Muhammad Joni: Hidup itu Misi & Bahagia itu Sederhana

Bisakah syair dan surat hukum berjalan bergandengan? Meskipun tak mustahil, namun bagi banyak orang ini bukan kombinasi yang ideal untuk berdampingan.

Namun tidak bagi Muhammad Joni, SH, MH, pengacara publik yang juga pernah menjabat sebagai wakil ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia periode 2007-2010. Di tangannya, surat-surat hukum yang ditangani sehari-hari banyak disisipi oleh syair-syair indah. Bahkan kegandrungannya pada syair telah menjiwai alur profesi, pun keyakinan dan filosofi hidupnya.

Tidaklah heran bila mendapati pengacara satu ini menyisipkan sebait syair Rumi atau Amir Hamzah dalam naskah eksepsi, permohonan uji materi, ataupun kala berorasi di majelis konstitusi.

“Hidup itu misi yang bukan sekadar menjalankan peran, tapi ikhtiar terus menerus untuk menjadi sesuatu, yang bukan ordinary atau asal-asalan. Menjalani hidup ini jangan amatiran. Manusia itu sudah disempurnakan oleh Allah dengan perkakas canggih sempurna, jadi lakukanlah apapun di dalam hidup itu dengan sebaik-baik niat, sebaik-baik laku. Dan menurut saya itu berlaku untuk segala kondisi dan peran. Dalam belajar, bergaul, berkesenian, menulis, bekerja, bertetangga, berorganisasi, menjadi orangtua, suami, anak atau menantu,” tutur lelaki asal Tanjung Pura Langkat, yang sangat mengagumi Jalaluddin Rumi dan Amir Hamzah ini.

Keyakinannya juga berpijak pada salah satu ayat dalam Surah Al-Fatihah, “Maliki Yaumiddin.” Ia memahaminya bahwa, “Setiap perbuatan akan dibalas.”

“Itu cara yang adil dan indah untuk membuktikan bahwa perbuatan yang terbaik akan mendapatkan imbalan yang terbaik pula. Demikian juga sebaliknya. Tindakan yang amatiran akan mereproduksi out put amatiran,” tegasnya.

Dengan visi seperti itulah menurutnya kita bersyukur kepada Tuhan. Karena hidup manusia bukan seperti kerja mesin atau sistem aplikasi, melainkan dikendalikan ruhani dan jiwa. Mendekati Tuhan bagi Muhammad Joni berarti juga menyukai sastra dan seni, merenda cinta dan mewangikan hati. Karena dengan hal-hal tersebutlah ia merendahkan jiwa dan merawat rasa ruhani.

“Bagi saya hidup ini seperti menulis puisi dan surat hukum. Menambang kata dari samudera susastra, menyusun jurus ihtiar yang bertenaga, molek, berguna, dan sejahtera. Karena hidup itu seperti syair yang indah, bertenaga dan menyejahterakan. Baik bagi penyair maupun pembacanya,” sambung ayah dari M.Haikal Firzuni dan Salma Nabilla Justisia Firzuni ini.

Dengan pandangan hidup demikian, tidaklah aneh bila mendapati lelaki yang menjadi salah seorang pengurus Dewan Pimpinan Nasional PERADI periode 2015-2020 mengisi waktu luangnya dengan membaca buku-buku puisi dan karya sastra. Kedua kegiatan itu sangat berpengaruh dalam menyegarkan jiwa dan daya pikirnya.

Lelaki yang pada 7 Juli lalu genap berusia 49 tahun ini mengaku bahwa perjalanan karirnya banyak didukung oleh orangtua dan guru-gurunya. Pemikiran dan cara didik yang ditanamkan oleh orangtua dan guru sangat berperan dalam membentuk karakter pun kerangka berpikirnya, dalam menggapai seluruh impian. Dari didikan orangtuanya ia mengenal arti ketabahan dan keprihatinan, juga arti kerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

“Saya selalu menanamkan prinsip ‘do the best’ hampir dalam segala hal yang saya kerjakan. Saya selalu profesional dan tidak bekerja serampangan atau amatiran. Karena saya sadar bahwa apresiasi itu datang karena adanya aksi dan prestasi, bukan sebaliknya,” tandas pendiri Law Office Joni & Tanamas yang berlokasi di kawasan Menteng Jakarta ini.

Promosi terbaik dalam profesi menurut lelaki yang aktif di berbagai organisasi ini adalah dengan kiprah dan karya. Bukan dengan omong besar ataupun kebohongan publik yang difungsikan untuk promosi diri.

“Pencitraan itu tidak boleh dibangun dengan ilusi atau kekosongan. Apalagi sebagai seorang lawyer kami tidak boleh beriklan. Maka dengan kredo itulah saya berkiprah di Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI), berdedikasi di Komnas PA selama 10 tahun, merintis Law Office Joni & Tanamas, berkiprah di Komnas Penanggulangan Tembakau, KPAI dan DPD RI Komite 3 sebagai Staf Ahli. Saya melakukan seluruh tanggung jawab profesi saya dengan penuh tanggungjawab,” ujar Ketua Indonesian Lawyers Association on Tobacco Control dan Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) itu.

Bagi Muhammad Joni, segala yang diinginkannya dalam hidup hampir semua telah tercapai. Pekerjaan dan keluarga yang sangat dicintainya, juga berbagai kontribusi di bidang hukum yang selalu memenuhi ruang pemikirannya. Toh, masih ada beberapa hal yang masih ingin dicapainya, salah satunya adalah menulis buku.

“Tahun depan saya genap 50 tahun. Usia yang tidak muda lagi. Saya ingin menulis buku yang menorehkan tebaran pemikiran saya. Juga beberapa karya yang mungkin masih terbilang ala kadarnya. Saya berharap buku-buku tersebut dapat menjadi rekam jejak atau katakanlah sumbangsih pemikiran bagi negeri ini,” tuturnya dengan optimis.

Hampir di segala sendi hidupnya lelaki ini selalu mengutamakan nilai filosofis, termasuk pada warna favorit. Menyukai warna merah, kuning, biru dan putih, bukan semata karena pesona terangnya saja.

“Saya menyukai warna merah, kuning, biru dan putih juga dilengkapi alasan. Merah itu melambangkan semangat, memantik keberanian. Sementara kuning adalah citra emas, sesuatu yang bernilai. Kerja bukan hanya untuk sekadar kerja melainkan diberi makna yang bukan sekadar aktivitas. Sementara biru merupakan citra laut, yang mengandung sumber daya dan energi, keluasan dan bergelora. Putih sudah jelas, suci,” paparnya.

Bahagia itu sederhana

Sukses dalam berkarir tak menjadikan suami dari Zulhaina Tanamas SH ini sebagai diktator bagi anak-anaknya. Ia membebaskan anak-anaknya namun dengan tetap mengedepankan pentingnya pengarahan dan panduan sebagai modal untuk menjalani evolusi kapasitas menuju dewasa.

Lama berkutat dalam pembelaan dan pendampingan anak-anak yang bermasalah dengan hukum serta rumusan-rumusan hukum bagi anak, membuat Muhammad Joni lebih arif memandang kehadiran anak-anaknya. Ia mengambil panduan dari sudut Konvensi Hak Anak (KHA) yang memandang bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran mini. Anak memiliki pemikirannya sendiri. Dan peran orangtua diperlukan sebagai panutan serta “mubalig” bagi anak-anaknya.

Begitupun, alumni magister hukum UI tahun 2002 ini ternyata menyimpan kisah sedih dalam hidupnya yang menjadi pengalaman tak terlupakan. Yakni saat harus merelakan kepergian anak keduanya, Ahmad Dairobi Firzuni yang baru dilahirkan, kembali pada Sang Penciptanya.

“Itu sebuah kesedihan yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Bahkan puisi sekalipun tak mampu memuaskan rasa kesedihan itu. Tapi akhirnya saya sadar bahwa hidup ini ada pemiliknya. Dan ia yang berhak mencabut kehidupan itu, pun dalam sedetik ruh dimasukkan ke dalam raga,” katanya berbesar hati.

Dengan rasa kehilangan itu tidaklah mengherankan bila lelaki yang aktif sebagai penulis dan pembicara dalam ikhwal hukum, hak anak dan HAM ini tak pernah melewatkan moment di pagi hari, untuk sholat Subuh bersama keluarga, menyesap secangkir teh hangat dan mengantar anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah hingga ke pintu depan rumah.

“Ada semacam kegembiraan yang hangat saat melepas dan menikmati wajah mereka yang begitu bersemangat menuju sekolah,” katanya sambil tersenyum.

Selain itu, bagi kuasa hukum berbagai organisasi profesi ini, tali persaudaraan dan pertemanan juga menjadi pengikat kebahagiaannya. Sahabat adalah orang yang sangat berharga dalam kehidupannya. Dan salah seorang di antaranya adalah Marasamin Ritonga, SH, yang saat ini menjabat sebagai Ketua IKADIN Medan. Bahwa rasa syukur yang bertumbuh di hatinya adalah untuk persahabatan mereka yang telah terbina sejak masih di bangku kuliah, mereguk kesulitan dan kebahagiaan. Sebuah rasa bahagia yang sederhana. sumber

Leave a Reply