Menyoal Sistem Perlindungan Anak
Konsolidasi lembaga dan komisi negara perlu dilakukan untuk efektivitas pemerintahan. Kira-kira demikian Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyoroti banyaknya komisi negara yang dibentuk atas dasar undang-undang maupun konstitusi. Ahli hukum tata negara itu juga mempertanyakan efektivitas perannya.Jadi, kalaupun dibentuk tim seleksi, tim itu hanya menguji 2 aspek, yakni aspek kelengkapan adminsitasi dan aspek kua-kualitatif. Selanjutnya, pemilihan secara demokratis untuk memenuhi aspek ketiga, yakni aspiratif dan supportif dari stakeholder yang digelar melalui forum nasional.
Sepenting apakah lembaga negara untuk anak? Di tengah ancaman kehilangan generasi anak-anak Indonesia, seleksi calon anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mulai diluncurkan. Mestinya lembaga itu tidak hanya untuk pendatang baru, namun juga untuk anggota KPAI edisi lama yang masih mencalonkan lagi. Bahkan sepatutnya sejajar dengan mekanisme seleksi, setiap anggota KPAI wajib merilis kinerja personalkepada publik sebagai wujud public accountability.
Menoleh ke masa lampau, pascalahirnya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dibentuklah KPAI yang konon mengemban amanat Pasal 74, 75, dan 76 UU tersebut. Pada periode perdana, entah alasan apa, tanpa menunggu kelahiran keppres tentang KPAI yang diamanatkan Pasal 75 ayat 4 UU 23/2002, pemerintah haqqul yaqin lebih dulu memroses seleksi calon-calon anggota KPAI sebelum turunya keppres KPAI. Di sinilah mulainya semaian delegitimasi sosiologis KPAI.
Pembentukan KPAI yang dalam berbagai negara diposisikan sebagai lembaga independen dan menjalankan legal standing bagi anak, tentunya wajib mengacu pada Pasal 74, 75, dan 76 UU 23/2002. Dalam hal pembentukan KPAI, Pasal 75 ayat 4 UU 23/2002 menegaskan peraturan organis Keputusan presiden, yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan keputusan presiden.” Selain sungsang, pembentukan KPAI menurut berbagai opini stakeholders, mengandung berbagai isu krusial.
Isu Krusial
Pertama, perlu memastikan di manakah posisi KPAI dalam tata pemerintahan di Indonesia. Apakah kedudukan KPAI yang didesain UU 23/2002 sebagai lembaga independen merupakan pendelegasian otoritas kekuasaan eksekutif? Apakah otoritas yang didelegasikan kepada KPAI sebagai ‘agen’ berasal dari Pemerintah sebagai principal-nya?
Posisi dan kedudukan KPAI dalam UU 23/2002 adalah independen, mestinya KPAI tidak dimaksudkan untuk menjadi ‘perpanjangan fungsi’ eksekutif. Akan tetapi, posisi KPAI dalam tata pemerintahan, jika ditilik dari sifatnya yang independen, harus bebas dari intervensi eksekutif dan legislatif. Walaupun, tidak berarti KPAI mesti secara absolut lepas dari kolaborasi dengan eksekutif dan legislatif.
Kedua, bagaimana kedudukan KPAI dalam integrated criminal justice system di Indonesia. Karena dalam Pasal 76 huruf a UU 23/2002, disebut salah satu tugas KPAI adalah menerima pengaduan masyarakat. Apakah pengaduan masyarakat yang dimaksudkan idem ditto seperti pengaduan korban pencari keadilan kepada lembaga penegakan hukum (polisi, atau jaksa) sebagaimana dalam KUHAP? Tugas KPAI menerima pengaduan dan melakukan penyelidikan apakah dalam konteks pro justisia? Hal ini guna menghindari KPAI bertindak overlapping dan tanpa dasar yang sah, untuk menerima pengaduan dan melakukan penyelidikan –yang menurut KUHAP, UU Kepolisian, dan UU Kejaksaan– hanya menjadi otoritas kepolisian dan kejaksaan.
Di samping itu, untuk menghindarkan pembiaran, apabila KPAI tidak menindaklanjuti pengaduan dan penyelidikan, maka tugas KPAI makin tak berbentuk. Yang pasti, tugas KPAI menerima pengaduan masyarakat bukan dalam konteks penegakan hukum, sebagaimana polisi dan jaksa. Kalau tidak dalam konteks pro justisia, lantas dalam konteks manakah KPAI bertugas menerima pengaduan?
Ketiga, oleh karena KPAI adalah bersifat independen maka seperti halnya lembaga independen lain prosesnya mesti melalui mekanisme tes kepatutan dan kelayakan oleh parlemen. Mekanisme seleksi ini dalam negara yang masih menganut demokrasi perwakilan dilakukan melalui DPR yang menjadi perwakilan rakyat, persis seperti pemilihan anggota KPU, KPI, Komnas HAM.
Oleh karena UU 23/2002 hanya menentukan pertimbangan dari DPR, cara tersebut berarti menghapuskan esensi mekanisme demokrasi. Karena itu, esensi dan prinsip demokrasi dalam pemilihan anggota KPAI perlu direvisi guna menghadirkan mekanisme seleksi yang demokratis.
Mekanisme itulah yang harus didesain sebagai forum nasional perlindungan Anak. Jadi, esensi dan prinsip demokrasi tetap terjaga –sehingga logis jika media tersebut disusun dengan prosedur teknis dan tata cara yang dikukuhkan dengan keppres, bukan melalui perangkat Tata Tertib KPAI.
Prinsip ini sejalan dengan Principles Relating to the the Status of National Institution (Paris Principles) yang disetujui Majelis Umum PBB tahun 1993. Prinsip tersebut secara eksplisit menyebut soal pemilihan yang demokratis, dan bukan sebaliknya, hanya melalui proses tim seleksi yang eksklusif.
Keempat, oleh karena keberadaan KPAI merupakan lembaga independen yang kental dengan refleksi keragaman masyarakat sipil, maka dalam UU 23/2002 komponen masyarakat yang diperlukan bukan yang bersifat segmentasi, tetapi merupakan komponen kualitatif. Lagipula, menurut UU 23/2002 tidak benar jika sembilan unsur KPAI menjadi semacam ‘fraksi-fraksi’ di KPAI.
Pandangan sedemikian, sejalan dengan persyaratan dari Prinsip Paris yang dikenal dengan keragaman representation of civil force. Kontrasnya, bukanlah menjadi tidak sah jika keanggotaan KPAI nantinya kurang atau malah melebihi komponen masyarakat. Bisa jadi kualitas personal seorang anggota KPAI bukan saja refleksi dari suatu unsur.
Kelima, mandat yang diemban berdasarkan UU 23/2002 hanya membentuk KPAI, dan karenanya tidak ditemukan pada pasal-pasal UU 23/2002 perintah membentuk KPAI daerah. Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 75 ayat 4 hanya dalam konteks KPAI (pusat), dan bukan dalam konteks KPAI Daerah. Tidak terdapat rujukan yang valid untuk membentuk KPAI daerah sebagai separated legal entity. Harus bisa dibedakan KPAI di daerah sebagai perwakilan (representative office) dari KPAI (di pusat), dan bukan sebagai lembaga yang merupakan entitas hukum terpisah (separate legal entity).
Justru pemerintah harus melakukan penguatan dan membangun respektabilitas lembaga perlindungan anak (LPA) yang secara eksplisit ditegaskan kedudukannya dalam Pasal 72 ayat 2 UU 23/2002. Pemerintah juga patut mengapresiasi partisipasi masyarakat membangun 30 LPA provinsi, dan belasan LPA di tingkat kabupaten yang merupakan prestasi penting dalam gerakan perlindungan anak di Indonesia.
Republika, Rabu, 21 Februari 2007