Merah Jingga Interaktif … (1)

SENJA YANG MENOMBAK

TOD Senen, Jakarta 01 Juli 2022: 18.55 WIB.

Senja bertahta menguasai langit Senen. Mahkotanya terbuat dari berkas cahaya. Untuk mengerti dia, pembaca harus percaya ada kuasa cahaya di atas cahaya; nur alan nur, cahaya dari cahaya; cahaya yang bercahaya.

Kekuasaannya seluas mata sehat mengindera. Kekayaan jagatnya sebanyak galian perkakas batin. Usia kekaisaran senja selama surya menakdirkan sepasang (sang) siang dan (aduhai) malam. Manfaat-maslahatnya sebanyak mengerti arti berkah, dalam majaz dan hakiki.

Takaran itu semua dalam sukat buatan akal-budi ruhani manusia. Satu diksi yang dipinjam untuk mewakilinya, mugkin jauh dari tepat, adalah keajaiban senja, walau novel ini lebih suka menyebut “Berkah Senja”.

“Berkah Senja” itu ….? Letaknya tergantung tinggi mendekat aras langit, tak ada yang bisa mencegahnya mengeluarkan warna merah jingga.

Pengaruhnya kuat sampai kepada makhluk penduduk bumi. Pengaruhnya menentukan kelakuan dan kebiasaan, mengajarkan insting insaniawi membuat api unggun sampai membangun tamadun.

Dia isyarat menyuruh petani pulang, nelayan balik ke pantai, burung jalak pulang ke sangkak, mendidik anak-anak pergi mengaji, menjadikan senja inspirasi, dan selebihnya (statistiknya lebih banyak lagi): senja adalah alegori yang tak habis tak kikis mengajari.

Nun, masih ada awan berlapis yang bergumpal-gumpal, cocok seperti fitur digital prakira cuaca: ‘Jakarta Cerah Berawan’. Pertanda terik siang tadi begitu gagah.

Melangak-lah sedikit ke arah barat, geser perlahan ruas buku tulang leher bawah kepala, 10 derjat saja, angkat bola mata seakan hendak menemui bulu-bulu alisnya.

Itu gestur yang ideal dan simpatik cara menengok molek langit merah jingga, dengan hati yang hudhur –kehadiran batin yang terkoneksi dengan Tuhan.

Merah jingga hadir setiap kali sang surya menua sempurna, binar sinarnya memalap tiris nyaris habis paling habis, kikis paling kikis (walau itu kelemahan manusia yang paling nyata, melihat hanya dengan mata kepala, melihat cahaya dibalik senja perlu “mata” yang lain).

Senja menjadi episoda abadi pertukaran hari yang magis dan alegoris: dari gagahnya sang siang kepada lembutnya aduhai malam.
Mungkin karena dianggap biasa, banyak yang alpa legitnya keajaiban senja, tak lagi merasa senja bukan peristiwa biasa yang paling biasa, walau senja cuma transit, sependek usia magrib, jamak pesan ajaib, walau mengintiminya perlu ratib dan latihan batin.

Menterlantarkan satu keajaiban sama artinya dengan pelarian dari kehadiran. Itu pekerjaan paling menderita, memeikirkannya makin aniaya jiwa. Kembalilah dari pelarian kepada hudhur. Sertakan mata perasaan menengok alegoris langit merah jingga.

Selain bola mata ada “mata yang lain”. Mata melihat debu berterbangan di udara, melihat angin yang menerbangkannya perlu “mata yang lain”, itu syair dari Rumi. Novel ini menciptakan diksi “mata perasaan”. Diksi, frasa, kalimat dan bahasa adalah hukum yang paling tua, pun demikian diksi “mata perasaan” yang baru dicipta.

Ajak-lah kompak bola mata dan mata perasaan, merasakan keajaiban langit merah jingga, lagi dan lagi. Latih dan latih. Mata perasaan itu hadirkan, terus dan terus. Latih dan latih.

Persaksikan senja merah jingga itu lamat-lamat bergerak, menerobos awan yang membentuk siluet udang galah (macro brachium rosenbergi) dan ketam, nama lain kepiting, yang mengikutinya terus, kadang-kadang menarik-narik awan di atasnya turun ke bawah, persis seperti watak ketam dalam jagat perikanan dan kelautan.

Sisa matahari senja itu berbentuk lembing: panjang dan pipih, ujungnya tajam. Lembing Cahaya itu secepat kilat hendak menombak-nombak jantung Awan Udang Galah dan awan ketam, yang sahabat kental.

Jangan salah sangka, Awan Udang Galah yang tertombak lembing cahaya senja itu tampaknya saja tenggelam, padahal intim dengan Aphrodite, dan Langit tersenyum puas.

Catat-lah, Senja Merah Jingga, Lembing Cahaya, Awan Udang Galah, awan ketam, Langit tersenyum puas, adalah sebagian tokoh alegoris dalam novel ini.

Senja pergi.
Usianya singkat.
Penantiannya saja yang lama.
Senja yang setia kepada takdirnya sebagai magrib.
Perginya cepat.
Meninggalkan siapapun yang menetap atau dalam perjalanan, dengan atau tanpa takbiratul ikhram.

Senja adalah alegori ikhwal tanda (batas). Gagah sang siang merebah, bak sujud sempurna di hamparan sajadah. Sampai di situlah batas milik siang.

Setiap kali memandang merah jingga seperti imbauan membaca ratib dengan kehadiran hati yang intim, energi efek ratib merasuk dan mengendap ke dalam diri.
Dada pun penuh.
Batin terisi.
Menjadi energi merah jingga langit Senen yang ajaib. Senja adalah alegori ikhwal ingat, dzikir, saatnya takbir di angkat, saatnya doa dimunajat.

Selain batas dan ingat, alegori senja adalah cinta. Seperti makna leksika rona merah jingga. Ada yang sempat mengambil sepotong senja, diikatnya dengan pita merah, dikecupnya sebelum dikirimkan pada Alina, kekasihnya.

Ada yang menjadikan senja sebagai tanda (batas), ingat dan cinta sekaligus. Dicatatnya dengan tinta merah, sebagai tanda dan pengingat, Roxelana telah menombak hatinya. Senja yang menombak. (Bersambung…)

Leave a Reply