Merah Jingga Interaktif … (8)
4. ‘Pak Ketipak Ketipung’ & ‘Siti Kewe’
Tersuruk di pojok ‘Sangg’.
Di tundanya syahwat hendak berehat sejenak. Diurungkan hajat naik ke apartemen miliknya di lantai 7 Tower 2 yang dibeli lunas tahun 2021, untuk transit, dan lebih mendekat pada ‘Sangg’.
Dibelinya dari pemilik pertama yang pindah kerja ke Malaysia yang menjual cepat. Hanya Rp 350 juta, luas 36 meter persegi, dekat pintu lif, view menghadap jalan, dan makin disukai Hastouki karena unitnya nomor 707 di lantai 7. Angka yang disukainya. Harga perdana apartemen Tower 1 hanya Rp 9 juta per meter, jika membaca ulang price list yang diwartakan.
Beda dengan Anami non MBR, developer TOD Senen menjual Anami MBR dengan harga spesial: Rp 7 juta per meter! Dengan luas 32 meter harga jual perdana menjadi Rp 224 juta. Begitu ujar Menteri Rini Suwandi kala itu. MBR adalah akronim Masyarakat Berpenghasilan Rendah, yang khusus didefenisikan dalam UU No. 1 Tahun 2011 dan UU No. 20 Tahun 2011. Untuk MBR disediakan 1 tower sendiri.
Harga spesial? Jika dibanderol Rp. 224 juta ukuran alias tipe 32 meter persegi untuk MBR, maka benar-lah klaim harga spesial, kalau dibandingkan proyek lain yang dibuat developer Sesama Berjaya yang mengasumsikan harga jual Rp 8,8 juta per meter atau maksimal Rp. 316,8 juta tipe 36 meter semi-gross, itupun dengan skim subsidi FLPP.
Apa pulak itu FLPP? Masih banyak yang belum tahu dulunya ada FLPP, singkatan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan untuk kaum MBR sebelum bermetamorfosa menjadi Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera.
Hastouki lawyer berlisensi dari PERADI setahun lalu, saat itu Ketua Umumnya masih dijabat Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan, Fauzie Yusuf biasa di sosial medianya. Hastouki juga penyuka kopi stadium akut yang sempat belajar jadi Barista, segala kopi dicobanya, banyak buku kopi dilahapnya. Ahaa, Lawyer-Barista.
Kombinasi profesi Lawyer-Barista bukan antagonis, malah banyak titik taut kohesinya. Keduanya mempunyai bahan dasar yang sama dalam cara (acara) meraciknya.
Bahan baku bagi Lawyer adalah fakta hukum dan meracik hukum acara. Cara meracik acara ini yang membedakan tarif lawyer, walau buku hukum yang dipakainya sama, judulnya sama, penulisnya sama, tahun terbit dan penerbit sama bahkan jenis hurufnya pun serupa.
Bahan dasar kopi adalah roaster dan ‘protokol’ cara meraciknya. Itu yang membedakannya. Ambil contoh Turkish Coffee, ada yang khas acara meraciknya kopi yang di sana disebut Kahve.
Acara minum kopi naik kelas, sebab kopi menjadi minuman resmi sejak sulthan Sulayman yang Agung (1520-1566). Karena mereformasi peradilan dan membuat hukum (kanun) sulthan digelari Sulayman al Kanuni. Tahtanya dilanjutkan sulthan Selim II. Trah diatas Sulayman al Kanuni adalah Sulthan Beyazid II (1481-1512), anak dari Sulthan Al Fatih yang tahun 1453 mem-futuh Bizantium/Konstantinopel, yang kemudian menjadi Istanbul.
Kembali ke Turkish Caffee. ‘Protokol’ acara sajian kopi itu dibuat dengan perkakas bernama Ibrik. Ibrik terbuat dari tembaga warna cokelat kekuningan, ukurannya mungil seperti centong kecil.
Ke dalam Ibrik dicurahkan air, lantas dipanaskan, tambahkan bubuk kopi dan gula sesuai selera, kemudian dimasak sampai keluar busanya, harumnya juga. Turkish Coffee sudah siap disajikan dan direguk dengan kerabat dan kawan.
Di Turki, minum kopi ajang sosialisasi, ikhtiar silaturahim, mencairkan kebuntuan ruang formal yang garang sok kuasa, dengan perbincangan tanpa sekat yang merdeka dari protokoler, jadilah Informal Talking.
Sajian kopi boleh tanpa gula atau disebut ‘Sede’, malah yang paling disukai, bisa juga dengan gula sedikit, atau rasa manis sekali dengan gula banyak, ‘Sekerli’ dalam bahasa Turki.
Cobalah nikmati di kedai kopi dekat Haseki Hurrem Camii di Istanbul, pada suatu petang jelang senja dengan merah jingga yang memantul di muka perairan Selat Bosporos. Sembari membayangkan bagaimana geliat Sulayman al Kanuni meracik kanun, dengan sajian Turkish Coffee dari tungku yang memanaskan Ibrik.
Lawyer menikmati jeda litigasi dengan senyum kemenangan, dan bola mata yang tersenyum, yang menggoda untuk rihlah, datang dan transit ke sana. Rihlah, datang, dan transit menengok kota dan keturunan ‘Kadin’, sebutan istri sulthan yang berparas Sekerli.
Di Turki acap dilombakan ‘protokol’ cara meracik Turkish Coffee yang disebut Ibrik Champion. Inilah titik persamaan Lawyer dan Barista. Stop dulu protokol kopi.
Ohya, awalnya developer TOD Senen mengembangkan 3 tower hunian vertikal dan fasilitas pendukungnya di atas tanah 8.560 meter persegi milik KAI, satu BUMN yang mengusahakan moda transportasi kereta api di seluruh negeri, wajar saja jika tanahnya melimpah, sempadan rel dibiarkan dan banyak kurang diurus. Bayangkan, sepanjang bantal rel kereta api tanah miliknya. Bagaimana mengurusnya banyak tanah andai tanpa konsep Land Management?
Hastouki sempat menyapa beberapa teman yang melintas yang juga menghuni Anami, apartemen milik, Tower 2. Sebab disana dia pernah intens berinteraksi menjadi inisiator membentuk PPPSRS, dan pernah diminta voluntary menyiapkan naskah statuta dan apartement code, aturan penghunian bagi warga ‘negeri di awan’ Tower TOD Senen.
PPPSRS adalah akronim yang disebut khusus dalam UU Rumah Susun, untuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun, sebagai wadah bagi pengelolaan tanah bersama, bagian bersama, dan benda bersama. Pemilikan bersama atas Tower TOD Senen, selain unit yang terpisah tentunya.
Dari stasiun Senen. Sesayup, sisa riuh suara kereta MRT penghubung jalur utara-selatan melenguh-lenguh. Heavy rail bertitel Mass Rapid Transportation itu bersiap merayap. Lenguhan kereta awal malam itu berbaur dengan suara derap tapak-tapak alas kaki kaum komuter di selasar stasiun, turun dan naik tangga, bergegas ligat setengah berlari mengejar kereta pukul 19.30 WIB.
Berdetak-detak bak suara sepatu lars barisan serdadu pulang ke barak kesatuan. Begitulah alegori karakter suara tapak kaki.
Suara itu terdengar memberontak ke rongga telinga, bertakung sebagai endapan ingatan, seperti ingatannya pada teriak melengking kakak pelatih paskibraka yang merasuk ke bawah sadar dalam diri.
Hastouki mendengar suara yang tak terdengar, suara tanpa suara, suara tanpa resonansi, bagaimana dia menengarnya, apakah hanya suara dalam pikiran, karena sumber suara yang berasal dari stasiun Senen jika di tarik diagonal dari titik kedai kopi ‘Sangg’ yang letaknya di podium lantai 2 Tower 1, yang jaraknya lebih 400 meter dari peron stasiun Senen, suara itu telah tiada. Bekasnya pun sirna.
Apalagi letaknya meliuk di ruang bawah, sementara lokasi ‘Sangg’ di lantai 2, tak sanggup naik merambat sampai ke ruang dengar Hastouki yang tengah tersuruk di kedai kopi, yang suara percakapan pelanggan saja sudah terlalu ramai berderai, habis kisis mengalahkan lenguh suara kereta, walaupun badan gerbong kereta itu besar dan panjang.
Hastouki masih berdiam, matanya setengah terpejam, keningnya sedikit mengerut, ujung-ujung alis matanya nyaris menyatu.
Lantas suara apakah yang tak bersuara itu? Bukan suara jin, mana ada suara hantu! Walau pernah ada gosip kereta malam berhantu. Ah, siapa pulak hendak percaya tahayul “jaman now”.
Mungkin itu endapan efek getar yang membekas ataupun “suara imajiner” yang bertakung mengendap di alam bawah sadar penghuni Anami TOD Senen, walaupun baru satu tahun penyerahan pertama kali dari developer.
Itu lebih rasional, ada landasan body of knowlegde-nya. Bisa diteliti secara ilmiah, dipelajari dengan ilmu psikologi, yang terikat kode etik, disiplin dan standar kompetensi, seperti halnya dokter. Atau memang ada kemampuan ruhani manusia mampu mendengar melampaui jarak, seperti dihantarkan perkakas handphone dengan fitur Vidio-Call, VC. Dikisahkan, Umar bin Chattab pernah mendengar suara dari medan perang, padahal dia sedang jauh di tempat lain membaca khutbah. Kisah skill ruhani mendengar jarak jauh seperti dibantu perkakas VC itu diceritakan Muhammad Iqbal Irham Irham kepada Hastouki.
Kiranya perlu disaranlan meneliti efek psikososial penghuni apartemen atas “suara imajiner” itu, dengan studi kasus penghuni Anami TOD Senen. Agar pelayanan pengelola gedung bertingkat berkonsep TOD dekat stasiun kereta bisa berbenah mengatasi gejala psiko-sosial penghuni Anami. Atau itu hanya soal kejutan psikologi biasa? Bukan penyakit kejiwaan ala penghuni gedung tinggi, bukan trauma, bukan apa-apa.
Memang benar, ada suasana psikologis, tradisi dan sub-kultur yang sedikit berbeda, bisa jadi banyak juga, antara tinggal di hunian vertikal alias apartemen yang hight rise building yang tak menapak di tanah, tiada pekarangan, terkungkung bangunan demi aman dari naas kejatuhan, tentu berbeda selera dengan menetap di perumahan menapak bumi, landed house.
Bagaimana pula rasanya menetap di hunian angkasa raya peradaban Asgard?