Merah Jingga Interaktif … (14)
8. ‘Kopi Bersyair’, Menolak jadi Fosil
Sejarah Flaatcap banyak membantu. Topi itu perkakas spontan, perannya tak terduga. Topi itu jadi alibi normalisasi suasana ketidakpastian 60 menit plus turbulensi 3 menit.
Untung ada sebuah Flaatcap yang belum dibayar, itu menjadi trik sekaligus korban jurus Hastouki mencerahkan Baihaqi agar tak semberono lagi melewati gerai, seperti preman pasar saja. Menyembuhkannya dari sindroma “ADBN”. Kalau Baihaqi sudah membayar, lain lagi plot ceritanya, tapi apa mungkin dengan “ADBN” masih menggejala?
Penyakitnya yang suka “ambil dulu bayar nanti” musti terus diterapi dengan memacu inovasi, membangkitkan penasaran. Penasaran adalah energi bagi inovator dan pelopor.
Penyakit Baihaqi yang lain, beli barang tanpa paham konsep yang terkandung dan apa gunanya, itu yang sedang diobati Hastouki.
“Lebih bagus pakai kopiah saja seperti penyair Amir Hamzah”, sontak terbit ide kopiah di benak Hastouki.
“Ada lekuk agak meninggi, khas kopiah Deli”,
“Prof. Edy Ikhsan pernah ku lihat memakainya, cocok kali”, jelas Hastouki tentang penutup kepala berbahan beludru hitam itu.
“Siapa Prof itu”, selidik Baihaqi.
“Guru besar Hukum dari USU, kau harus baca bukunya kalau menangani kasus tanah ulayat, apalagi kau suka riset hukum”, tutur Hastouki bergairah.
“Perawakanmu keren pakai kopiah Deli, mirip om BangUstadz Ahsanul Fuad, sahabat ayahku yang tinggal di Medan”,
“Nanti kupesan dua dari Medan”,
“Mereknya ‘PM’, namanya Toko Mahkota, H.Abd.Rahman Rusli Tanjung, alamatnya jalan HM. Yamin 340”,
“Ukuran lingkar kepalaku 21 ¾. Sama kita”, ujar Hastouki.
“Bisa kuminta tolong kirim sama kawanku di sana”, Hastouki berujar serius, tak perlu persetujuan Baihaqi, dia pasti turut saja kalau diberi hadiah gratis. Itu penyakitnya yang lain.
Watak Hastouki memang suka sekali mempromosikan kerabat dan relasinya, eksotik kampungnya, keunggulan kampusnya, buku dosennya, keteladanan gurunya, keunikan sekolahnya, organisasi yang dimasukinya, kawan ayah ataupun ibunya, apalagi sahabatnya yang memiliki daya juang berusaha seperti Baihaqi. Seperti dia tengah mempromosikan dirinya sendiri saja.
Baihaqi hanya mengangguk saja, sudah lima kali hitungan anggukannya. Mungkin karena itu wajahnya menjadi makin cerah seperti bulan purnama ditengok dari Tanjung Kelayang, Belitong menghadap laut Tiongkok Selatan dan selat Karimata. Dua jempolnya diacungkannya tanda puas dan setuju. Jempol isyarat universal yang tak lekang zaman.
Bagaimana lakonnya kalau Baihaqi berkopiah tandang ke public area kedai kopi ‘Sangg’ di TOD Senen. Bandingkan dengan memakai Flaatcap.
Tema Flaatcap dan kopiah Deli berhasil mencerahkan wajah Baihaqi. Kedua perkakas tutup kepala itu menjadi topik inovasi, memancing penasaran berenergi Baihaqi.
Diplomasi maaf memang trik yang usang dan kumal, namun masih bertenaga memadamkan marah kepada sahabatnya itu.
Mana bisa dipunahkan persahabatan zaman mahasiswa, seperti takdir beras kopi, roaster, digiling jadi bubuk kopi, diseduh menjadi secangkir kopi yang terperangkap masuk ke mulut, sudah menjadi point of no return yang sedap.
Jangankan berhenti menjadi takdir kopi, malah efek kafein makin nikmat, cepat melepas penat. Interaksinya malah makin meruyak menjadi klub dan menciptakan relasi keterlekatan sosial yang bisa mengalahkan tembok tebal birokrasi formal.
Jurusnya adalah ‘Ngopi’. Menjadi alumni kampus sama seperti takdir kopi yang ‘point of no return’, dan jalur lobi penerobos tembok tebal birokrasi dengan judul ‘Ngopi Alumni’.
Kedua sahabat yang pernah anggota perlemen mahasiswa di kampus reformasi itu bertemu hanya membahas project ideas menuju inovasi kedai kopi ‘Sangg’. Dua orang yang penasaran.
Walau itu bisnis sampingan mereka selain bekerja mengurus kantor masing-masing, bisnis kopi dikelola sebagai pebisnis. Tak pula berkelakuan seperti orang asing dari planet lain, lantas apa gunanya perkawanan selama parlemen mahasiswa?
Tapi inovasi kedai kopi harus terus diikhtiarkan. Inovasi adalah turunan pertama dari rasa penasaran, itu ciri manusia bersyukur atas akal budi. Albert Einstein menjadi penemu karena satu kata itu: penasaran! Pilihannya sangat mengerikan, namun menggairahkan: Inovasi atau menjadi fosil!
Kedai kopi ‘Sangg’ bagi Hastouki lebih sebagai perekat persahabatannya dengan Baihaqi, tak ambisius mengejar laba, mengurus kliennya saja dia sudah kekurangan waktu bertemu ibunya yang ceriwis, walau masih di Jakarta. Lebih sering keluar kota urusan perkara hukum, dan menginap transit di apartemen TOD Senen, walau tidak juga mendatangi ‘Sangg’ tiap transit di kamar 707.
Membuka usaha kedai kopi, tepatnya pengembangan waralaba kedai kopi ‘Sangg’ yang berkonsep “kopi bersyair”.
“Pelanggan bisa mereguk kopi sembari membaca syair”,
“Disekujur dinding kedai maupun cangkir, marchandise ‘Sangg’, sesekali lagu diganti syair”,
“Menurutku, nama-nama menu kita improve dari judul syair atau novel ternama”,
“Asik juga kalau minum kopi sambil kinyam-kinyam bolu gulung ‘Buah Rindu’”, ujar Hastouki menyebut kumpulan syair pujangga baru Tengku Amir Hamzah.
“Sensasi kopi kita eksplorasi dengan kopi King Gayo ditemani kue lepat ‘Perempuan Dititik Nol’, cemana?”, lanjut Hastouki, ulasannya menunjuk dedikasi dan literasi karya-karya utama penyair besar dan novelis tenar.
“Koq, kopi bersyair? Mengapa hanya di Senen?”, Baihaqi selalau bertanya lugu kalau belum sepenuhnya mengerti.
Hastouki menjelaskan bla, bla, bla.
Ya, Baihaqi mulai paham apa yang menjadi jalan pikiran Hastouki yang tidak selalu lateral, tidak mudah ditebak.
“Kau baca buku ‘Keajaiban di Pasar Senen’, terbit 1971, masih ejaan lama. Nanti ku kirim tautannya”,
“Walau satir dan banyak sendu, aku mengendus ada pesan keajaiban di Senen, Miracolo a Seneno”, ujar Hastouki seperti kritikus sastra saja walau sedikit ngasal.
Baihaqi mendengar ujaran sahabatnya itu. Nun tak jauh dari sini, dulu ada Planet Senen disekitar Pasar Senen. Dulu Senen itu tempat berkumpul seniman segala bidang, acap membaca puisi ataupun syair termasuk Chairil Anwar, pujangga angkatan setelah Tengku Amir Hamzah.
Komunitas Plenet Senen pernah mengenang wafatnya Chairil Anwar (1922-1949), sang penyair Kerawang-Bekasi yang mati muda, yang gaya syairnya ada kecenderunga mengikuti Kubusu, nama mesra memanggil Tengku Amir Hamzah.
“Untuk menghidupkan semangat bersyair bumi Senen, kedai kopi ‘Sangg’ di TOD Senen ini kita imbuh label ‘bersyair’, bagus kan?”,
“Menjadi kedai kopi bersyair”, lanjut Hastouki, ujarannya ditujukan hanya kepada Baihaqi, sasarannya menularkan energi penasaran.
Menjelaskan itu, keduanya terpaut dengan suka cita diskusi dan debat yang produktif, seperti masih di kampus saja, walau hanya 25 menit, itupun diselingi jeda mereguk kopi Gayo Long Berry dengan kue Koningskrooncake khas Medan.
“Kita minta ijin dulu, kalau mau melabelkan kue Koningskrooncake dengan …..”, kalimat Hastouki tidak berlanjut, ada gerangan apa penasaran yang disimpannya.
Keduanya bersalaman. Digayakan dengan salam komando khas paskipraka. Mungkin tanda setuju mengakhiri perbincangan dengan kesepakatan. Salam khas pertanda tekat bersama, menguatkan daya juang.
Mungkin keduanya hendak menjelajah benua VIII? Mencari imajinasi, mengupayakan inovasi? Keduanya tak hendak menjadi fosil paling baru.