Merah Jingga Interaktif … (6)

3. @Kedai Kopi ‘Sangg’

Kedai kopi ‘Sangg’ bercahaya terang benderang. Di atmosfir, langit sudah redup meredup.

Di bawahnya merah jingga langit Senen telah lama lesap, telah sampai di zona waktu yang lain, walau masih kolong langit yang sama.

Jika dihitung dari bilangan waktu edarnya, merah jingga langit Senen telah pindah dari langit pulau Pahawang, bergeser ke zona waktu Bandar Lampung, kota marina nun di pangkal pulau Sumatera.

Transit di sana.
Merah jingga langit pindah lagi, menyusuri Sumatera, geser ke Tanjung Kelayang, lanjut Anambas, Bener Meriah, transit lagi, pindah lagi, dan begitu seterusnya.

Transit lagi dan pindah lagi. Menjadi garis edar tak berhenti, tak putus, berlanjut terus. Banyak penggemar merah jingga di belahan dunia, menjadikannya judul cerita fiksi, latar romantika cinta anak manusia, ditunggu sebagai teduh, ditatap sebagai sunset, digemari sebagai inspirasi puisi, diambil sepotong sebagai kado, dan bagi Hastouki, merah jingga adalah berkah.

Lima jam lagi edar merah jingga pun ke Istanbul tiba. Perlu tambah 5 jam dari waktu Jakarta, tambah 2,5 jam dari India, tambah 8 jam dari Sydney.

Ya, saat senja tiba di Istanbul, bayangan merah jingga itu tampak utuh di muka perairan Bosporus yang tenang, selat yang mempertautkan Istanbul belahan Eropah dan Asia, antara selat Marmara dan Laut Hitam yang membuatnya eksotik, istimewa, acap dikejar turis, destinasi disukai digital nomad writer.

Sebagian turis menikmati sunset merah jingga dari buritan kapal yang melewati selat Bosporus sambil menikmati Kahve, yang terkenal Turkish Coffee, memasaknya dengan Ibrik, perkakas seperti centong kecil.

Istanbul, yang berada di dua benua, menjadi alasan ibukota Turki itu istimewa. Lebih istimewa karena kisah heroik Mohammad Al Fatih yang tahun 1453 memfutuh kota Konstantinopel, pusat kerajaan Bizantium, sebelum ditukar menjadi Istanbul. Kota dibagi dalam banyak distrik, yang disebut Nahiye. Tiap Nahiye dibagi dalam sejumlah lingkungan yang disebut Mahalle.

Tersebab merah jingga yang terbit, datang, pergi dan transit. Lantas terbit, datang, pergi dan transit lagi. Jadilah Senen-Istanbul bagai garis edar imajiner merah jingga. Yang mengerti pesan langit, bisa melihat garis lengkung imajiner itu dengan intim dan hudhur, menikmati dengan rasa Dhawq, rasa karena merasakan sendiri, mencicipi langsung.

Takkan merah jingga lewat begitu saja. Ada berkah saat pertukaran kontras dari sang gagah siang kepada aduhai lembut malam, tercipta pemandangan langit yang elok, hati yang ingat, takbir di angkat.
Menjadi senja yang indah dinikmati.
Menjadi magrib yang fardhu disyukuri.
Alluhu Akbar.
Alhamdulillah.

Ada berkah di garis edar senja merah jingga.
Bisakah berkah dikalkulasi dengan Kalkulus cabang ilmu matematika? Ditiorisasi dengan Sosiologi Ekonomi?

Akankah dibenarkan sains garis edar imajiner merah jingga Senen-Istanbul berisi berkah? Alasan mengapa magrib menjadi fardhu, pun isha begitu, padahal bedanya sekejap saja, apa rahasia tak dalam satu waktu fardhu?

Apakah orang yang melihat merah jingga di Senen terhubung dengan merah jingga Istanbul? Bagaimana bisa? Apakah ini kelakuan mengada-ada?

Adakah menjadi hobby baru langit merah jingga? Kemudian membentuk komunitas, menuliskan apa saja perihal apresiasi keajaibannya, menjadi digital nomad writer pemburu langit merah jingga di seluruh dunia, mencari defenisinya, mencari detail cara beredar, detik demi detik bersalin bentuk, bertukar corak, mengintip cahaya warna putih berhambur membiarkan warga merah dan kuning paling lambat pergi, frekuensi warna yang paling pas meredupkan udara panas, dan membandingannya dengan Senen, Pahawang, Anambas, Kampong Tanamas Langkawi, Delhi, Kathmandhu, Karachi, Istanbul.

Lantas mereka memuat acara gathering, makan-makan, bertukar cerita, selfie drone, mengungah foto, bersahabat, sedikit berdebat, menulis esai mandiri, bertukar kontak privat, tukar menukar gosip, ambil momen konsultasi hukum, tak sengaja barter rahasia, terbahak pamer gigi veneer porcelain, dan unjuk senyum manis, dan bahkan berbisnis, karena keterlekatan sosial. Kohesinya langit merah jingga! Entah pun ada yang berlanjut ke pelaminan, menggelar pesta.

Akankah itu menjadi keterlekatan sosial Senen-Istanbul? Ya…, keterlekatan menjadi alasan memuat gathering, …., sampai dengan ….., berbisnis. Semua itu, bahkan banyak lagi, adalah keterlekatan sosial merah jingga.

Kalau terjadi perjumpaan, dan …., akhirnya bisnis, itulah berkah keterlekatan yang oleh pengusung tiori ‘Social Embeddedness’ dalam ‘The New Economic Sociology’ mendalilkan sebagai relasi ekonomi. Ada relasi antara struktur relasi sosial atau network dengan fenomena ekonomi, begitu ajarannya. Yang dikenal sebagai konsep Berkah, dalam ajaran Islam. Berkah di bawah langit Senen-Istanbul.

Usah pula terlalu cerewet kepada seluk beluk ajaran ‘Social Embeddedness’. Usah over rasionalisasi datangnya berkah langit merah jingga. Bukan hal mustahil waralaba kedai kopi ‘Sangg’ merambat ke Istanbul karena keterlekatan sosial merah jingga.

Keyakinan itu tertanam di akar rambut, ujung janggut, akar alis mata, putih dan hitam bola mata, kulit kepala, nadi, vena, aorta, jantung dan hati Hastouki.

Jam 19.05 WIB.
Masih Jumat malam, tanggal 01 Juli 2022.
Hari belum berganti hari.
Almanak belum bersalin menjadi 2 Juli.
Masih 5 jam lagi kurang beberapa menit.

Baihaqi belum datang!
Dia belum memberi sepotong kabar.
Kalah cepat dengan merah jingga yang sudah mengabarkan real time tengah berada di atas Selat Melaka, dan berikhtiar beredar menuju langit Istanbul.

Mungkin Baihaqi masih terkurung, menyusun siasat pembebasan yang rumit dari urusan kantor, atau sedang melenggang lunglai di simpul transit stasiun Manggarai.

Perkiraan paling frontal, dia belum selesai rapat dengan boos-nya. Yang terakhir ini yang lebih mungkin, berkalkulasi dari keluh Baihaqi kepada Hastouki setahun terakhir ini, agak payah dia membuat satu saja alasan cerdas agar segera cabut lebih cepat dari majelis rapat, apalagi sang boss perempuan single itu tegar dalam sikap pendapat, dan suka berbicara.

Baihaqi pernah berujar, boss-nya perempuan cantik berparas khas, yang tipikal profil wajahnya jarang ditemui di negeri tropis sini. Tak puas memandangnya, walau sekilas.
Itukah agenda tersembunyi Baihaqi tidak terlalu maksimal berusaha cepat bebas dari urusan kantor, dan ijin keluar meninggalkan rapat? Hanya Baihaqi yang tahu.

“Cerdasmu harus sebelas kali lebih sempurna, bukan angguk-angguk patuhmu yang dibutuhkannya”, ujar Hastouki kepada Baihaqi memberi nasihat kala dia mengajukan keluh cengengnya.

Hastouki berdiri.
Dia melihat jam tangannya.
Badannya menghadap “kongliong” yang menganga di serambi ‘Sangg’.

Ditinggalkannya sofa yang baru diduduki.
Dia pergi membawa diri maju sedikit persis di depan kedai. Ditengoknya sekeliling, matanya meronda dengan bola mata paling ganas, rakus merekam keramaian pengunjung berlalu lalang, seperti sepasang mata serigala yang tajam.
Pikirnya, mungkin sebagian baru tiba untuk mencari tempat berehat melipat penat dan bertemu sahabat, maklumlah akhir pekan dan masih tanggal 1 pula.

Kuat alasan untuk merayakan hari gajian bersamaan akhir pekan, perpaduan hari yang mewah, walau hanya minum setangkup kopi dan menikmati kuliner ringan kentang panggang dan makaroni kukus buatan anak negeri.

Hastouki mengambil jalan.
Sengaja berputar menelusuri selasar, menengok toko yang kecil maupun besar, outlet-outlet yang open table, tamu-tamu kedai pun restoran bergeliat dengan seleranya.

Sembari kakinya berjalan, otaknya pun jalan. Dia menghitung cepat statistik keramaian pengunjung TOD Senen malam itu, ramai karena masih tanggal muda di akhir pekan pula. Dia seakan petugas lapangan agen surveyor.

Survei spontan itu dilakukannya dengan super ligat, secepat perjalanan MRT Manggarai-Senen yang hanya selama 10 menit saja, banyak yang dilihat dan dicatat walau hanya dalam hati, dicerna untuk mendukung asumsi pendapat, walaupun hanya setipis kulit ari fakta permukaan. Belum sedalam proyek survei berbulan-bulan yang penat, apalagi dengan pendekatan Etnografi yang menguliti lebih rewel dan terinci.

Tanpa melakukan survei serius pun, banyak yang mempercayai keputusan bisnis hanya urusan insting insaniawi dan utak atik pengalaman lapangan, berdalil kepada apa yang disebut Street Smart. Nekat bertenagakan semangat, bersenjatakan doa ma’rifat, berharap berkah didapat!

Dia melihat jam tangannya lagi.
Aha, 10 menit saja!
Sesingkat itu, cukup membuat prognosa alias asumsi permulaan ikhwal prospek masa depan bisnis TOD Senen, termasuk kedai kopi ‘Sangg’. Ilmu apa yang dipakainya? Dari tamadun (peradaban) mana berasalnya?

Tak ada terdaftar agenda yang lain, hanya tertera “MM Has-Qi on Sangg” pada catatan dijital ‘Schedule Planner’ di fitur smartphone-nya. Ya, “MM Has-Qi” adalah kode untuk “Monthly Meeting Hastouki-Baihaqi kedai kopi ‘Sangg’”.

Selain untuk bertemu menggelar rapat “bilateral” Has-Qi, rupanya keterlambatan Baihaqi dan kedatangan Hastouki lebih awal, berbuah bonus “analisa pasar” yang memantik api semangat dan senyum melebar.

“Tak hanya merah jingga. Ada berkah di sini”.
“Senen itu simpul tengah, penghubung semua kawasan, ya… utara, pusat, selatan, timur dan barat”,

“Dari utara, mulai pantai Ancol-Gunung Sahari, simpul di Senen. Dari arah timur, sebelum Pulo Gadung, lalu Kelapa Gading, Cempaka Putih, terus menyimpul di Senen”,

“Dari barat Jakarta, Slipi, Tanah Abang, Cideng, Kebun Sirih, Kwitang, lanjutan di simpul Senen, begitu juga dari selatan, simpul transit di Senen”,

“Titik diagonal lintas silang dan lintang Jakarta, ya Senen”.

“Titik simpulnya Senen”. “Titik sumbunya ya…Senen”. “Senen menjadi Titik Nol-nya”.

Kedai kopi ‘Sangg’ ada di titik nol ajaib itu, bisiknya menularkan semangat kepada dirinya sendiri

Leave a Reply