Merah Jingga Interaktif … (9)

Pak Ketipak Ketipung & Siti Kewe 2

Masih di kedai kopi ‘Sangg”. Hastouki tersentak dari diamnya, seperti tersengat kejut kilat petir. Ronny dipanggilnya sekejap.

“Kalau Baihaqi datang, arahkan ke sini Ron”,
“Gawai lagi off line, biar hening 7 benua”,
“Indra dan rasa mau ku tajamkan”, kata-kata Hastouki muncur pelan.

Ronny mengangguk, dia paham watak boss-nya, tak kan memerintah kalau tak perlu, walau sedang tandang ke ‘Sangg’, tak hendak mengusik ‘Pilot in Command’ yang dilimpahkan.

Sudah lama Ronny paham itu, boss-nya bukan tipe egomaniak-absolut, tak menganut ‘Aku adalah Hukum’ meniru ucapan L’Etat C’est moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis yang totok anut absolutisme.

Hastouki mengasah indra dalam diamnya. Menarik nafas panjang dan dalam, dilepaskannya perlahan, dipelajarinya dari latihan quantum touch. Ujung lidahnya dikedutkan menyentuh langit-langit rongga mulut, sesekali dibaliknya 180 derajat, nafasnya melafalkan shalawat fatih.

Tetiba, bola mata Hastouki membelalak.
Kulit pelupuk matanya kembang, gajah di seberang jalan balik tower 1 pun macam bisa ditengoknya. Warna hitam bola matanya seperti hendak meluncat, kalau tidak terikat janji setia dengan putihnya, hitam mata sudah transmisi ke negeri dongeng ‘Jumanji’.

Kedua ujung alis yang tebal bergerak-gerak saling menjauh. Kepalanya yang teleng kekanan dilempangkannya, digerak-gerakkan memastikan dia sadar sempurna 100 persen.

Ahaa, sontak suara imajiner auman garang kereta dan hentak kaki serdadu itu datang lagi, tetiba pula cicing menghilang. Ibunya sudah menyuruh konsultasi ke dokter ahli, masih saudara andungnya, namanya dr. Dessi Wahyuni, tak gitu-gitu kalilah pikirnya, tapi dia takut abaikan pesan ibunya, dia enggan mengusik sumber berkah. Dia lebih minat penjelasan Muhammad Iqbal Irham Irham mengisahkan khalifah Umar bin Chattab yang mampu mendengar jauh bak Vidio Call.

Suara itu datang lagi, hilang lagi. Mungkin suara takut pada penjaga hitam bola mata yang hendak meluncat, suara itu hambus, habis kikis dari rongga indera dengar.

Entah ke tepi langit mana sepasang suara itu hilang lesap. Lesap selesap-lesapnya, tanpa bekas, tiada sisa di udara. Sekali klik, seperti pindah frekuensi radio FM, geser sedikit berubah suaranya, dari pidato pilkada kepada hip hip lagu disco cha cha, pindah dari satu channel ke channel lain.

Suara tak bersuara auman kereta itu sekali kedip bertukar jadi suara akordion. Riung-riungnya kental bersekutu dengan suara biola dan gendang yang melantang. Duhmak alahai irama Melayu menyempurnakan racik alunan musik ‘Pak Ketipak Ketipung’, diaransemen sentuhan moderen, sesekali ada sodokan greneknya.

Suara itu lekas menyelinap ke penjuru serambi ‘Sangg’, senyum dan goyang kepala orang mendengar lagu riang itu, tersisip lirik jenaka membuat surplus senyum. Gendre musik Melayu yang liriknya jenius dengan anasir jenaka itu lagi meletup sejak awal tahun 2022.

‘Pak Ketipak Ketipung’ lagu merentak namun keluarnya ringan, tak menguras tenaga menikmati iramanya, tak memutar pikiran mencerna pesan syairnya, malah energik bak energizer.

Seorang lelaki pengunjung ‘Sangg’ tegak persis di depan kasir, fasih memesan kopi specialty Gayo Long Berry ukuran sedang. Dia berujar sambil menatap pada pelayan, hanya order singkat, memastikan kopi tak pakai gula, tak dibawanya cingcong, hanya menjulurkan kartu debit. Begitulah saking penting baginya kelat, asam, pahit kopi gayo. Bauran olah rasa asam-kelat ‘body’ kopi itulah ada rahasia sensasi manis diantara pahit.

Melangkah arah balik beberapa depa, lelaki pengopi sejati itu mengambil tempat di sofa dekat serambi, disongsongnya perempuan berjilbab modis yang sudah menguasai sofa semula. Umurnya sekitar 30-an tahun, dilihat dari cara berbusana, dan tekstur kulitnya yang bersih.

Perempuan berjilbab modis itu menyambut dengan senyum, gestur tubuhnya sedang bersukaria walau tampak pola wajahnya yang bulat oval subur lebih bergeliat menikmati rentak instrumentalia ‘Pak Ketipak Ketipung’. Mungkin dia seniman seni tarik menarik suara, atau penulis lagu yang tengah mengapresiasi solmisasi, atau tengah memetik notasi unik dari lagu itu. Seperti tak terlalu asing parasnya hadir di acara musik televisi swasta.

Terlihat elegan kepalanya bergoyang ringan, kadang bersenandung seperti mendapat inspirasi menulis lagu, ayunan kepala seperti lakon orang khusuk tahlil wirid yasin malam Jumat, yang bergiliran di rumah-rumah warga di Tanjungpura, (dulu) ibu negeri Kesulthanan Langkat. Ibadah dapat, ukhuwah dapat, energi batin lekat, pun dikasi nasi berkat. Boleh juga tanyakan Muhammad Jamil mantan anggota parlemen lokal, apa masih ada wirid dan tahlil di sana?

Dimanakah Tanjungpura? Kesulthanan itu negeri? Apakah country synonyms of state?! Teruslah membaca novel ini, temukan panorama indah tamadun Melayu Langkat, terpacak paling megah, besar dan indah Mesjid Azizi. Tokoh muda Tengku Ariefanda Aziz yang masih kerabat inti kesulthanan perlu didengar tuturannya.

Senyum dan goyangan santun kepala milik perempuan belia itu, entah karena sajian kopi ‘Sangg’, bius pesona ketampanan lelaki berwajah belia yang barusan menghampirinya, tetapi mengapa lelaki muda itu menyapanya ‘Makcik’? Atau tersebab derap alunan musik Melayu ‘Pak Ketipak Ketipung’ yang jenaka dan dominan dentam suara gendang Melayu itu yang menggelitik ‘Makcik’?.

Gendang adalah perkakas musik dengan bunyi membranofon, memainkannya dengan menepuk area lunak dengan telapak tangan, nampaknya saja mudah, kalau bukan ahlinya suara keluar macam gendang pecah. Makin soor jika gendang ditampar-tampar mengeluarkan suara membran bunyi ‘kretak tak’, ‘ …kretak tak’, ‘pak pung’, ‘pak pung’, yang beraksi solo. Penjelasan itu dari Asmadi Hasibuan ahli seni drama dan musik Melayu di Medan, pemilik galeri Astakona di Jalan Sempurna.

Suara gendang ‘dam dum’ bertalu-talu. Merasuk masuk dalam sukma, sari pati diri. Liriknya berjejer pada lembar-lembar partitur tak beraksara, hanya dibaca dalam hati.

“Pak ketipak ketipung,
Suara gendang bertalu-talu,
Serentak hati bingung,
Dalam hati siapa yang tahu”.

Rasukan alunan musik yang mendayu namun menghentak itu mengendap sebagai ‘suara imajiner’ yang mengajak mari bergembira, dari anasir tamadun seni musik Melayu yang khas. Menelusup masuk dan membekas ke dalam alam bawah sadar, membuktikan corak musikalitas lagu Melayu alahai bermutu.

Mendengar alunan ‘Pak Ketipak Ketipung’, Hastouki refleks memetikkan jari tengah dengan jempol, seperti orang sedang memutarkan butir-butir tasbih, mengikuti rentaknya yang membahana sampai ke lekuk hati seperti sedang hatsukoi (はつこい), kepalanya terhuyung pelan. Dilupakannya sekejap Baihaqi yang belum datang.

Dia mendengar suara gendang bertalu-talu dengan telinga perasaannya. Iramanya meresap, menerobos pori-pori telinganya, mengalir ke aorta, arteri, vena kava superior dan interior, venula dalam sel yang terhubung kapiler.

Darahnya mengalir tersenyum seakan ikut bernyanyi, oksigennya banyak dan deras, masuk ke lekuk 4 ruang jantung, darah masuk dari serambi kanan melalui 2 Vena Kava, dan seterusnya, dan seterusnya, darah dipompa masuk ke pembuluh nadi paru-paru, Arteri Pulmonasi, menuju paru-paru.

Aliran darah dari/menuju jantung terlompa bahagia, detaknya menjadi detak yang paling gembira, memancutkan enzin endorphin bahagia. Tiba di benak kepala mengendap jadilah memori irama melegenda, lagu Melayu yang tak hendak kadaluarsa. Tahan banting dari zaman yang gonjang ganjing. Tak lekang dari aniaya sang masa.

Bait syairnya mengalun indah berikut ini:

“Darilah mana dek datangnya lintah,
Dari lah sawah turun ke kali,
Darilah mana dek datangnya cinta,
Darilah mata turun ke hati”

Tidak usah segan dan takut keliru mengujarkan ‘Pak Ketipak Ketipung’ itu the legend lagu Melayu. Rentaknya tak kalah dinamis dan asyik dari lagu-lagu pemantik semangat yang khusus dibuat memegahkan pesta olahraga sedunia yang mewah.

Bandingkanlah ‘Pak Ketipak Ketipung’ dengan suara penyanyi Shakira yang melantunkan lagu dinamis ‘Waka-waka’:

“Tsamina-mina eh eh…
Waka waka eh eh
Tsamina-mina zangalewa
This time for Africa….”

Majelis pembaca mungkin masih ingat, lagu ‘Waka-waka’ itu lagu resmi Piala Dunia Afrika Selatan tahun 2010. Sesaplah dengan seksama, dengan tikaman rasa yang paling dalam. Rasakan ada jalinan dan perlekatan corak rentak “Pak Ketipak Ketipung” dan rentak “Tsamina-mina eh eh”.

Rasakan juga antara “Suara gendang bertalu-talu” dengan “Waka-waka eh eh”. Ada lintasan anasir tone Melayu dari lagu ‘Waka-waka”, atau justru anasir Afrika yang lebih kencang dalam rentak ‘Pak Ketipak Ketipung’? Ada persintuhan corak Melayu di Afrika Selatan sana rupanya?? Soor kali, ah!

‘Pak Ketipak Ketipung’ usai melantun. ‘Waka-waka’ meluncatkan ingat pada Afrika Selatan, pada Nelson Mandela dan baju batik yang dikancing sampai kerah mengulung batang leher. Misi manajemen ‘Sangg’ menyajikan ‘Pak Ketipak Ketipung’ sukses, mainkan lah sekali lagi. Sedap kali ah!

Molek musik Melayu membius pelanggan happy coffee ala ‘Sangg’ malam itu, terlihat dari hentakan kaki, liukan badan dan permainan jemari tangan, dan goyang-goyang kepala para tetamu. Walaupun tanpa awan kelabu kepul-kepul asap rokok.

Tetamu pasti membaca, di dinding kanan pintu ‘kongliong’ serambi menempel jelas kalimat ini: “Keren tanpa Asap Rokok!”.

Memang sudah lama ada Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok. Otoritas Jakarta sangat keras mengatur kawasan tanpa asap rokok, advokasi tobacco control banyak kemajuan, iklan rokok dilarang di media TV dan radio sejak UU Penyiaran 2002 diganti, iklan rokok di media cetak dan luar ruang juga dilarang, pictorial health warning kotak rokok lebih awal diberlakukan, FCTC sudah pula diaksesi, Komnas Penanggulangan Tembakau banyak berperan.

Sudah takdir sosial ‘Pak Ketipak Ketipung’ berkolaborasi dengan happy coffe ala
‘Sangg’, bukan dengan asap rokok.

Leave a Reply