Merumahkan Rakyat, (Jangan Bimbang) Itu Tanggungjawab Negara
Anda pernah mengisi borang identitas penduduk, atau pendataan pemilih menjelang pemilukada? Tentu saja. Setelah nama sebagai identitas tiap orang, borang isian pasti menyediakan kolom tempat tinggal, sebagai bagian tidak terpisahkan dari nama sebagai identitas pribadi orang. Orang dan tempat tinggal senantiasa melekat tak terpisahkan.
Postulatnya: Tak ada orang yang tak bernama, dan dalam setarikan nafas, tak ada orang tak bertempat tinggal. Kua-juridis, sosologis ataupun ekonomis, orang (persoon) bertemali dengan tempat tinggal. Pun demikian badan hukum (recht persoon) memiliki domisili. Hukum adat mengenal hukuman diusir dari kampung sebagai jenis hukuman. Hak perdata orang “jahat” seperti itu dianggap hapus dan tak boleh bermukim lagi di kampung itu. Sudah mati secara perdata. Pengakuan status pribadi orang bertemali dengan bermukim.
Perumpamaan sederhana itu cocok sebagai justifikasi mengapa setiap orang mempunyai hak konstitusional atas nama dan hak atas tempat tinggal. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak konstitusional “untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum”. Pun demikian hak atas tempat tinggal itu dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Sebuah kemajuan konstitusional. Kontras dengan fakta konkrit “manusia gerobak” dan penghuni RT 00/RW 00 di kolong jembatan? Walau masih tak jauh dari istana.
Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantahkan rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diformulasi sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “layak dan terjangkau”.
Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Demikian pula Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Frasa yang dipergunakan “setiap orang berhak bertempat tinggal”.
Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subjek hukum. Asas nondiskriminasi bersifat universal yang ada pada setiap instrumen HAM. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan perkara Nomor X/PUU-X/2012, diskriminasi ada jika dalam norma UU terdapat subjek yang berbeda dalam perlakuan hukum.
Kita kembali membahas HAM. Hak atas perumahan dijamin dalam instrumen atau konvensi internasional. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, adalah hak ekonomi sosial budaya. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pengakuan dan jaminan hak atas rumah sebagai HAM bukan hanya pernyataan atau declaration akan tetapi merupakan komitmen sebagai masyarakat internasional yang beradab yang menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.
Dari berbagai rujukan hukum tersebut, norma hukumnya adalah mengakui (recognized), melindungi (protected), menjamin (ensured), dan tentunya memenuhi hak bertempat tinggal sebagai hak dan melekat kepada setiap orang. Bandingkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang hanya menyebut MBR saja.
Pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal sebagai kewajiban Pemerintah selaku eksekutif yang menjalankan Undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas rumah tentu wajib kepada setiap orang, bukan hanya bagi kelompok tertentu saja dan mengucilkan (exclution) kelompok lain. Jika hal itu terjadi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan, dan kua juridis hal itu bertentangan dengan asas “keadilan dan pemerataan” yang diakui dalam Pasal 2 huruf b UU Nomor 1/2011.
Soal ketidakadilan pembangunan perumahan disitir Zulfie Syarif Koto, yang berdasarkan data dan fakta menyimpulkan “…pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang 65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas” [Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 48].
Akan tetapi, dalam pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal, UU Nomor 1/2011 lebih menitikberatkan regulasinya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Dikaitkan dengan pemenuhan hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional bagi setiap orang, maka terdapat norma hukum yang membedakan “setiap orang” yang kemudian dikerucutkan hanya kepada MBR, yang secara ekonomis lebih beruntung dari warga miskin. Hal ini muncul dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”.
Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berlaku bagi kelompok MBR saja, tentunya tidak termasuk kelompok lebih tidak mampu atau warga miskin. Andai dilakukan klasterisasi masyarakat Indonesia menurut pendapatannya, terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan antara Rp.2,5 s.d 4,5 juta, sekitar 10% s.d 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan antara Rp.1 juta s.d kurang Rp.2,5 juta, sekitar 20% s.d 30%; (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp. 1 juta, sekitar 60% s.d 70%[ Zulfi Syarif Koto, hal.109].
Oleh karena Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 hanya mengikat Pemerintah untuk memenuhi hak atas rumah bagi kelompok tertentu saja, yakni kelompok MBR. Pemerintah tidak wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi warga masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak dan manusiawi atau warga miskin yang jumlahnya masih besar di Indonesia. Dengan demikian, ada kelompok warga masyarakat selain kelompok MBR yang tidak dapat memperoleh hak atas rumah.
Warga yang tinggal tak memiliki rumah (homeless) tinggal di emperan toko, di kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasilitas umum, lahan rawan bencana. Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh (1) sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah; (2) ada 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen; (3) ada 3,61% rumah tangga tinggal di rumah beratapkan daun; (4) ada 21,1% rumah tangga belum dapat mengakses air bersih; (5) ada 8,54% rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik; (6) ada 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban, dalam Renstra Kemenpera 2010-2014, Sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR [Majalah Inforum Edisi 3 Tahun 2010, hal. 12-13].
Imperium vs Dominium
Pas 2 September 2013, tingkap berita Kompas mewartakan gejolak harga kedelai, seakan lepas kendali. Pedagang tempe dan tahu menyusun siatat mogok. Protes pada abainya Negara menjinakkan kedelai. Pun demikian Republika mengingatkan Negara, akan resiko UMKM melipat tikar: termakan modal. Sudah benar jika media utama dor-doran mengangkat gelisah ekonomi rakyat dalam tingkap beritanya.
Akankah negara berdiam? Atau berhenti dengan keputusan? Setop sebatas sidang kabinet? Bukankah sejahtera alasan konstitusional bernegara? Di lapangan, harga-harga menaik. Lazim, itulah perilaku pasar. Namun, tak lazim jika membiarkan kedelai tak terkendali menjalar-jalar ke pikiran pejabat negeri. Buktinya, beberapa pejabat malah maklum dengan membuat solusi mudah menaikkan harga-harga. Tak terkecuali rumah rakyat untuk MBR. Akankah Pemerintah takluk dan tergoda menaikkan harga rumah rakyat bawah? Tegarkah Pemerintah? Tidak menjadi Imperium?
Di tengah dorongan perhimpunan pengembang mengusulkan naiknya harga rumah 30%. Naik dari semula Rp 95 juta (Jabodetabek) menjadi Rp 124 juta/unit, belum termasuk fasilitas prasarana sarana utilitas (PSU) seperti jalan dan drainase. Haruskah naik dan naik lagi hanya satu-satunya solusi? Padahal, menaikkan harga bukan jalan satu-satunya. Jika mengacu Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU Nomor 1/2011, masih banyak cara mempertahankan daya beli masyarakat utamanya MBR. Tak hanya takluk pada pasar yang tersandera oleh eskalasi harga tanah, materials dan biaya tak resmi mengurus perizinan.
Andai kata aneka kemudahan dan bantuan dalam bentuk subsidi, stimulan, insentif pajak, perizinan murah, penyediaan lahan, sertifikasi tanah dan prasarana, sarana dan utilitas (yang merupakan kewajiban Pemerintah), bisa digiatkan optimal maka tak perlu kuatir dengan backlog dan kenaikan harga rumah MBR andai landbank untuk rumah MBR segera direalisasikan tahun 2014.
Tanpa terobosan out of the box, diperkirakan backlog terus meningkat. Menurut Hausing and Urban Development (HUD) Institute, backlog tahun 2004 berjumlah 5,8 juta, tahun 2009 mencapai 7,4 juta, meningkat menjadi 13,6 juta (tahun 2010). Jika asumsi permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 per tahun, dengan produksi hanya 200.000 unit rumah, maka ada defisit 700.000 rumah per tahun. HUD Institutute menghitung, angka backlog saat ini telah mencapai 15 juta.
Di tengah tingginya backlog, ironi target produksi rumah bersubsidi selalu anjlok. Target pembangunan rumah MBR kerap tak tercapai, kecuali era Menpera Akbar Tanjung. Andai memakai data resmi BPS ihwal 13,6 juta backlock, dengan produksi rumah MBR 200 ribu unit per tahun, dengan pertumbuhan 0%, maka butuh waktu 68 tahun memenuhi rumah MBR. Satu generasi. Suatu darurat perumahan.
Akankah beban rakyat ditambahkan lagi beratnya setelah kedelai, daging sapi, tempe, tahu dan harga benda konsumsi menjulang-julang tak terkendali? Paslah jika media mengingatkan negara agar tak hanya mengurus politik dan kekuasaan, tak hanya menjadi Imperium. Tatkala negara abai dan lunglai mengatasi harga-harga, dan membiarkan rakyat menerima kenaikan harga dengan tanpa usaha kekuasaan negara, hal itu mirip dan bahkan reproduksi pikiran lama yang menelusup akibat relasi yang “tidak senonoh” antara rakyat dengan negara. Menurut Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh” [Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstiotusionalisme di Indonesia, hal.123]. Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh, atau primitifisme relasi negara dengan rakyat.
Dahulu, pemikir memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals” [Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.121-123]. Dari titah Montesquieu, politik tidak mengurus ekonomi alis kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan, kemauan pribadi, dan daya kompetisinya di arena pasar bebas. Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kita sadar, ini pikiran kolot yang absurd bahkan primitif sekali.
Bercermin dari kedelai dan rumah, bisa jadi primitifisme relasi negara dengan rakyat itu, terjadi akibat relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil. Membiarkan tak terkendalinya harga kedelai, UMKM melipat tikar, tergoda dan tergopoh Pemerintah menaikkan harga rumah sejahtera untuk MBR, adalah reproduksi primitifisme relasi antara negara dengan rakyat. Reproduksi pikiran usang yang memisahkan Imperium dengan Dominium.
Mari kita menengok ulasan konstitusi. Hak bertempat tinggal atau hunian sebagai hak konstitusional dan HAM, mestinya menjadi orientasi negara dan tujuan pembangunan perumahan rakyat oleh Pemerintah maupun operator. Dengan kata lain, penyediaan hunian komersial bukan domein pembangunan perumahan rakyat. Keliru jika orientasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perumahan justru membangun hunian komersial mencari laba.
Atas dasar itu, pembangunan perumahan rakyat mesti diangkat sebagai isu konstitusi dan HAM. Namun urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman hingga kini masih menggelisahkan karena belum diurus secara sungguh-sungguh (profesional dan proporsional) dan berkelanjutan (baik aspek kelembagaan, pembiayaan dan lingkungan) oleh pemerintah.
Di Indonesia, problem tentang tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan begitu mengkhawatirkan karena kecenderungannya yang semakin meluas. Tidak terpenuhinya kebutuhan akan papan tersebut dapat termanifestasikan melalui berbagai macam bentuk, seperti tunawisma, gelandangan, tinggal di rumah kumuh, atau tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim (secure tenure).
Dari ulasan itu, masihkah tergopoh menaikkan harga rumah rakyat? Masihkah menjadi Imperium?
Hunian Berimbang, Pemerintah Bimbang
Jika anda menengok hasil karya pengembang, kompleks perumahan tak melulu eksklusif dihuni kelas berpunya, tak hanya membangun rumah mewah dan menengah, namun juga rumah sederhana. Konsep ini dikenal sebagai Hunian Berimbang yang diatur dalam Pasal 34, 35, 36, 37 UU Nomor 1/2011.
Kalau dulu komposisinya adalah 1:3:6, kini menjadi 1:2:3 dengan terbitnya Permenpera No. 10/2012. Maksudnya? Pengembang wajib membangun permukiman dengan komposisi 1:2:3 untuk rumah mewah, rumah menengah dan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Walau telah ada perubahan menjadi Permenpera Nomor 7 Tahun 2013, namun ihwal Hunian Berimbang masih tidak bisa efektif andai Pasal 34 s.d 36 UU Nomor 1/2011 yang mengatur Hunian Berimbang belum diubah.
Jauh sebelum adendum Permenpera No. 10/2012, melaui Ketua Umumnya DPP REI merasa keberatan dengan beberapa peraturan terkait konsep Hunian Berimbang yang dirasa masih belum berpihak pada pengembang.
Apakah maksud asli dari hunian berimbang? Tak lain adalah untuk membantu Pemerintah dalam menyediakan rumah untuk MBR dan mengatasi defisit perumahan alias backlog. Kementerian Perumahan Rakyat meminta pengembang mematuhi aturan hunian berimbang dalam rangka mempercepat mengatasi backlog perumahan. Artinya? Ya, hanya membatu kewajiban Pemerintah merumahkan MBR, yang diamanatkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”. Sekali lagi, frasa yang digunakan adalah “wajib”, bukan “harus” dan bukan “dapat”.
Andai kewajiban merumahkan rakyat dalam hal ini MBR adalah kewajiban Pemerintah, dan Hunian Berimbang dimaksudkan untuk mengatasi backlog, maka absah jika Pemerintah melaksanakan prasyarat itu. Mengapa? Karena Hunian Berimbang hanya subsistem pendukung dalam skenario merumahkan MBR.
Andai merujuk Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 1/2011, Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah WAJIB memberikan kemudahan dalam pembangunan rumah MBR. Maksudnya? Ya …, kemudahan untuk merumahkan MBR yang dengan Pasal 54 ayat (3) huruf a s.d h UU Nomor 1/2011 disebut secara limitatif bentuk kemudahan dan/atau bantuan itu, termasuk subsidi, penyediaan lahan, prasarana, sarana dan utilitas umum.
Mengacu itu, Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas kemudahan dan/atau bantuan dimaksud untuk rumah MBR, termasuk yang dibangun dengan konsepsi Hunian Berimbang. Sekali lagi, hal itu adalah kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Wajib adalah perintah, tidak keraguan disana. Karena frasa yang dipakai adalah “wajib” bukan frasa “dapat” yang bisa “iya” bisa pula “tidak”.
Anehnya, norma Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011 justru mereduksi kewajiban Pemerintah itu. Entah mengapa suatu hal yang wajib berubah menjadi dapat. Penormaannya, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum mendorong pembangunan perumahan Hunian Berimbang. Ada apa dibalik penurunan derajat tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah itu? Dari semestinya WAJIB menjadi DAPAT.
Kala membedah UU Nomor 1/2011, ditemukan 16 kali kata “dapat” dalam UU itu. Belum termasuk kata “harus”, yang berbeda makna dengan kata “wajib”. Saya membangun postulat, bahwa kata “dapat” itu bentuk pertarungan kepentingan ataupun aspirasi titipan kepada parlemen sebagai pembuat UU dan institusi politik yang bermazhab politik kompromi. Akibatnya, melenceng jauh dari maksud asli (original intent) norma hukum. Menimbulkan celah hukum. Bagi makhluk yang tak punya hati, celah itu adalah ‘recht vacuum’ untuk menghindari tanggungjawab. Kua-teoritis, ini disebut ‘uneffective of the law’ versi Antony Allot, atau bisa tergelincir pada keadaan yang dikenali sebagai ‘dark-enginerring of the law’ versi Podgorecki & Olati. Atau hukum tidak lagi otentik karena berubah menjadi “penyamaran kepentingan”.
Lha, kalau Pemerintah dan Pemerintah Daerah “buang badan” enggan menyediakan insentif sebagai prasyarat Hunian Berimbang, dengan berlindung dibalik frasa “DAPAT” dalam Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011, tentu itu siasat hukum yang tidak adil. Itu juga bertentangan dengan norma Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011 yang justru merupakan kewajibannya? Dari kedua norma itu terlihat adanya ambiguitas setidaknya kebimbangan Pemerintah, sehingga regulasinya masih labil.
Tidaklah bijaksana jika Pemerintah arogan mengancam pengembang tidak akan mengeluarkan izin membangun proyek perumahan, karena dikaitkan dengan turunnya produksi rumah bersubsidi. Bukankah Pemerintah sendiri yang justru menurunkan target pembangunan rumah rakyat dari 600 ribu unit menjadi 130 ribu unit [Kompas, berjudul “Target Rumah Rakyat Direvisi Lagi”, 6 Agustus 2012]. Justru hal itu signal kuat darurat perumahan sehingga perlu mengoreksi regulasi yang menghambat agenda merumahkan rakyat.
Singkat kata, norma Pasal 34, 35, 36 UU Nomor 1/2011 dan segenap regulasi yang justru menghambat produksi rumah MBR dalam skim Hunian Berimbang itu sendiri harus direvisi. Lagi pula regulasi ihwal Hunian Berimbang hanya mengatur tatacara dan kewajiban pengembang, dan tidak mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendukung Hunian Berimbang untuk MBR, sebagaimana perintah Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU Nomor 1/2011.
Out of Box
Pada kenyataannya backlog terus meningkat dan produksi rumah terus menurun. Di sisi lain harga rumah MBR dinaikkan menyusul harga bahan bakar dan inflasi (dan Pemerintah tak berdaya menghadapi pasar?). Hunian Berimbang yang diperintahkan UU Nomor 1/2011 diprediksi tidak akan bisa berjalan. Ironinya, Pemerintah justru mengeluarkan ancaman bahkan pemenjaraan. Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz mengancam akan memenjarakan pengembang rumah mewah yang tidak menjalankan UU hunian berimbang. Djan mengaku sudah membentuk sebuah tim untuk mengaudit para pengembang. Jika ditemukan penyimpangan, maka Djan akan membawa kasus ini ke ranah hukum pidana. Lihat http://www.merdeka.com/uang/menpera-ancam-penjarakan-pengembang-rumah-yang-tak-taat-aturan.html.
Padahal, pelanggaran atas Pasal 34 ayat (1) dan (2), Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1/2011, hanya dikenakan Sanksi Administratif (vide Pasal 150 ayat (1) UU Nomor 1/2011). Itupun dengan mewajibkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) lebih dahulu. Aneh sekali intimidasi Pemerintah itu.
Rakyat miskin yang homeless, manusia gerobak serta jutaan MBR yang gagal menikmati rumah, masih kasat mata. Dari sedikit soal berkenaan dengan pemenuhan hak bermukim itu, berkaitan dengan kekeliruan dalam hukum dan menerapkan hukum. Buktinya? Target produksi dan penyerapan diturunkan Pemerintah karena mengikuti syarat luas lantai 36 meter persegi. Angka target penyerapan rumah bersubsidi langsung naik, tatkala Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 dibatalkan.
Pelaksanaan Hunian Berimbang tak bisa berjalan karena hambatan norma Pasal 34, 35, 36, 37 UU Nomor 1/2011 dan Permenpera itu sendiri. Simpulannya, hukum dan regulasi justru menghambat agenda merumahkan rakyat. Hal ini harusnya dikonsolidasikan dengan elegan, bukan justru menyebar ancaman kepada pengembang. Benarlah bahwa hukum menjadi alat penting bagi pembangunan, tetapi bisa tergelincir ‘dark-enginerring of the law’ versi Podgorecki & Olati, atau sinyalemen ‘hukum dalam penyamaran kepentingan’.
Hak atas rumah tak patut dihambat-hambat oleh spekulasi, kebijakan bahkan norma UU sekalipun. Setakat melakoni uji materil (dan menang!) “ayat lantai rumah” versi Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK) selaku kuasa APERSI, alasan pokok Judicial Review demi keterjangkauan (affordability) rumah MBR. Alasan ini diamini dan diambilalih oleh sembilan hakim MK sebagai pendapatnya.
Negara wajib membuat terobosan luar biasa mengatasi Darurat Perumahan. Ihtiar memenuhi rumah rakyat menjadi agenda Presiden menjalankan konstitusi. Kemenpera tak hanya selesai mengatasinya dengan FLPP dan PSU. Pun menggiatkan lagi kebijakan dan program yang baik seperti halnya Subsidi Uang Muka dan Subsidi Selisih Bunga bagi MBR yang berlaku di era Menpera Muhammad Yusuf Asyari. Pengawalan konstitusi atas hak hunian tetap penting digiat-giatkan.
Langkah lain dengan menata lagi ketentuan Hunian Berimbang Pasal 34, 35, 35, 36 UU Nomor 1/2011 dalam kaitan dengan mengatasi backlog. Tak elok pula (dan harus dihentikan) jika Pemerintah melakukan intimidasi kriminalisasi pada pengembang.
Karena itu, tantangan merumakan rakyat mesti diatasi dengan membuat hukum yang normatif namun obyektif-logis (logic and norm), dapat dilaksanakan (workable), dan bukan penyamaran kepentingan dibalik regulasi. Hukum berkenaan perumahan rakyat harus dibenahi, UU Nomor 1/2011 harus direvisi di sana sini, untuk merumahkan rakyat sehingga menjadi manusia bermartabat.
Bukankah hukum dibuat untuk memuliakan manusia?
@Materi disampaikan sebagai penaggap dalam acara “Outlook Perumahan Rakyat 2014”, dilaksanakan The Housing and Urban Development Institute, Jakarta, 16 Januari 2014.