Miracolo Milano, Rebin-NZ & Menteri Kebahagiaan

Malam ini saya hendak ke Milan. Mencari cercah keajaiban. Mencari portipolio kebahagiaan. Saya melibatkan buku hebat ini, mengutip testimoni. Buku ukuran pendek. Buku terbitan tahun 1971 ini usianya panjang. Terasa dari bau kertas, gaya huruf, edjaan, kerutan dan tampilan luntur warna ungu-kuning kulit buku. Jangan hakimi buku dari pendeknya.

Buku gaek itu berujar-cerita perihal ajaibnya Senen di ujung mata pena seniman. Ajaibnya seniman dari angkatan Senen. Misbach Jusa Biran berhasil usil dan asyik menggelitik. Menyanjung ‘Glory of Senen’. Ada saja inspirasi pemantik cerita, yang tak terbayangkan apa ending-nya. Pun ketika kelok alurnya sudah lewat paragraf babak pertengahan cerita. Seperti sopir tak sanggup menduga mobil apa di muka, hanya melihat awan, tatkala melewati gelombang panjang jalan lintas Sumatera yang mulus, namun naik mendaki bak busur montok. Rambunya tegak, kuning mencolok.

Ada kisah si kerempeng Rebin. Pelukis yang malang yang ajaib. Rebin bukan Robin. Dia tak pandai melukis sejak kecil. Namun nasib baik menjadi pelukis. Bukan anak Binjai, Rebin acuh saja kepada olok-olokan rombingan seniman Senen. Pernah, tetiba satu lukisan Rebin menjadi kejadian ajaib. Dirancang hendak menganiaya semangat juang dan pabrik senyum milik Rebin, lukisannya di gantung terbalik. Aksi frontal mengolok-olok karya Rebin. Di tengah pesta pameran lukisan. Ajaibnya, se-suku jam setelah lewat pembukaan pameran, lukisan digantung terbalik –yang tak diketahui Rebin itu– berubah ajaib. Laku harga ajib. Seniman Senen geger dalam alibi “Miracolo a Senen Radja” (MaSR).

**

Mau tahu harga senyum? Harga ajaib dari senyum ajaib. Bacalah “MaSR”. Harganya setara seisi dunia. Seperti bait puisi seniman Janto ke NZ: Nunung Zubaedah. Bait itu bunyinya:

“Surga di tangan kananku/ Seluruh dunia di tangan kiriku/ Kalau balas saja senyumku, sayang…”.

Buku “MaSR” ini bukan judul aseli, mengikuti film lama berjudul “Miracolo a Milano” –Keajaiban Milan– itu karya lama (1951) sutradara Italia Vittoria de Sica.

Seni dan seniman menang ajaib. Apakah keajaiban Senen, masih ada? Ada! “Beli Apartemen Dapat Kereta”, kata Menteri PUPR saat ground breaking TOD (Transit Oriented Development) Stasiun Pasar Senen, 10-10-2017. Sontak saya hendak mengambil “Beli Apartemen Dapat Kereta” (BADK) menjadi judul buku. Saksi dengarnya Juneidi D Kamil, litigator banking spesialist yang kolumnis produktif beberapa majalah properti. Cop, ya bang Ahmad Rinaldi, redaktur pelaksana Majalah Real Estat Indonesia, sesama anak Binjai-Langkat mencari ke-mendai-an juncto kebahagiaan di rantau Senen, ehh.., Jakarta.

TOD Senen dan “BADK” itu bak energi kebangkitan ‘Miracolo a Senen Radja’. Macam sesi eksepsi-bantahan kepada S.M. Ardan yang menyetujui Misbach Jusa Biran, bahwa keajaiban Senen telah tamat –‘The Glory is Over’– dalam tulisan ‘Sekedar Pengantar’ untuk buku “MaSR”.

Pembaca yang bersemangat. Kalau Rebin masih ada era IG-mania, dari “ajibilitas” karya lukisannya ia sudah membeli kereta, ehh.., apartemen di Senen. Jika dikonversi, “Beli Apartemen Dapat Kereta”, tidak lebih ajaib daripada nilai juncto harga senyum ajaib NZ kepada Janto. Harusnya kita belajar kepada Janto perihal bahagia.

Timbang dan dengarlah kata-kata Janto berikut ini: “…kalau orang tidak punya rasa romantis, ia akan kaku seperti Nero”. Kawan seangkatan Janto menimpali, “..kalau Nero itu bisa menghargai dan memudja ketjantikan Nunung Zubaedah, pasti kota Roma tidak akan terbakar”. Akankah figur pemuja keindahan seperti Janto –sosok tukang senyum pengeritik Nero itu– cocok menjadi Menteri Kebahagiaan?

Malam itu buku “MaRS” tergeletak di meja. Bercahaya di bawah sorot sinar kamera. Seperti sang bintang. Saya mereguk kopi. Mencari sisi ajaib kaldu rasanya. Sembari berusaha menikmati kelat-manis dari specialty gayo long berry. Dengan senam syaraf akrobat lidah setengah terbalik. Ikhtiar mempertahankan atau menihilkan elektabilitas satu-satunya karakter “?” pada paragraf di atas.

Membaca esai ini esok: tanggal 7 Juli, saya memungut Milan, ups…, keajaiban; bahwa mereguk portopolio kebahagiaan tak harus ke Milan. Walau banyak jalan menuju Milan via Medan. Angka ‘7’ itu karakter yang tulus menaungi, lebih jauh melampaui tapaknya. Ajib dan ajaibnya tak perlu dibalik, seperti lukisan Rebin. Seperti bait puisi untuk NZ saja. Miracolo a 7-7 (“Ma77”). Tabik. (MUHAMMAD JONI).

Leave a Reply