKP masih perlu penyesuaian terutama terkait kewajiban Pemerintah dan Pemda mendukung Hunian Berimbang.
Karena, untuk melaksanakan Hunian Berimbang, dukungan Pemerintah setidaknya pengenalan konsep ‘freezing’ terhadap harga tanah, penyiapan bank tanah, penerapan kembali (revitalisasi) skema Kasiba dan Lisiba melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba (Oswar Mungkasa, “Catatan Kritis Hunian Berimbang”, Majalah HUD Magz, Edisi 4, 2013, hal. 21].
Hukum yang baik dan efektif bukan hanya jaya sebagai norma, namun bisa diterapkan dan logis serta berguna bagi kewajiban konstitusional Negara.
Kua tioritis, sekecil apapun kritik atas norma UU bahkan bisa jadi muncul sebagai unjuk rasa atau uji materil, hal itu merupakan bentuk ketegangan sosial (social tention) yang menjadi alasan untuk menyesuaikan hukum. Dengan cara merevisi dan memperbaharuinya.
Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita. Suimber
Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).