Menimbang Hunian Berimbang (9): Perbanyak Ruang Partisipasi
Apa yang terjadi Pemerintah tanpa masyarakat? Apa yang dibanggakan dengan fasilitas pelayanan publik, tanpa peranserta dan partisipasi pelaku non pemerintah alias masyarakat? Apa yang terjadi jika fasilitas pelayanan publik seperti transportasi, sekolah/universitas, fasilitas kesehatan, air bersih, pengelolaan sampah, tanpa peran swasta?
Mudah ditebak. Tugas pelayanan kebutuhan dasar akan stagnan jika hanya mengandalkan Pemerintah. Demikian pula halnya dengan penyediaan perumahan rakyat untuk MBR. Penyediaan rumah bagi MBR, bahkan Program Sejuta Rumah (PSR) justru dengan mengandalkan kontribusi dan peranserta pelaku pembangunan non pemerintah.
Dasarnya? Mari sejenak mencerna amanat konstitusi dan UU PKP. Kua juridis-konstitusional, badan hukum non pemerintah bukan penerima amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Bukan pula penyandang kewajiban aseli dari UU PKP yang berkewajiban menyediakan rumah bagi MBR. Termasuk ikhwal Hunian Berimbang.
Peran dan tanggungjawab badan hukum non pemerintah, konteksnya melakukan partisipasi sesuai asas kebersamaan dan kemitraan Pasal 2 UU PKP. Mengapa? Karena tidak semua urusan aseli eksekutif dapat ditanggulangi sendiri Pemerintah sehingga UU PKP membuka jalur peranserta masyarakat.
Buktinya, Pemerintah masih saja meminta partisipasi pelaku pembangunan swasta menyediakan rumah umum bagi MBR. Selaku provider rumah bersubsidi, termasuk dalam Program Sejuta Rumah, bahkan dahulu Program Rusun 1000 Tower.
Dapat dipastikan, hampir seluruh pelayanan publik tidak mampu ditangani utuh dan seluruh oleh Pemerintah, misalnya transportasi publik (darat, laut, udara), fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, pendidikan dasar, menengah, tinggi. Bahkan Pemerintah tak segan mengundang pelaku usaha asing mengelola urusan publik semisal menyediakan kereta cepat Jakarta Bandung, transportasi udara murah (low cost carrier/LCC).
Namun peranserta non pemerintah itu tidak menafikan tugas Pemerintah tetap wajib memberikan bantuan dan subsidi kepada pelayanan publik. Artinya? Mendelegasikan kewajiban pelayanan publik kepada badan hukum non pemerintah, tidak menghilangkan kewajiban aseli Pemerintah sesuai konstitusi dan UU, yang memegang amanat kekuasaan eksekutif.
Tersebab itu, logikanya jangan dibolak balik. Kewajiban Hunian Berimbang jangan hanya dibebankan kepada badan hukum non pemerintah, sementara Pemerintah hanya fakultatif. Yakni, bisa membantu bisa pula tidak sama sekali, dengan menggunakan dan berdalih dari kata “dapat” dalam Pasal 34 ayat (4) UU PKP. Ketentuan ragu-ragu itu mendegradasikan kewajiban Pemerintah.
Andaipun ketentuan Hunian Berimbang untuk rumah tapak dirancang dengan rasio 1:2:3, hal itu merupakan norma partisipasi non pemerintah terhadap perumahan rakyat (public housing) untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
Dalam kondisi Pemerintah tidak mampu melaksanakan urusan pelayanan publik secara utuh dan seluruh, jurus apik dan bijak dengan membuka lebar pintu partisipasi. Mengerakkan asas kebersamaan dan kemitraan. Tidak ada yang dirugikan dan tidak merendahkan wibawa pemerintah jika membuka selebar-lebarnya keran partisipasi masyarakat.
Mendudukkan posisi non pemerintah dalam melakukan peran partisipasi termasuk dalam Hunian Berimbang diamini Yayat Supriatna, pakar planologi Universitas Trisakti yang juga Dewan Pakar The HUD Institute. Menurut Yayat Supriatna, Pemerintah mestinya membuka lebar ruang dialog dengan partisipansi sebagai upaya turut menuntaskan defisit perumahan atau backlog.
Secara objektif, diakui adanya hambatan dan efek negatif harga jual dan permodalan jika dilakukan Hunian Berimbang tanpa bantuan dan dukungan Pemerintah. Tanpa kelonggaran Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan dalam satu daerah kabupaten/kota.
Harga jual bisa naik sampai 90%, sebagaimana hasil studi Perum Perumnas yang diungkap Muhammad Nawir, Direktur Perum Perumnas setakat Diskusi Seri 1 “Optimalisasi Hunian Berimbang untuk Program Sejuta Rumah” yang digiatkan HUD Institute, 7 April 2016 lalu.
Jika menelaah RPP PKP yang tengah digodok Pemerintah, ketentuan Hunian Berimbang tidak dicarikan solusinya secara kreatif dan luwes dalam RPP PKP, semisal bisa di kabupaten/kota berbeda yang berbatasan dengan mensyaratkan kerjasama antar daerah ataupun mengacu kebijakan rencana tata ruang dan wilayah strategis bagi kota bertumbuh atau kota mandiri baru.
Lagi pula, ketentuan Hunian Berimbang tidak satu hamparan namun dalam satu daerah kabupaten/kota versi Pasal 36 ayat (1) UU PKP, bukan kemestian yang mutlak tetapi ragu-ragu. Mengapa? Sebab Pasal 36 ayat (1) UU PKP menggunakan kata “harus”, bukan wajib. Sehingga maksud asli pembuat UU PKP membuka peluang terobosan dan langkah afirmatif.
Berbeda dengan Pasal 54 ayat (1) UU PKP yang menggunakan kata “wajib”. Tentu penggunaan kata “wajib”, “harus“, ataupun “dapat” dalam frasa dan kalimat UU PKP bukan tanpa maksud dan rasio hukum.
Perancang RPP PKP yang megatur Hunian Berimbang tidak cermat memahami maksud asli UU PKP, yang mestinya mengadopsi konteks, teks, asas, dan kemanfaatan norma bagi melaksanakan kewajiban Pemerintah sesuai konstitusi dan Pasal 54 ayat (1) UU PKP.
Lebih parah lagi jika penyusunan RPP PKP tidak mengakomodasi pandangan, masukan dan aspirasi publik. Mestinya membuka selebar-lebarnya ruang dialog substantif-aspiratif antara Pemerintah dengan non pemerintah.
Hal itu penting dan prinsipil, karena yang hendak diatur dalam RPP PKP adalah ikhwal kewajiban aseli Pemerintah yang dikombinasikan secara konkuren dengan partisipasi non pemerintah.
Singkatnya, Pemerintah tidak boleh tergopoh menutup diri dengan dialog substantif dalam merancang RPP PKP. Jika ikhwal kenyamanan investasi asing, Pemerintah membuka sekat dan hambatan, melakukan relaksasi dan deregulasi dengan Paket Kebijakan, mengapa tidak untuk urusan perumahan rakyat dimana Hunian Berimbang sebagai salah satu jurus mengatasi defisit rumah?
Sekali lagi, mestinya Pemerintah tidak boleh mematikan ruang dialog dan sebaliknya membuka lebar keran partisipasi. Jika perlu disempurnakan dengan prosedur pengawasan dan pengendalian yang ketat, jelas dan terukur, akuntabel, transparan, dan melibatkan pengawasan publik.
Beralasan pula membuat mekanisme yang akuntabel dan menyediakan pengawas perumahan (housing inspector) yang bersama-sama dengan institusi publik menjadi pengawas yang tegas untuk kepatuhan Hunian Berimbang. Hemat penulis, HUD Institute bisa diandalkan merancang proposal kebijakan Pengawasan Hunian Berimbang dengan melibatkan institusi publik.
Semakin banyak dialog dan ruang partisipasi untuk melaksanakan tanggungjawab Pemerintah, berbanding lurus dengan efektifitas fungsional Pemerintah. Pun demikian, tidak serta merta dimaksudkan menganulir kewajiban aseli Pemerintah melaksanakan tugas konstitusionalnya.
Tak elok jika mengalihkan kewajiban eksekutif itu kepada non pemerintah. Apalagi mengancamnya dengan kriminalisasi, baik Hunian berimbang untuk rumah tapak maupun rumah susun. Kalau UU PKP tidak ada sanski pidana Hunian Berimbang, apa logikanya sanksi pidana ikhwal Hunian Berimbang dalam UU Rumah Susun? Kriminalisasi UU Rusun harus ditinjau ulang. Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita. Sumber
Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)