MK dan KPAI Bertemali Kawal Hak Konstitusional Anak
Siang Jumat terbukti tidak rawan tetap memetik manfaat. Tepat pukul 12.30 WIB, ritual sholat Jumat di masjid Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan usai lebih awal. Siang itu, Jumat, 9 Nopember 2012, saya langsung merapat ke kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua MK Mahfud MD menjadwalkan usai sholat Jumat menerima kunjungan rombongan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lembaga negara yang bersifat independen yang didirikan dengan mandat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Agendanya? membangun temali antara MK dan KPAI mengawal hak konstitusional anak Indonesia. Diantaranya soal anak berkonflik dengan hukum, pencatatan kelahiran dan akte kelahiran. Tak kalah penting juga anaka-anak korban narkoba. Paska reformasi konstitusi, patut disyukuri ihwal hak-hak anak dimasukkan secara eksplisit sebagai hak konstitusi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
KPAI serta beberapa staf sekretariat turut hadir. Saya diminta mendampingi KPAI selaku Tim Ahli, yang mengawal hal ihwal bidang hukum dan advokasi. Setengah lusin pokok materi sudah disiapkan yang terangkum dalam 2 halaman untuk didiskusikan dengan Ketua MK.
Gedung MK yang berkubah, tampak depan berpilar-pilar khas, dan berlantai 15 itu kelihatan tertib dan rapi. Namun masih menyisakan suasana sholat Jumat yang baru usai beberapa saat. Sampai di lantai 15, ruangan khusus pertemuan yang berselera tinggi sudah siap menyambut para tamu yang menemui pimpinan MK. Ruangan itu full furnished bergaya klasik, dengan pilihan warna dominan coklat tua yang pas dengan selera saya. Serasi dengan sekitar selusin kursi berbahan kayu jati yang jok-nya dilapisi kulit warna senada.
Sejurus kemudian, Ketua MK Mahfud MD datang menghampiri rombongan KPAI, sendirian hanya ajudan dan asistennya yang mencatat pembicaraan dan siap siaga memberi reaksi. Setelah memperkenalkan “delegasi” KPAI dan sedikit tegur sapa serta basa basi sebagai sopan santun ala ketimuran, Ketua KPAI memulai pembicaraan pokok, langsung fokus dan serius ke substansi yang padat dan kuat. Membahas kondisi hak-hak anak di Indonesia dan perspektif konstitusi di negeri ini. Hmm, soal perlindungan anak memang tidak semestinya diperhatikan alakadarnya, gumam saya membatin. Karena mereka, anak-anak itu adalah putra putri kehidupan.
Ketua KPAI, Badriyah Fayumi dengan sistematis memaparkan berbagai hal penting yang ditemukan KPAI dalam kaitan fakta dan ataupun norma perlindungan anak, yang bersentuhan dengan hal ihwal hak-hak konstitusi.
Di awal pembicaraan, Ketua KPAI langsung saja memberi apresiasi atas putusan MK berkenaan usia tanggungjawab pidana anak. Dengan putusan MK, usia tanggungjawab pidana anak telah dinaikkan dari 8 tahun menjadi 12 tahun. Pembicaraan berkembang ke soal pencatatan kelahiran anak di Indonesia yang masih sangat minimal. “Sekitar 50 jutaan anak Indonesia tidak tercatat dan tidak memiliki akte kelahiran”, ungkap Badriyah. Sebabnya? Adanya norma “stelsel aktif bagi Penduduk” yang dianut dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”). Sebab lain memang beragam: jangkauan dan akses akte kelahiran yang sulit, terisolasi, terpencil, pulau terluar dan kemiskinan serta masih abainya keberadaan dan upaya aktif petugas catatan sipil di daerah pelosok negeri.
Cukup banyak butir penting yang dipaparkan Ketua KPAI, pun demikian pak Mahfud MD tetap memberi kesempatan Apong Herlina dan saya sendiri menambahkan beberapa hal. Apong banyak mengulas anak berkonflik dengan hukum dan kaitannya dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru saja disahkan. Menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1997. Saya hanya menambah alasan mengapa UU Adminduk dengan “stelsel aktif bagi Penduduk” menjadi kausal giagalnya pencatatan kelahiran dan akta kelahiran anak.
Usai mendengar paparan KPAI, pak Mahfud MD menyambut baik informasi dan pandangan KPAI. Namun beliau tak berkehendak mengomentari banyak hal secara spontan, karena menurutnya beberapa hal hanya bisa direspon dengan putusan MK sedbagai kelembagaan. Namun, untuk mendalami secara akademis setiap hal berkenaan dengan konstitusi termasuk hak-hak anak, MK sebagai institusi juga memiliki unit penelitian dan pengembangan (litbang) konstitusi yang bisa menelaahnya lebih mendalam. Untuk maksud itu, KPAI dipandang penting dan patut terlibat membahasnya secara akademis dengan litbang yang ada di MK. Suatu sikap yang bijak dan cerdas.
Lebih satu jam pertemuan itu, menurut hemat saya telah mempertalikan hal ihwal perlindungan anak Indonesia yang dikemukakan KPAI dengan aspek dan dimensi konstitusi UUD 1945 yang ditanggapi Ketua MK. Secara teori dan praktek, MK berwenang melakukan pengawalan konstitusi, dan juga menafsirkannya.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok materi yang disampaikan KPAI dalam pertemuan dengan Ketua MK.
1. Berdasarkan pengalaman, hasil temuan/pemantauan lapangan serta data yang diperoleh KPAI dari berbagai daerah di Indonesia, ditemukan ragam masalah perlindungan anak yang bermula dari dugaan inkonstitusionalitas norma hukum dalam Undang-undang. Sehingga menjadi sebab atau kausal pencideraan hak-hak konstitusional anak. Beberapa temuan lapangan, misalnya:
• perebutan kuasa asuh anak dan hak pemeliharaan anak (hadhonah) oleh ayah dan ibu;
• diskriminasi anak-anak terlantar, anak dari kelahiran yang tidak diinginkan (unwanted birth);
• hak pendidikan anak dan Wajib Belajar 9 tahun (beberapa daerah sudah Wajib Belajar 12 tahun);
• pendidikan anak di daerah terpencil, pulau terluar dan daerah perbatasan yang membutuhkan pelayanan khusus;
• pencatatan kelahiran dan akte kelahiran anak dengan “stelsel aktif bagi Penduduk”, tidak bebas biaya akte kelahiran dan pengenaan sanksi denda dalam keterlambatan pencatatan kelahiran dalam UU Adminduk;
• kekerasan terhadap anak dalam keluarga (domestic violence), namun tidak ada kewenangan dan/atau legal standing petugas Pemerintah dan/ataupun KPAI mengambil dan menyelamatkan anak untuk sementara;
Keadaan sedemikian tidak hanya merupakan masalah penegakan hukum atau penerapan hukum, namun menurut pendapat KPAI justru diduga sudah menimbulkan pencideraan/pelanggaran hak konstitusional anak, yang secara eksplisit dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
2. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi, memiliki wewenang dan komitmen menjaga hak-hak konstitusional anak [secara eksplisit dan khusus tertera dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945]. Sedangkan KPAI mempunyai mandat dalam UU Perlindungan Anak selaku lembaga negara yang bersifat independen melindungi anak. KPAI berpendapat dan berharap MK memberikan perhatian dan pertimbangan kemaslahatan anak/kepentingan terbaik bagi anak (the best interset of the child), serta perspektif perlindungan anak dalam setiap putusan-putusan MK yang terkait dan relevan dengan hak-hak anak.
KPAI menaruh harapan serta mendukung pertimbangan yang berbasis kepada “child rights perspective” dalam kaitan tugas dan wewenang MK mengawal dan menafsirkan konstitusi.
3. Untuk maksud itu, KPAI sebagai pengawal hak-hak anak sangat berkenan dan berkepentingan untuk disertakan dalam membantu MK memperoleh penjelasan/keterangan yang tepat, lengkap dan otentik dalam menjalankan tugas mengadili judicial review (JR) atas UU yang terkait dengan hak-hak anak. Oleh karena itu, KPAI bersedia sebagai Saksi/Ahli yang diajukan MK untuk memberikan pendapat, keahlian, atau keterangan dalam perkara JR atas norma UU berkenaan hak-hak anak. Hal sedemikian juga pernah dilakukan KPAI seperti dalam JR atas UU Pornografi.
3. KPAI sangat mendukung eksistensi MK sebagai jalur yang sah dan konstitusional untuk menyelesaikan “konflik” atas hak-hak konstitusional secara elegan dan beradab. Atas dasar itu, MK mesti terus menerus diperkuat sebagai institusi/lembaga negara yang bertugas mengawal hak konstitusi dan hak asasi manusia (HAM).
4. Oleh karena hak-hak anak adalah konstitusi yang dijamin dalam UUD 1945, maka KPAI menawarkan sinergi, dan siap menjalin kerjasama dengan MK dalam sosialisasi konstitusi dan hak-hak konstitusi kepada anak-anak dan remaja, termasuk pemangku kepentingan (stakeholder) perlindungan anak di daerah.