Merah Jingga Interaktif … (4)
TOD Senen, Peluk Istri Lebih Mesra
Lawyer Hastouki tiba tepat waktu, seperti tepat gerak tarian dengan musiknya. Cocok rentak dengan irama lagunya. Pas lirik mata dengan simpul senyumnya. Tarian dan musik itu, rentak dan lirik mata itu adalah TOD Senen yang tersenyum!
Ini yang pertama di Jakarta, bahkan di Indonesia, prestasi yang tak elok dinihilkan untuk “2023 Jakarta’s Infrastucture Outlook”, jelang lima bulan mendatang, ujarnya kepada diri seorang.
Bola matanya dibelakkan beberapa kali, mengaktifasi infuls reaksi miliknya sendiri, mengingat-ingat perhimpunan informasi seluk beluk TOD yang dibacanya cepat dalam perjalanan Menteng-Senen tadi.
Membaca pujian kecil ini loyalis pemerintah pasti senang hati, usah sungkan memberinya pujian ringan, satu sanjungan cara elok hindarkan selusin bosan pekerjaan. Kepuasan atas ego versi Abraham Maslow perlu diisi penuh, supaya mereka yang jadi robot tak terjerembab jenuh.
Kalau tarian dan musik ada pencipta kreatifnya, senyum dan lirik ada pemiliknya, karya property TOD Senen dikembangkan hasil pilin kerjasama KAI dengan WIKA, keduanya BUMN ternama. Penyokong orkestrasi ini adalah pemerintah, mana berani BUMN itu membangkang pemegang sahamnya, niatnya untuk menghabisi “kutukan” kemacetan Jakarta.
Bagaimana pun Jakarta adalah Ibukota NKRI, UU No. 29/2007 masih bergigi sebagai regulasi, memindahkannya siapa berani? Tanpa alasan hukum dan politik mana bisa jadi. Jakarta ibukota NKRI, bukan cuma kawasan pejabat pemerintahan berkantor resmi, bukan penjumlahan gedung properti.
Jurusnya ringkas sekali. Kemacetan karena penumpukan orang di titik konsentrasi. Arus lalu lintas tak lancar jalannya, saluran tak banyak alternatifnya, karenanya sidang kabinet merancang antar/inter moda transportasi yang siaga: mantap, lancar dan bagus, cepat dan massal: Mass. Rapid. Transportation., adalah kata-kata kuncinya.
Dipilihlah jurus menggabung ruang dan lahan untuk transportasi dan hunian, plus fasilitas komersial dan fasilitas sosial yang aduhai. Seperti itulah partitur yang dibacakan dirijen. Menyajikan orkestrasi sinergi BUMN yang menetapkan stasiun kereta Senen menjadi simpul transit, dan dikembangkan menjadi TOD generasi pertama yang digesit.
Laporan pandangan mata Hastouki kala tadi senja kepada memorinya rupanya berguna, tak sia-sia dia membelakkan kelopak matanya.
Kemacetan Senen sudah lebih terurai, pas persis estimasi waktu berangkat kepada sampa. Kerumunan tak menumpuk lagi, arus lalu lintas lancar terbagi. Cerita kesibukan transit tak lagi bertumpu pada jalan, tak menumpuk-numpuk sampai trotoar jalan, tak manyomak lagi kata orang Medan.
Warga urban yang bepergian tersebar pada beragam pilihan transportasi aneka moda, tinggal pilih mana suka dari smartphone-nya, semua moda transportasi terintegrasi dan tersedia di stasiun alam nyata pun di umbar fitur “stasiun” alam maya.
Sembraut boulevard yang aniaya tak lagi ada, palang lintasan sebidang yang garang tak lagi ada, suara sirine dan kedip-kedip lampu neng-nong yang mendramakan kengerian tak lagi ada. Mana ada orang waras yang nekat bersintuhan dengan tenaga kereta, pun hanya kibas anginnya?
Perjalanan pun lancar dan lincir seperti air mancur Dubai Fountain yang kerannya baru dibersihkan, terpancut ke seluruh jurus dan arah tanpa halangan. Begitu pula rute tetap dan padat MRT yang disiapkan otoritas penyelenggara kereta dari simpul stasiun Senen yang keren meremaja.
Waktu perjalanan menjadi lebih ringkas, anugerah mewah bernama usia tak banyak terbunuh sia-sia, kengerian jalanan semakin sedikit statistiknya. Zona waktu kaum urban lebih bernyawa, anugerah waktu luang pun dinikmati lebih panjang dan sentosa. Hati enak, juga nyaman, kemacetan tak lagi manjadi tertuduh berkepanjangan tanpa vonis peradilan.
Komuter warga urban Jakarta lebih lama bergairah, memeluk lingkar pinggang istri di kamar rumah. Petikan senyum buah hati sibiran tulang pun makin sumringah. Anak-anak banyak sukacita jika orangtuanya lebih sering berpelukan mesra, adik baru segera jadi warga.
Hastouki masih saja berjalan di ‘walk way’ pedestrian, langkahnya mulai pelan. Selain telapak kaki dan tungkainya, otaknya juga berjalan. Pendengaran dan sorot matanya juga aktif bekerja, dia mendengar percakapan dua orang dewasa di depannya.
Berderai-derai bunyi percakapan orang yang satu yang lebih tinggi dengan rambut pirang dengan kawan bicaranya yang berseragam, terdengar dialog proyek TOD menggosipkan pujian, sayup-sayup namun terang orang dewasa yang satu antusias membincang transformasi kota sebagai cara mengembangkan kawasan, dengan TOD sebagai jurusnya.
Lelaki pirang berpenampilan sporty dan bahasa Inggrisnya lugas itu sepertinya konsultan urban planning dari negeri seberang, profesional dan pakar di negerinya membedakan urban planning dengan town planning. Ahaa, urban planning lebih human, pelesur dari main gusur, town planning berfokus kapada fisik fasat kota, biautifikasi adalah kiatnya, selebihnya sama saja, begitu pakar housing and urban development Zulfi Syarif Koto pernah menggelar cerita.
Lelaki pirang itu masih berjalan, mulutnya masih aktif bekerja, dia masih menyerocos seperti agen marketing property sedang aksi prospect kepada lawan bicaranya yang pejabat instansi kereta api negara, terlihat dari name tag yang diikalungkannya terkibas angin ke arah kanan, lirikan mata Hastouki membacanya. Name tag pejabat kereta api negara itu terkibas bersama dasinya yang berwarna menyala, senada dengan seragam outdoor yang dikenakannya. Angin malam Senen mulai jahil bekerja.
Dari tepi bibirnya meloncat kata dan kalimat bahasa Inggris, dia mendominasi pembicaraan, sesekali orang dengan name tag dan berdasi menyala itu menyela, hemat kata-kata, dia lebih sering diam, menaikkan dan menurunkan bola matanya, toleh kiri dan kanan unjuk kuasa dan membuat atraksi kecil anggukan kepala. Gerakan bibirnya menambah bobot keseriusannya, entah kalau bertukar jadi kepongahannya.
Dari belakang Hastouki mendengar bisikan di sela kerumunan. Rakus merekam perbincangan, telinganya dipasang siaga paling siaga, lobangnya dibesar-besarkannya, daunnya dilebar-lebarkannya, untung sepoi angin membantu frekuesi resonansinya.
Indra mata, telinga dan benaknya berkordinasi, mereka tak sadar Hastouki mengikuti jejaknya dan menangkap suara pembicarannya tak jauh dari belakang tanpa jeda manusia, masih di pedestrian bagian utara. Beberapa kalimat penting dicatatnya di rongga kepala, diselipkannya ke dalam syaraf pembawa berita, diikatnya dengan gerak mata terkesima, yang selebihnya dia tak suka mengingatnya karena tak berguna dan sudah terlalu biasa, yang pasti bukan kalimat menggoda, bukan janji-janji mempengaruhi disposisi.
Kata dan kalimat sempat di catatnya ulang, ketika tiba kedai kopi ‘Sangg’, menjadi catatan digital sedemikian:
“transforming cities with transit”.
“land use integration suistainable urban development”, dan
“integrated of rail–based and road based public transportation system”.
Dicacatnya juga:
“connectivity beetwen Transit and Development”,
“mixed used, high density property development”,
“regional economic development”,
“suistainable urban form”,
Ditulisnya:
“park and ride”,
“community scaled park”,
“heavy rail transit”,
“light rail transit”.
Kata dan kalimat itu kini miliknya, yang disalin ulang dari perbincangan bukan rahasia sang urban planner pirang dan pejabat berkalung name tag, perihal 3 huruf yang lagi beken: T.O.D. Di sini, di sana dan seluruh dunia, TOD singkatan dari: T=Transit. O=Oriented. D=Development.
Hastouki bergumam dalam hati, mengapa tak ada kalimat: “aturan” dan “hukum”, kata “regulation”, atau “law”, tak ada disebut diksi lawyer dalam perbincangan mereka? Uhhh, inilah justru peluangnya!
Hastouki nyaris terbuai suara orang berambut pirang yang cakapnya dominan. Hastouki asyik dengan penjelasan teknis frasa dan kosakata T.O.D yang dipetiknya dari perbincangan tak rahasia, karena diujarkan di area publik yang bisa dikunjungi siapa saja.
Dia membela diri dalam hatinya, sontak dua postulat pergaulan sosial meluncat dari kepala, inilah torehannya:
“Anda dalam kerumunan?
Riwayat hidup anda takkan dibaca.
Jabatan, pangkat dan kelas sosial anda yang elitis takkan dirana.
Diperlakukan sama seperti sebutir pasir di pantai Kuta.
Begitulah hukum sosial kerumunan bekerja”,
“Ujaran di area publik tak lagi rahasia, tak pula semua privasi dirampas negara. Sebab ujaran siapa kepada siapa, bisa benar bisa hoax aniaya, bisa bernilai A.1 bisa limbah B3 paling berbahaya, takdirnya ya… tak lebih mentereng sebagai gosip saja”.
Usah terlalu menghakimi yang barusan di dengar di pedestrian tadi, simpul Hastouki. Demikian cepat rasionalisasi yang melintas di kepala Hastouki, cukup masuk akalnya yang rasional ala kaum urban, walau adanya berkah dia sangat percaya.
Kalau gosip itu dipetik dari tengah jalan, ya .. jatuhnya gosip pinggir jalan. Kalau dikedai kopi, ya … gosip kedai kopi namanya. Kalau gosip itu di kantor lurah?
Tapi seburuk-buruk gosip, ada visi memungutnya, tergantung bagaimana syaraf inspirasi anda kuat menyala, sama seperti kala anda menemukan tergeletak kotak berwarna, visi menyala yang membedakannya.
Jika yang menyala visi pemulung, atau visi petugas kebersihan, atau visi seniman instalasi kotak berwarna, atau gestur cuek belaka, ya… itulah takdir anda.
Jikalau yang menyala visi enterpreneur, atau inspirasi seperti ilmuwan totok yang kepalanya kejatuhan buah dari pohon yang dia duduk dibawahnya, dan sontak berteriak: Eureka!
Ya…, itulah takdir sosial miliknya.