Merah Jingga Interaktif … (12)
6. Baihaqi “Haqicor”.
Sori, aku baru bebas dari singa betina”,
“15 menit lagi gue sampai ya boss, kereta sudah moving ke Senen”.
“MRT ‘jaman now’ pasti taat janji”.
“Kau boleh tuntut aku dan MRT jika telat semenit pun”,
Hastouki membaca 3 pesan singkat Baihaqi berturut-turut masuk di gawainya, seperti tak ada sengkarut baginya 60 menit terlambat.
Padahal di kantornya dia selalu disiplin datang dan pulang, mengapa dengan kawannya sendiri dia molor yang paling molor, mengapa dia sukaria malam ini di kantor, seperti anak-anak belacak tahun 70-an sukaria telanjang dada mandi hujan, tak bisa dilarang walau dibawakan rotan.
Baihaqi sebenarnya tak belia lagi, sudah 24 tahun usia kronologisnya, hanya umur psikologisnya yang jauh lebih muda, kalau tak hendak disebut anak remaja, apalagi kalau tak sempat lama berkawan dengan Hastouki, mungkin usia psikologisnya entah fase mana.
Baihaqi seorang inhouse lawyer perusahaan asing yang pindah dari kantor Hastouki, karena dia merasa tak bisa dewasa kalau terus bersama sahabatnya itu, upaya menjadi dewasa psikologis dan pencarian yang musti diapresiasi.
Kedewasan memang makin cepat dengan cabaran. Perlawanan makin meletup sebab pengasingan, itulah kesalahan Belanda mengasingkan tokoh perjuangan ke pulau Buru, Bangka, Bengkulu, Brastagi, Banda, Parapat dan entah mana lagi. Bukannya makin kendor malah makin gelorakan semangat rakyat.
Kematangan makin matang karena jauh dari ayoman kawan, bebas dari bayang-bayang otoritas historisnya. Mandiri lebih cepat karena gemblengan tanah perantauan, jauh dari ketiak ayah bunda. Pelaut tangguh tak berlayar di laut dangkal. Cheng Ho bahariawan fenomenal karena melaut membelah samudera meninggalkan mainland China. Jelajahnya mewariskan peta navigasi bahari.
Baihaqi betah tinggal di Bogor bukan hanya karena Buitenzorg itu lebih sejuk dan banyak pohon-pohon tua dan besar. Bogor jadi alasan untuk cepat pulang kantor dan tak dipaksa lembur hari libur, padahal selalu nyaman mengeram di Manggarai, dia membeli apartemen dekat stasiun Manggarai yang juga kawasan TOD.
Hastouki tidak menjawab 3 pesan Baihaqi, hanya emoticon 3 ‘teropong bintang’ mencorong dikirimnya, satir seakan Baihaqi sembunyi jauh di planet peradaban Asgardia. Hastouki banyak mengalah kalau sudah berurusan dengan Baihaqi, selalu surplus stok maklum dan terus membelanya, walau kawannya itu melewatkan janji sampai 60 menit.
Baihaqi benar. Kereta MRT menepati janji datang tepat tiba. Tak tahulah, entah siapa yang tepat janji, Baihaqi atau gerbong MRT. Tantangan menggugat MRT menjadi kadaluwarsa. Baihaqi merasa menang, setidaknya tidak terlalu bersalah, karena tepat janji waktu 15 menit, seakan lupa telat 60 menit.
Baihaqi datang ke ‘Sangg’, langsung ke serambi, tak diantar Ronny. Dia mengambil tempat duduk berhadapan dengan Hastouki. Hanya duduknya yang berhadapan vis a vis, mentalnya tidak sanggup merampang. Rapuh. Gurih dilahap seperti kentang goreng Ana’anA makcik Ika Marina Pohan. Segaris matanya tak kuat bersitatapan, apalagi tanpa kedip. Disembunyikan sebagian wajahnya dengan topi ala pak Tino “Bagus” Sidin, yang dibelinya dari gerai stasiun Senen sekelebat akan ke kedai ‘Sangg’.
Hautouki tak kalah akal untuk menyadarkan Baihaqi, topinya makin diperosokkan sampai memutup hidung. Baihaqi mematutkan letak topinya tanpa bicara. Sekelebat satu sodokan membuat Baihaqi tak merasa menang lagi.
“Kau datang terlambat”.
“Tujuh kali kau sembunyi di benua VIII. Itu salahmu paling ku ingat separo tahun 2022 ini”,
“Salahmu besar. Melebihi egomu, tuan Haqicor”.
Sambil senyum, Hastouki menyodok Baihaqi dengan 3 kalimat, intonasinya menyayat kejam, membuat tuan “Haqicor” terdiam dalam skala tiga detak jantung. Kalau bukan Baihaqi “Haqicor”, mungkin dia mendiamkannya 3 hari 3 malam, menganiayanya dengan eskete paling panjang dalam perkawanan mereka.
“Maafkan aku Hast. Situasinya overmacht’,
“Boss-ku singa betina itu lagi gila kerja”,
Baihaqi memelas minta maklum, apalagi kalau Hastouki sudah memanggilnya “Haqicor”, gelar sindiran yang dilekatkan sebagai sanksi sosial yang simbolik karena kekonyolan Baihaqi saat di kampus. Istilah “Haqicor” keren juga kalau disambungkan namanya: Baihaqi “Haqicor”. Selalu saja beruntung dari konyolnya.
“Suka-sukamu, lah. Macam kau saja yang tau arti overmacht”,
“Tabiatmu menentukan takdirmu”,
“Aku tak hendak memvonis reputasimu, kau yang memilihnya”, ujar Hastouki yang dipanggilnya Hast.
Baihaqi masih berusaha eksepsinya diterima walaupun sebagian sudah ditolak.
“Tak bisa ku mengelak, macam dia yang punya perusahaan”,
“Direksi aja tak berani cicing, apa lagi aku”, Baihaqi masih menambah alasan.
“Kau bilang tak berani, jangan-jangan kau suka di sarang singa”,
“Bagus itu, nyali kau cepat dewasa”,
“Jangan situs dewasa aja yang kau suka”,
Hastouki berujar datar namun sodokannya itu menghujam dalam di bilik jantung Baihaqi yang dianggap belum dewasa alias dalam pengampuan, Curatele. Tampak dia terhenyak seperti aliran darah dewasanya kekurangan oksigen.
Baihaqi dari benua VIII masih belum padam aksi verbal pembelaan diri, kini dia pakai strategi minta dikasihani korban singa betina, victim playing, tapi tak apik dimainkannya.
“Ampun boss, banyak kali permintaannya pas aku mau pulang”, Baihaqi lagi-lagi membela diri dengan alasan itu-itu saja. Dia merasa alasannya rapuh dan obscuur.
Hastouki masih memberi pelajaran 30 detik memenangkan debat yang tak diajarkan di bangku kuliah, perlu skill dan juga insting melumpuhkan lawan dengan kata-kata, bukan kepalan tangan bertenaga.
“Hanya itu amunisi kau sejak dulu, hanya satu kata ‘ampun’, gak beda sejak kuliah”,
“Masih kau pakai alasan kumal itu”,
“Tak berselera aku dengan alasan kau itu”,
“Tak meningkat ilmu berdebatku sama kau”,
“Pergi-lah kau ke Cilosari 17, ikut basic training lagi”,
balas Hastouki ketus, kata-katanya kejam, intonasinya semakin menganiaya.
Haqicor diam. Hastouki sengaja memberi sela lima detak jantung sebelum menuntaskan pendadarannya.
“Selusin salah mu sejak senja”,
“Lima saja ku sebutkan. Satu, telat. Dua, telatnya 60 menit. Tiga, tak ada kabar benua VIII. Empat, perempuan kau jadikan alasan. Lima, aku hanya bisa merepet, Haqicor kawanku yang tak bisa ku coret”, ujar Hastouki melebar namun ditutupnya dengan alasan kelima yang sengaja membesarkan hati Haqicor agar tidak down. Dengan wajah sedikit tertunduk, Baihaqi merasakan aliran enzim endorphin.
Berhenti di situ.
Hastouki merasa pendadaran sudah cukup, walau belum sampai meletup.