Menyoal Dokter Layanan Primer (2): Layanan atau Kompetensi?

Apakah dokter layanan primer (DLP) itu kompetensi atau sistem layanan? Itu pertanyaan yang mesti dijawab, karena secara kelakar dan liar bisa muncul pertanyaan akankah setelah dokter layanan primer muncul pula kehendak membuat kelas baru lagi: dokter layanan sekunder dan dokter layanan tersier?

Padahal jika merujuk UU Kesehatan yang menormakan dikembangkannya sistem layanan untuk menata pelayanan kesehatan, yakni layanan primer, layanan sekunder dan layanan tersier.

Jika merujuk kurikulum pendidikan profesi dokter, sebenarnya dokter atau general practitioner (GP) sudah dibekali dan dididik memiliki kapasitas melakukan layanan primer di garda depan seperti klinik, puskesmas, ataupun rumah sakit.   Kua kompetensi, pendidikan profesi dokter itu sendiri, kalaupun hendak memberi kapasitas dalam hal ikhwal layanan primer, sudah terpenuhi dengan pendidikan dokter karena sudah termasuk jenis kemampuan dokter umum sesuai Standar kompetensi Dokter (SKDI) sebagaimana dirumuskan dalam Area Kompetensi 7.15. (vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012).

Apakah layanan primer itu ketrampilan klinis? Mari merujuk SKDI 2012, yang dalam Area Kompetensi 5 mengenai Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran maupun Area Ketrampilan Klinis, namun tidak termasuk di dalamnya layanan primer sebagai Ketrampilan Klinis Dokter. Mengapa? Karena layanan primer adalah sistem layanan alias manajemen bukan kompetensi klinis/medis. Ekstrimnya, programnya pendidikan manajemen layanan kesehatan bukan  pendidikan kedokteran.

Oleh karena itu, tidak ada urgensi membentuk kelas baru dan pendidikan DLP karena kemampuan layanan primer sudah   mampu ditangani oleh dokter umum.   Tak cuma itu, alasan lain yang patut diajukan bahwa tak ada urgensi membentuk kelas baru DLP karena Ogranisasi Profesi IDI dengan Kolegium sebagai “institut pendidikan” profesi kedokteran mampu melaksanakan pendidikan dan pelatihan dokter layanan primer secara terstruktur dengan program P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) atau Continuing Profesional Development (CPD) bagi seluruh anggota. Materinya mencakup pengembangan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) serta sikap (attitude) dokter.

Bahkan P2KB itu dirancang dengan biayanya lebih efektif (cost effective) dan kompetensi sesuai kebutuhan lapangan, dan tak mesti mengikjuti pendidikan formal seperti DLP yang mengharuskan hadir ke perguruan tinggi lagi.

Kalaupun hendak memberi bekal kepada dokter melakukan layanan primer, namun mengapa mesti membuat kelas baru DLP dan membuat program pendidikan (prodi) DLP tersendiri? Bahkan telah ada universitas yang membuka prodi DLP dan menerima pendaftaran mahasiswa DLP.

Padahal untuk membentuk prodi kedokteran bukankah mesti mendapatkan rekomendasi dari KKI? Bagaimana bisa KKI akan menerbitkan rekomendasi sedangkan statatus DLP sendiri tidak dikenal dalam sistem registrasi KKI.

Namun, kalaupun hendak menilai urgensi DLP, cobalah ditelaah dari SKDI 2012 yang memasukkan kemampuan layanan kesehatan primer hanya satu jenis kemampuan Area Kompetensi 7 (Pengelolaan Masalah Kesehatan), yakni 7.15. Prinsip pelayanan kesehatan primer, dari sejumlah 18 items Area Kompetensi 7 (Pengelolaan Masalah Kesehatan).

Sangat berlebihan jika membuatnya menjadi sebuah prodi DLP tersendiri, malahan membuat kelas baru profesi dokter sebagai DLP. Sementara itu perihal kemampuan layanan primer hanya 1 (satu) item kemampuan dari 18 (delapan belas) items Area Kompetensi 7 (Pengelolaan Masalah Kesehatan).

Kalau pembuat UU hendak memenuhi tantangan layanan primer, maka yang dibenahi adalah sistem layanan kesehatan atau manajemen pelayanan kesehatan, bukan membentuk kelas baru DLP.

Dengan penormaan DLP yang menambah panjang jenjang layanan kesehatan di layanan primer, maka akses pelayanan kesehatan sebagai hak konstitusional versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjadi terhambat dan tertunda.

DLP menunda keadilan terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Delayed of justice is denied of justice.

Leave a Reply