Merah Jingga Interaktif … (13)
7. Kesadaran dari Flaatcap
“I am a leader, what is a leader, …show the way and goes the way”, Hastouki teringat dengan latihan kepemimpinan mahasiswa, trik memperoleh tenaga dengan melepas suara.
Cepat dia paham, segera dia mengerti, pemimpin tak boleh terlalu menekan, walaupun kepada kawan, tak boleh lebai dan jauh dari kolega, walaupun beda benua. Senen memang ajaib, sebentar di sana kesadaraan cepat sembuh.
Dia tersadarkan ungkapan urang Minang, pemimpin itu “sarantieng ditinggikan, salangkah dimajukan”. Melalui ayahnya sebagai penutur, petuah 4 kata dan 1 koma itu pernah didengarnya dari pakar pendidikan Islam, mantan Ketua HMI Medan era 1985-an, Dr. M. Zahrin Piliang yang urang Minang asal pesisir Sibolga namun menetap di Medan sebagai kota tamadun perantauannya.
“Sudah cukup 60 menit kita beda benua, sekarang kita di benua ‘Sangg’ tanggal 1 Juli 2022”, Hastouki mengalihkan tema percakapan, intonasi pada kata benua ‘Sangg’ dikuatkannya.
Baihaqi menurut saja, hanya topi pet alias Flaatcap yang digeser-gesernya mematut diri bak pelakon Sherlock Holmes.
Hastouki tak hendak banyak cakap lagi, dia swich beralih ke frekuensi positif. Tombol rasa syukur diaktifasi dalam hati. Dia membalik arah rasa dan logikanya, seperti dilatihkan dan dibacanya dari buku ‘The Magic’.
Hastouki sudah berhasil pindah frekuensi rasa. Kini dia merasa beruntung ‘Haqicor’ telat, dia punya cukup waktu menengok ke dalam, sempat pula survey cepat, dikunjungi serumpun inspirasi, didatangi sensasi suara tak bersuara dan menikmati ‘Pak Ketipak Ketipung’ saling bergantian. Ada berkah dibalik 60 menit.
Sejurus waktu berlalu, sepasang mata keduanya saling melirik, pandangan bertumbukan, lenting sempurna, saling bertukar bahasa isyarat, bahwa kita sahabat. Baihaqi minta dimaafkan soal 60 menit. Tak ada jawaban dari mulut Hastouki, hanya menjawab dengan bahasa tubuhnya. Keduanya pun tersenyum gencatan senjata.
“Ya sudah, lupakan turbulensi 3 menit tadi”,
“Ayo kita mulai kerja”,
“Inspirasi jenis apa yang kau bawa dari benua VIII”, tanya Hastouki menguji semangat kawannya itu. Belum selesai Baihaqi berpikir dan menjawab, Hastouki berujar gelitik lagi.
“Rapat malam itu lebih menguji insprasi, gagasan, project ideas, bukan soal-soal teknis, bukan urusan kripik”, lanjutnya sembari berusaha mencairkan suasana dan menghindari kata-kata yang kejam, walau kata-katanya tetap saja berotot.
Hastouki membuat manuver kecil. Dicomotnya topi pak Tino ‘Bagus’ Sidin dari kepala Baihaqi, di surukkannya di samping sofa.
“Topi ini kau bawa dari benua VIII, ya?”,
“Untuk aku saja, biar kusimpan jadi bukti benua VIII itu ada, namanya Zealandia, biar kau paham”, kata-kata Hastouki sama cepat dengan gerakan tangannya menjangkau topi.
Secepat jurus silat topi pet dari kepala Baihaqi sudah dikuasainya.
“Jangan, itu baru ku beli tadi di gerai stasiun”,
“Belum bayar pun, ku sambar aja, kenal aku sama boss yang punya gerai, orang sekampung Ronny”, Baihaqi memberi alasan jujur yang membuka sendiri perangai dan kelakuannya.
“Nanti-lah itu. Belum bayar, urusanmu lah itu”. “Jangan sampai kau dipailitkan pemilik gerai, ditunggangi orang tak suka sama kau”, nasehat Hastouki.
“Ini ku sita eksekusi, supaya kau tak lupa kejamnya 60 menit”,
“Kalau tak ada hukuman, itu namanya impunity, enak kali-lah kau”,
“Itu melanggar prinsip ‘Ada hukuman karena kesalahan’, masih ingat kau AVAS, azas hukum pidana itu, Afwezeigheid Van Alle Schuld”,
Hastouki berujar-ujar hanya untuk Baihaqi, berusaha dengan kalimat akademis yang tak bengis, mengeluarkan kalimat yuridis supaya frekuensi bicara bisa sama.
“Macam kau aja yang lawyer, mana aku lupa Asas Hukum Pidana, nilaiku A”, Baihaqi memuji diri dan hendak menyamakan frekuensi.
“Aku duku tim riset group Moot Court Competition perkara money laundring, memang kau Ketua Majelis, kita juara 1 di Semarang”, Baihaqi bangga dengan MCC-nya. Frekuensi bicara dirasakannya sudah sama, tak ada ganjalan.
“Jangan pakai logika linier, kau pakai Asas Negasi memahaminya. Itu sebab kata ‘Afwazeigheid’ ada di awal”. Kata-kata Hastouki membolak balik pikiran tuan “Haqicor” dari benua VIII yang terlanjur cepat bangga.
Baihaqi tak bisa melawan “Ketua Majelis”, dia melemah dan menurut saja manuver super ligat tangan Hastouki, yang penting turbulensi 3 menit reda, komunikasi mencair lagi. Kini keduanya dalam langit dan benua yang sama di titik koordinat kedai kopi ‘Sangg’. Aura MCC masih saja membayanginya, walau posisinya sama dalam bisnis kopi ‘Sangg’.
“Kau tau sejarah topi pet ini?”, tanya Hastouki. Sebelum dijawab, dia sudah melanjutkan ujaran pelajarannya.
“Ini namanya Flaatcap, disebut juga Paddy Cap, Longshoreman’s Cap, Driving Cap, Wigens cap, ataupun Bicycle Cap. Orang Inggris menyebutnya Cheesee-Cutter”,
“Kalau kau nonton film lama, imigran Eropa asal Irlandia, Scotlandia dan Inggris naik kapal merantau ke Amerika abad 19-20 memakai Flatcap ini”,
“Pernah dulu dalam budaya populer yang memakai Flaatcap dikesankan lelaki kelas pekerja, buruh kasar, gangstar, anak kecil loper koran. Zaman modern, topi itu banyak dipakai seniman lukis, musisi, sutradara, keren juga”, ulas Hastouki.
Baihaqi diam saja. Khusuk merekam ujaran kawannya, selebihnya kaget, dia tak tau sebelumnya sejarah Flaatcap, dia berpikir ulang memakainya karena dicontohkan loper koran atau gangster. Tak berselera lagi dia merebut Flaatcap dari Hastouki.
“Zaman berubah, zona waktu seperti lingkaran saja. Era Flaatcap bisa kembali, dipakai siapa di zaman mana”.
“Aku pun hanya membaca sejarahnya dari blog sejarah budaya Flaatcap”, ulasan Hastouki efektif menggagalkan niat Baihaqi meminta Flaatcap yang diambilnya dari gerai tanpa bayar. Dia rugi 2 kali, bahkan 3 kali.
“Bagaimana kalau Flaatcap diambil tanpa bayar, kelas apa dirinya. Aku tak hendak menyebut itu gangs…”, tuntas Hastouki dengan cerdas menyadarkan Baihaqi pada kelakuannya “ambil dulu, bayar nanti”. Walau kata terakhir tak lengkap bunyi suaranya.
Kawasan Senen memang ajaib, malam ini dibuktikan dengan terbit kesadaran Baihaqi, terapi penyakit “ambil dulu, bayar nanti”, sebut saja “ADBN”. Kesadaran dari Flaatcap
Alamak, terapi “ADBN” dirasakan Baihaqi seperti dikuliti disiram nipis, kakinya hendak lari saja ke gerai membayar Flaatcap. Baihaqi berjanji membayar tunai 200% besok, daripada perangai “ADBN”-nya dianggap belum sembuh dan dituduh menularkan epidemi bengis dari benua VIII.
Baihaqi tak hendak dikuliti dan disiram nipis lagi. Kesadarannya sembuh.