Merah Jingga Interaktif … (10)

…Pak Ketipak Ketipung & Siti Kewe 3

Jam 19.45 di kedai kopi ‘Sang’. Rony belum membawa Baihaqi. Hastouki masih menunggu. Gawainya sengaja offline, menguji ilmu kesabarannya.

Dari serambi ‘Sangg’ Hastouki mengamati ritme kesibukan Ronny dan anak buahnya, menguji ilmu kearifan yang diajarnya.

Satu pelanggan memesan kopi Mandhailing, ikut antri dibelakang pemuda tangung memesan Gayo Long Berry. Disebut Long Bery karena jenis kopi arabika ini memiliki bentuk fisik panjang dan lebih besar, jenis ini tidak banyak saat panen, proses semi wash dan full wash membuat kopi ini terasa lembut, asam tak terlalu tajam.

Hastouki memperhatikan, suka sekali dia menengok corak perilaku konsumen ‘Sangg’. Semua yang datang malam itu memesan kopi, tak ada yang lain, baik lelaki maupun perempuan, tak tabu bagi kaum hawa, beragam kelompok usia, tak dilarang bagi yang bersorban, yang dipesan ya … kopi dan kopi saja, walau minuman penyegar lain disediakan juga.

Dalam hati Hastouki bergumam. Separohnya analisis, separohnya lagi filosofis. Gumam dalam batinnya berbunyi seperti ini:
“…………………………………………………………………………………………………………………………………………….” dan
“……………………………………………………………………… ……………………………………………………………, ……………………….”.

Tenang dan diam seperti lautan teduh. Hanya dia yang mengerti, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Majelis pembaca.
Anda boleh menduga, mungkin inilah untaian kalimat tenang dan diam seperti laut teduh dalam batinnya:

“Penggemar kopi memang abadi, regenerasinya pasti, tak mengenal zaman!”; dan,

“Kopi itu lakunya pasti, walau tanpa asap rokok. Sepasti ada spasi pada kalimat, walau itu kalimat ajimat”.

Dia teringat dialog setangkup kopi dengan ayahnya. Kalimatnya elok berbunyi seperti ini:

“Minum kopi itu seperti spasi dalam kalimat, kopi adalah saatnya jeda, menarik nafas yang menambah tenaga”.

“Tanpa spasi dalam kalimat, bisa terjadi anarkisme dalam memahami makna kata”.

Selain itu?

“Dengan minum kopi bersama teman berlaku hukum sosial yang melatihkan sabar mendengar, belajar memberi perhatian, menangguk informasi, gosip politik maupun imajinasi liar, yang mendengarnya mata awak berbinar-binar”.

Ayahnya mengaku gaya pekerjaannya membutuhkan suasana hati tenang dan pikiran nyaman supaya terpantik api kreatifias. Hastouki ingat kata-kata ayahnya lagi, seperti hendak menganeksasi struktur logika ungkapan lama “Mens sana in corpore sano”:

“Dalam pikiran yang tenang ada badan yang nyaman”,
“Dalam badan yang nyaman ada rizki yang lapang”.

Caranya? Silakan nikmati kopi Gayo dengan iringan lagu Melayu ‘Pak Ketipak Ketipung’. Keduanya sama-sama pemicu enzim endorphin kebahagiaan, watak genetisnya sama-sama pembawa zat kegembiraan. Kalau hati bahagia, itulah rizki yang paling rizki.
Kolaborasi kopi dan musik Melayu menjadi jurus marketing ‘Sangg’ meletupkan pamornya. Menggabung sensasi kopi Gayo yang mendunia dengan alunan ‘Pak Ketipak Ketipung’ yang rentaknya mirip “Waka-waka”.

Kopi dalam bahasa Inggris digunakan kata Coffee, berasal dari Caffe (Italia), Kahve (Turki), Qahwah (Arab), Coffee (Urdu), Coffi –diucapkan ko-FEE (Welsh), Koffie — diucapkan Coffee (Afrikaans), Koffie –diucapkan Coffee (Belanda), Jerman: der Kaffee (Jerman), Kahvi (Finlandia), Kofi –diucapkan KOH-Fee (Hindi), Kofe –diucapkan koe-Fee (Rusia).

Dari mana silsilah kopi Gayo Long Berry? Dalam bahasa Gayo, di Aceh sana, ‘Siti Kewe’ sebutan untuk tanaman kopi. Kewe, lekat dengan kata Qahwah dan Kahve. Kawa Daun, kopi khas Sumatera Barat, daunnya saja sudah sedap, dan berkah, belum biji kopinya. Kalau ditanam sejak kompeni berkuasa, sudah berjuta-berjuta gulden gurih duitnya menyejahterakan Belanda?

Pohon kopi di Gayo adalah berkah yang pernah tak dinyana, sebab dulunya pohon kopi kabarnya tumbuh begitu saja di kawasan hutan, dibenihkan dari biji-biji yang dipatuk burung, dikawinkan angin, persemaiannya disuburkan dengan pupuk-pupuk dari alam dataran tinggi Gayo, gunung Bur Ni Telong yang awannya bertingkat-tingkat, bergumpal-gumpal, putih dan tebal, tiba saatnya turun sebagai hujan yang menggemburkan lahan.

Alam selalu jadi kiasan bahasa Gayo, hujan dan bumi dianggap sejodoh dalam pertanian kopi. Turun hujan yang disetujui bumi, itu pertanda cinta yang diterima. Metafornya “Sengkiren Uren Turun, Nerime ke die bumi?”. Metafor itu terbukti nyata kala pohon kopi mulai berputik, bersari, dan berbunga seusai musim hujan, tangkainya menggelayut runduk, di sela daun kopi ranum berbuah merah, sebagian masih hijau, wanginya mengaum, siap di petik tangan melentik. Musim panen tiba.

Pepohonan kopi gayo sudah dibudidayakan, disengajakan penjagaan, dirancang perawatan, diturunkan ahli menyayangi Siti Kopi, dilatih para petani, ibu-ibu rumah tangga dibina, anak lelaki dan gadis belia turut turun memetiknya, buah gugur tergeletak dipungut anak-anak, dibuat koperasi kedai penampung yang tak rakus menarik untung, koperasi yang melindungi namun tengkulak tak suka.

Tanaman kopi gayo menghasilkan specialty kopi gayo sebut saja Gayo Long Berry, King Gayo, yang pamornya mendunia, itu berkah yang terbukti. Berkah pun dipercayai tersebab syair dan doa, tatkala membenihkan, menanam dan merawatnya. Bukan igauan kiranya dari perut bumi dan lahan tanah Gayo saja, rakyat Sumatera bisa sejahtera. Usah nyinyir politik dan bukan petisi oposisi jika paragraf ini mengujarkan: pun hanya Sumatera, Asia bagian tenggara bisa sejahtera!

Hanya @’Sangg’, lokus kedai kopi di TOD Senen milik Hastauki-Baihaqi, terjadi kolaborasi setangkup kopi Gayo dengab rentak ‘Pak Ketipak Ketipung’, mungkin ini alasan ‘Makcik’ berjilbab modis datang ke ‘Sangg’.

Tanaman kopi Gayo disebut dengan Siti Kewe.Panggilan itu bukti kopi bukan sembarang tanaman. Siti Kewe merasuki sari pati kehidupan paling dalam, ada cerita pergulatan batin setengah hektar kebun kopi, mungkin kurang, yang tak kalah alamak memukau dari kisah kompeni membongkar belantara Deli membuka kebun tembakau. Ada cerita harap-harap panen kopi melawan hujan kepanjangan, kisah kopi kertup naik haji, baju baru sekolah, kenduri doa dan musim perkawinan. Bercinta makin berseni dan bertenaga. Semua karena musim panen kopi.

Siti Kewe yang punya sinonim Sengkewe itu pohon istimewa paling istimewa. Bayangkan pepohonan kopi seperti keluarga inti, hanya saja tidak masuk kartu keluarga, tak pula ber-KTP. Diagah-agah seperti bayi, diajak bicara, disenandungkan dan disayangi.

Kalau hendak tahu perasaan pemiliknya tengoklah pepehonan kopi di kebun miliknya. Perlekatan yang insaniawi, petani menanam dan merawat Siti Kewe seperti menanam dan merawat keluarga. Memandang pohonnya saja sudah jatuh cinta, bertambah-tambah cinta kalau berputik, berbuah merah hati sumringah, Siti Kewe minta dipetik. Kalau tempo dulu Deli didatangi kompeni karena pohon berdaun emas seperti narasi Emil Auliadalam ‘Mileniun Uit Deli’, adalah tamadun yang pantas menyebut Siti Kewe pohon berputik cinta!

Usah nyinyir mengusik ‘matera’ Siti Kewe. Penggunaan kata ‘mantra’ itu hanya majaz saja. Siti Kewe ditanam dengan cinta, disapa-sapa ajak dialog bahkan trialog: petani, kopinya dan TuhanNya.

Dilantunkan syair-syair, dikawinkan dengan angin, bertenagakan keajaiban alam semesta, dibujuk bersari dan berputik. Siti Kewe kawin menyilang dibantu penyerbukan angin, pohon kopi saja tahu cara kawin yang patut, dengan adab dan resam yang diturut, patuh sesuai aturan perladangan. Konon manusia hendak alpa adab lupa resam, apa jadinya generasi?

Pohon-pohon kopi itu mengajarkan cara berhukum, tunduk aturan semesta dalam genggaman Tuhan, itu sebab patut memujinya dengan syair. Ada temali jiwa Siti Kewe dan batin petani kopi, liukan daunnya diterpa angin dari lereng Bur Ni Telong seperti atraksi tarian silat patam-patam Melayu yang merentak, mungkin dengan liukan itu dia makin lahap bernafas, tiap inci kulit batangnya, helai-helai daunnya, putik buah hijau dan merah ranumnya, semua berdzikir.

Bahasa Gayo kaya metafor, pun terhadap tanaman kopi. Disinari surya, dengan nama Allah dimula, petani kopi Gayo membacakan ‘mantra’ ini membujuk pohon kopi yang tengah berbunga. Sebut saja sebagai syair pun doa.

“Orom Bismillah…
Siti Kewe kunikahen ko urum kuyu…
Tanoh kin saksimu.
Wih kin walimu.
Lo kin saksi kalammu”.

(Dengan Bismillah.
Siti Kewe Kunikahkan dikau dengan angin.
Tanah sebagai saksimu.
Air sebagai walimu.
Matahari sebagai saksi kalammu).

Itu metafor yang kaya cinta, alegori kopi keluarga inti, yang lekat disebutkan ‘Orom Bismillah’, Siti Kewe masuk ke sistem kekerabatan, syair dan doanya bak benang yang dirajut menjadi tenunan sistem religi. Kalau menyebutnya ‘mantra’ hanya pilihan majaz saja, hakikatnya munajat doa kepada Yang Maha Kuasa Yang Menguasai Hidup.

Dengan hati yang hudhur petani membacakan syair-doa Siti Kewe menjadi pohon berkah, kopi Gayo ditakdirkan menjadi specialty mendunia, memiliki sertifikat dan terdaftar Indikasi Geografis-nya. Pamor Gayo pun nyaring di telinga industri kopi, makin sering di datangi wisatawan dan penggila kopi manca negara.

Siti Kewe adalah penghargaan, kalau mau menambahi dengan penghormatan tinggi. Penamaan ‘Siti’ berasal dari kata ‘Sayyidati’ dalam bahasa Arab artinya ‘Tuan Putri’, yang karena pergulatan pengucapan menjadi ‘Siti’. Raihan Lubis memilihnya menjadi judul novel: “Siti Kewe” (2017). Monumen ‘Siti’ kepada “pohon berputik cinta”, kepada lekak lekuk kehidupan petani kopi di kaki Bur Ni Telong, ajakan merawat riak, gelombang, lika liku mengelok-elokkan perkawanan, seperti elok danau Lut Kawar.

‘Siti’ Raihan Lubis menghadiahkan “Siti Kewe” kepada para petani kopi di Tanah Gayo. Seperti irama gendang menghadiahkan cengkok mendayu kepada Melayu.
Itulah alegori yang mesra, seelok-elok pertemalian ‘Pak Ketipak Ketipung’ & Siti Kewe.

“Orom Bismillah…
Lo kin saksi kalammu”.

“Dari lah mana dek datangnya cinta
Dari lah mata turun ke hati”.

Bisa jadi ide untuk lagu Melayu, bukan begitu ‘Makcik’?

Leave a Reply