Merah Jingga Interaktif … (5)
Berlomba dengan matahari.
Begitu kiranya tamsil kaum urban komuter Jakarta, menyiasati jalanan yang kejam dan aniaya.
Berangkat sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari terbenam. Itupun dengan badan remuk redam, seperti koran disiram hujan.
Badan tegak mata terkulai, seperti koyak-moyak daun pisang diserang badai.
Setakat ini, matahari kalah dalam perlombaan. Komuter urban yang survival for the fittest, dinamika kota menciptakan kreatifitas warga, bisa jadi mutasi gen kaum urban membuatnya lebih tangguh.
Banyak yang sukses karena lulus memenangkan lomba “lempar lembing”, satir untuk berdiri berhimpitan dibuai liukan bus kota yang padat, dan nekat!
Ini kisah nyata.
Masih terjadi sampai sekarang.
Usah cepat heran.
Ini romantika cerita Mang Pardi, driver Hastouki yang tinggal di Bekasi, menuturkan pengalaman sesamanya menyiasati lalu lintas pagi hari, mendengarnya saja sudah terasa aniaya.
“Orang-orang itu biasa melanjutkan tidur dimushola atau dalam mobil di lapangan parkir kantornya di kawasan Sudirman”,
“Menunggu kepala security gedung atau office boy membuka gembok gerbang kantor”,
“Sebab berangkat harus lebih pagi, ada juga sebelum subuh”,
“Jika terlambat 15 menit saja, perjalanan seperti ada hantunya, berhimpit, kepala saling beradu, terantuk-antuk seperti off road saja”,
“Berangkat lebih subuh jadi pilihan”
“Sampai, pintu belum terbuka, matahari belum ada, kantuk masih bersisa, ya… tidur lagilah”, berkisah Mas Pardi kepada Hastouki dengan ekspresi datar-datar saja.
Mang Pardi bersukaria, jurus TOD bisa mengatasinya, kawan-kawannya kini bisa sarapan pagi dulu sebelum berangkat ke kantornya di Jakarta, mereka bisa lebih lama memeluk pinggang istrinya, yang masih minta dimanja walau azan subuh menggema.
Mang Pardi terkekeh kecil, sepertinya dia sedang menceritakan dirinya sendiri kepada Hastouki, majikannya cepat mengerti sandi tawa dan ujarannya.
TOD pun memanjakan warga pengguna, kawasan itu dirancang pada radius 400 sampai 800 meter dari simpul transit, jarak yang tidak terlalu jauh dan panjang, masih sanggup di hela dengan berjalan kaki dari zona inti ke zona penyangga.
“Salah satu ciri TOD harus walkable, meniadakan pagar dan perimeter wall, penataan ruang dan lahan yang padat (density) dan padat (compact)”,
“Kawasan inti dan penyangga TOD musti saling terkoneksi dengan mudah dan nyaman dengan zona komersial dan zona hunian”,
“Pemanfaatan ruang pun tidak lagi tunggal hanya untuk stasiun, kini sudah bercampur dengan fungsi pemanfaatan ruang mixed”,
“Setiap inci lahan dan ruang saling terhubung horizonal, pun ruang udara dimanfaatkan optimal vertikal”.
Kalimat-kalimat itu dibaca Hastouki dari smartphone-nya, ketika menunggu tiba secangkir kopi Gayo Long Berry yang dipesannya di kedai kopi ‘Sangg’.
Stasiun Senen era TOD berubah total, yang merasakan stasiun “jaman old” akan paham inci-demi inci bedanya, depa demi depa baunya, desis suara kereta jurusan mana.
Jadilah stasiun kereta yang ciamik, megah dan meremaja, simpul transit yang smart mampu meluncurkan kereta dengan jadwal ketat dan jalannya cepat, dikelola dengan teknologi smart dan informasinya terintegrasi dengan perkakas smartphone warga. Pemanfaatan lahan dan zoning stasiun kereta berkolaborasi dengan hunian vertikal menjuang, kawasan komersial dan fasilitas pendukung sosial dan infrastruktur kenyamanan kota.
Hastouki berujar dengan dirinya, begitulah cara pengembangan kawasan TOD Senen, yang terhubung dengan kota-kota penyangga Jakarta, terkoneksi dengan sub urban Jakarta.
Dirinya seperti hadir dan menengok stasiun kereta api New York Avenue Station yang melayani NoMa, North of Massachusetts. Dia membayangkan dalam radius lebih jauh lagi, masih sepanjang jalur kereta dibangun simpul hunian vertikal dan commercial hub untuk pemberdayaan warga, menjadikan kawasan Senen Baru yang memberdayakan.
Tak kuasa dibenak Hastouki hadir gambar imajiner Tama Denen Toshi New Town (Tama Garden City), dan membandingkannya dengan pengembangan kawasan TOD Senen yang masih tahap pertama.
Mulai jenuh dengan konsep real estat yang menjual gimmick “dekat pintu tol”, kini menggeliat dan beken konsep TOD. Padahal bukan hal asing, karena sudah lama digiatkan di Hongkong, satu contoh sukses pengembangan kawasan dengan konsep TOD, setidaknya begitu pendapat Rusmin Lawin, alumni Fakultas Hukum USU yang aktif di FIABCI, asosiasi perusahaan real estat sedunia, bahkan sempat menjadi World FIABCI Board Member, anggota Dewan Gubernur FIABCI sedunia 2018-2019.
Apa hebatnya TOD Senen itu? Kalau bukan kolaborasi perdana sinergi BUMN, lantas apa?
Kawasan pedestrian TOD Senen nyaman bagi yang suka berjalan kaki. Bukaan jalan trotoar lebar, sekitar 8 meter, disambut pedestrian dalam yang lapang dan disainnya asri berseni, menghubungkan perlintasan pejalan kaki dari pangkal Jalan Bungur Besar dengan pelataran lapang Tower 1 kawasan komersial TOD Senen.
Di sini, pejalan kaki bebas melenggangkan tungkainya, tak perlu kuatir persintuhan yang tak diinginkan dengan kenderaan bermesin yang dulu di tempat ini, yang acap berkelakuan aniaya.
Ada pula jalur pesepeda yang bercat hijau lebar semeter, dengan garis putus-putus berwarna putih, lengkap dengan gambar penanda siluet orang berkendera sepeda. Putih yang menjaga hijau, seperti hendak mengembalikan kedaulatan pejalan kaki dan pesepeda yang dulu kerap tersingkir dari dominasi kenderaan bermesin.
Pejalan kaki zaman dulu berpikir defensif, lebih baik menghindar daripada korban aniaya. Di sini, tempat parkir sepeda tersedia, dan aman dari penjahil tengil.
Itulah area walking and cycling yang nyaman, menjadi ciri yang kental bahkan syarat kawasan TOD di kota-kota manapun sepenjuru dunia.
Tersedia banyak kanopi dan naungan payung nyaris sekujur jalan antar gedung yang nyaman dengan rerimbun pepohonan dan kebun mungil yang asri terhampar di sana sini.
Petugas perawat taman, gardener, sibuk menyiangi rumput liar yang terselip di sekitar pohon dan kembang. Sulam bordir label nama petugas dan nama perusahaan tertera jelas pada bagian dada seragamnya, nama perusahaan yang mirip dan konon masih satu group dengan pengelola TOD Senen.
Selain taman? Disempurnakan dengan bangku-bangku menghadap taman, terbuat dari bahan solid dengan motif ukiran, bentuknya tumpul, tak ada yang lancip, aman dan nyaman untuk anak-anak yang berlari-lari dan bergerak lasak.
Fasilitas di kawasan TOD memang musti layak untuk keselamatan anak-anak. Jakarta mustinya Kota Layak Anak (KLA) seperti yang diperjuangkan KPAI, indikator yang tak elok diluputkan otoritas kota, sahabat saya pak Hadi Supeno, pak Asrorun Niam, dan pak Susanto Nawa pernah menjadi Ketuanya.
Trio gedung TOD KAI Senen tampak molek walau ditatap dari kejauhan: 1 tower MBR, 2 tower midlow. Tumbuh serentak seperti buncah kacang hijau yang ditebar di hamparan tanah gembur, cepat ligat bertunas menjadi tauge mencari matahari.
Memang begitu watak membangun gedung vertikal bernama apartemen, pembangunan fisik konstruksinya tak boleh berhenti tengah jalan, kalau tidak hendak dituding kesulitan cash flow atau tersendat perijinan.
Trust pasar terbangun karena developer tepat waktu topping off, konstruksi tak berhenti, finishing, terbit SLF, dan selebrasi penyerahan pertama. Itu ciri dan rahasia proyek property hight rise building yang sehat cash flow-nya.
Tower 3 sedikit lebih rendah. Skala floor area ratio alias Koefisien Lantai Bangunan (KLB)-nya lebih kecil. KLB adalah koefisien perbandingan antara luas keseluruhan lantai bangunan gedung dengan luas persil tapaknya.
Mengapa ada label akronim KAI? Ya, karena TOD Senen kerjasama PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dengan Wika Gedung yang mengelola properti kawasan TOD Senen. Yang dibangun di atas hamparan tanah Hak Pakai atas nama KAI, dengan stasiun kereta Senen dijadikan simpul transit.
Kiranya KAI tak hanya mengandalkan pemasukan konvensional dari penjualan tiket kereta. Mereka merambah bisnis properti, dari pemasukan non tiket lainnya. Konsep TOD menjadi jurusnya, kebutuhan hunian bagi kaum komuter Jakarta menjadi berkahnya.
Belakangan juga KAI membuat kesepakatan dengan BUMN karya yang lain, membangun prasarana dan pengelolaan kawasan TOD yang dilalui dengan Light Rail Transportation (LRT). Jalannya lebih lincah karena ringan, gerbongnya bercorak futuristik, dan tak terlalu panjang sehingga mudah meliuk-liuk, usah takut benturan, persis atraksi tarian Serampang XII, penarinya berpasangan tapi tak boleh ada persintuhan.
Kawasan TOD tak hanya memudahkan transit, mengatasi macet dan hambatan transportasi cepat massal namun menjadi area komersial yang memantik perkembangan bisnis dengan strategi optimalisasi aset tanah dan properti.
Hastouki masih terdiam di kedai kopi ‘Sangg’. Letaknya di lantai 2 di area komersial yang menjadi podium Tower 2, mulai sejak Oktober tahun 2017. Tower 2 dan 3 semuanya apartemen komersial.
Tower 1 khusus untuk MBR, apartemen milik bersubsidi dengan skim pembiayaan berbunga murah, selisih bunga yang disubsidi pemerintah, ada juga bantuan uang muka, itupun kalau terdaftar peserta Tapera, tabungan perumahan rakyat, yang mulai jalan 2 tahun lalu.
*****
Sabar sebentar!
Setelah ini dijelaskan apa itu MBR.
Konon, salah satu maksud TOD adalah penyediaan hunian vertikal apartemen milik bagi MBR, akronim Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang diberikan subsidi pembiayaan memperoleh rumah susun umum alias apartemen MBR.
Mengapa? Terlalu mahal dan mewah membangun perumahan berkonsep rumah tapak (landed house) bagi MBR sebab harga tanah Jakarta yang melangit.
Selain itu, TOD adalah simpul trasit yang nyaman bagi kaum komuter agar terhubung dengan transportasi kereta yang murah dan cepat.
Medio tahun 2021 TOD KAI Senen rampung, atau 4 tahun setelah ground breaking. Walau masih tahap pertama, developer sudah memacakkan 3 tower hight rise building paling dekat stasiun Senen, simpul transit bagi kaum komuter yang masih bisa dihela dengan berjalan kaki tanpa kucuran keringat.
Masih di bagian dalam stasiun kereta TOD Senen. Jalur untuk berjalan orang di bagian dalamnya lebar dan bagus, hawanya sejuk, cahayanya terang, toko dan kedai berjejer, gerai-gerai juga ramai.
Orang yang berlalu-lalang juga ramai, seakan tak hendak berhenti, kecuali kalau perutnya kelaparan ataupun hajatnya mendesak ke toilet tak tertahan.
Petugas berseragam warna menarik ada dimana-mana, ada laki-laki dan ada juga perempuan, mereka siap membantu, tertulis di belakang seragamnya: “Station Helper”. Pun juga satpam bersiaga mengamankan dan mengawasi. Menjadi “mata stasiun”. Entah pula, apakah ada diturunkan mata-mata, TOD Senen simpul stansit yang strategis, nadi transportasi Jakarta dan sub urbannya.
Ada banyak anjungan ATM, beberapa titik lokasi memajang mesin otomatis tiket MRT, tak harus antri di loket membeli tiket lagi, malah antian tak terlalu panjang pindah ke “palang pintu” masuk area peron yang jumlahnya kurang.
Jam digital warna merah di sana sini berkedip-kedip dua titiknya, seperti dua titik itu menghitung statistik langkah kaki-kaki pengguna jasa stasiun. Jam digital merah itu disiplin, tabah menjaga komuter agar tepat waktu pergi dan transit. Pun, tepat waktu transit dan pergi lagi.
Datang, pergi dan transit. Pun transit, pergi dan datang lagi, kiranya itu memang watak asli manusia (super) metropolitan Jakarta. Melihat kedap-kedipnya, seperti membayangkan jantung berdetak. Dip, dip, dip, ……, dip, dip, dip, ….hanya dua titik merah itu, berkedip tanpa suara. Kedap kedip dua titik warna merah itu indikator denyut kehidupan stasiun Senen tak berhenti.
Bertambah satu lagi hitungan yang tak berhenti, selain bunga bank dan degup jantung, itulah detak jam digital stasiun.
Ada pertanyaan yang terpendam. Menyembul dibalik kenyamanan stasiun.
Ada berapa banyak nasib manusia yang telah berubah? Ada berapa banyak pula takdir orang-orang yang tersisih?
Kemanakah pergi pedagang kaki lima atau asongan yang dulu berjualan di sekitar stasiun Senen?
Pertanyaan nyinyir itu seperti bait syair menyindir milik Tengku Amir Hamzah, sang pahlawan nasional, penyair pujangga baru asal Tanjungpura, Langkat Sumatera Utara:
“Ke arah mana Tuan berjalan?,
Di bumi mana Tuan bertahan?”
Pembaca, bantulah menjawab pertanyaan orang-orang tersisih ini, itupun kalau perasaan keadilan menampar-nampar hati anda.
Dimanakah mereka??! Transit permanen di sini sepanjang hari?
Atau, tersingkir kemana lagi?
Menyebar ke bumi mana lagi mencari rizki?
Menyewa kios kecil di kawasan stasiun?
Atau menjadi pegawai toko?
Menjaga kedai atau gerai milik orang?
Tinggal dimana sekarang?
Tersaring ke luar kota, atau kembali ke kampung asalnya?
Terserap-kah mereka ke apartemen MBR?
Atau tersingkir ke hunian MBR yang jauh di luar Jakarta?
Bisa jadi masih di Jakarta, tinggal di “kampung terjepit” di balik tembok tebal dan menjulang tinggi, masih menempel kawasan TOD Senen, di sana mereka menjadi sekerupnya.
Ini kisah cinta yang kandas.
Pemuda perantau yang putus kontak dan kehilangan kekasihnya, yang diperlinya ketika stasiun Senen masih tua, TOD belum ada, stasiun belum meremaja, ke peron pun masih naik tangga, tinggi, anak tangganya banyak, kusam dan kasar.
Tidak ada yang tau kemana pergi Siti Humairoh, sudah ditanyanya kepada kepala stasiun yang ramah, di tanyanya kepada boss penjaga parkir, karena dia juga pernah suka pada Humairoh.
Padahal pemuda itu dan Humairoh sudah berjanji memadu kasih, kisah kasih yang tak mudah.
Pulang kampungkah Siti ke Tanggamus, Lampung di seberang sana? Dunia sepi. Hati Budi sunyi. Semangatnya kikis.
Lupakah dia dengan rambut ikal berombak Mas Bambang Budiman kekasihnya?
Tak ingatkah dia cubitan di ujung senja? Lupakah dia gigitan nyamuk jahil dan sapuan minyak gosok ke lengannya yang menautkan jemari mereka?
Masihkah dia ada di langit yang sama? Menatap senja merah jingga yang serupa? Kalau masih tinggal di bawah kolong angkasa, Mas Bambang Budiman hendak terbang, dipinjamnya sayap burung elang, dibujuknya burung rajawali meminjamkan mata jeli, saban terasa lelah ditunggunya hujan selesai berderai, dia hendak bertengger di pucuk bianglala, mencari dan mencari dimanakah duhai Siti Humairoh….adinda si pipi merah.
Mungkin syair Tengku Amir Hamzah ini bisa mewakili lakon situasi ini:
“Elang, Rajawali burung angkasa,
Turunlah tuan barang sementara,
Beta bertanya sepatah kata,
Adakah tuan melihat adinda”.
“Mega telahku sapa
Margasatwa telahku tanya
Maut telahku puja
Tetapi adinda manatah dia!”
Lupakan sejenak tower 1, 2, 3 yang menjuang, stasiun yang molek, layanan yang santun, jam digital yang disiplin, petugas stasiun yang siaga, jadwal MRT tepat tiba, gerai yang wangi dan kedai yang tertata rapi, dan seterusnya dan selanjutnya.
Coba terka, bagi mereka yang mengadu kepada “Elang” dan “Rajawali”, bagi yang tersingkir di “kampung terjepit”, akankah TOD berkah atau biang masalah baru?
Ini ada daftar sejumlah pertanyaan lain lagi, namun cukup diwakilkan pada 3 pertanyaan tambahan saja.
……….?
……….?
……….?
Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur cepat dan penuh, seperti kereta MRT yang silih berganti, datang dan pergi.
Belum ada yang menjawab!
Hastouki pergi ke TOD Senen.
Di kepalanya belum bertengger pertanyaan-pertanyaan. Dia bergegas demi menepati janji rapat penting dengan Baihaqi, karibnya yang pernah associates di kantor lawyer-nya.
Rupanya, fungsi kedai kopi bermetamorfosa menjadi ruang kerja generasi milenial “jaman now”, bahkan lantai bursa komoditas, branchless office, atau “gua” bagi pertapa, pun pertambangan inspirasi.
Hastouki-Baihaqi bersekutu lagi, kali ini dalam urusan kopi. Berniaga kedai kopi waralaba bermerek ‘Sangg’, setelah setahun lalu Baihaqi lompat indah ke perusahan asing yang investornya dari Turki. Tampaknya Baihaqi menemukan passion-nya menjadi inhouse lawyer.
Merah jingga di langit masih bertemali dengan sang zona waktu: ujung Magrib menjelang Isha namanya, masih hari Jumat malam (01/07/2022).
Senja yang belum menua. Nun, panorama merah jingga itu belum lesap beranjak pergi dari langit.
Dia melangak.
Ada langit merah jingga.
Ketika Hastouki tiba di kedai kopi ‘Sangg’, rona merah jingga itu tidak lagi berada di langit Senen, mungkin menggantung di sekitar langit Pahawang, pulau pasir di Selat Sunda.
Namun ajaibnya, dia bisa melihat nun langit merah jingga sudah tiba di sana. Merah jingga tak lagi di langit Senen.
Entah apa perkakas yang menerobos jarak yang bisa dilihat dengan bola mata, padahal dia tak lagi berkacama jauh.
Tak mungkin dengan bola matanya. Mungkin dengan mata akalnya, mungkin pula dengan mata perasaan yang hudhur. Merasakan yang ajaib memang tak dimulai dari laporan bola mata.
Kedai kopi ‘Sangg’ itu outlet yang ke-7 persekutuan usaha mereka. Tampil simpel futuristik, namun artistik molek bergelimang binar cahaya lampu sorot yang mencolok. ‘Sangg’ hadir di lantai 2 Tower ‘midlow’ yang jangkung 26 lantai, jika bagunan bagian podium ikut dihitung.
Mustinya dihitung! Termasuk koridor dan jalan penghubung. Karena menjadi statistik luas pertelaan yang terkait cara menghitung berapa kewajiban pengembang membangun apartemen alias rumah susun umum untuk kelompok berpendapatan rendah yang berbeda dengan apartemen komersial murni.
Membangun rumah susun umum itu mendapat subsidi pembiayaan dari pemerintah, sehingga mengurangi harga jual.
Hastouki-Baihaqi pemilik kedai kopi memilih area komersial Tower 2 TOD Senen membuka kedai kopi lagi.
Dalam hatinya berkumandang analisa, dan rencana melakukan curi start ataupun jumping menambah kedai kopi di sini.
“Setelah 3 tower siap, sebentar lagi 1 tower mixed dan Commercial Hub dibangun. Menyempurnakan konsep TOD Senen”.
“Kawasan Senen bakal lebih ramai lagi”, lanjut olah batinnya.
Dengan pengembangan tahap ke-2, TOD Senen lebih ramai lagi, lebih bergelimang sorot cahaya lampu lagi. Pun ditengok dari langit.
Cahaya memang selalu identik dengan prospek yang cerah, termasuk bagi peniaga kedai kopi. Negeri ini masih kekurangan kopi, walau tak pernah kekurangan cahaya matahari.
Senja telah pergi.
Merah jingga juga.
Baihaqi belum datang.
Belum ada sepotong kabar.
Hastouki tidak meradang.
Dia menunggu sabar.
@kedai kopi ‘Sangg’, tulisnya dalam status FB, di tag-nya kepada Baihaqi .