Mustahil Kota Tanpa Warga, Ini Alasan Jakarta Kota Bahagia

Tatkala olahraga ringan di Taman Jogging Kelapa Gading, Jakarta Utara yang masih dekat rumah, patik mendapat kiriman cover story digital Majalah ‘Real Estat Indonesia’ dari sejawat Juneidi Kamil, sang kolumnis pembiayaan properti dan bankir bank plat merah yang fokus perumahan. Majalah terbitan pengurus pusat Real Estat Indonesia (REI) yang digawangi Redaktur Pelaksana Muhammad Rinaldi, mengambil cover story edisi 130 bulan Oktober 2017 bertitel ‘Menyongsong Kota-kota Masa Depan’. Patik menjadi kolumnis tetap mengisi rubrik ‘gagasan’ majalah itu.

Saat ambil nafas panjang gaya “5-1” di bangku bawah rerimbun pohon, masih di Taman Jogging yang lumayan elok terjaga town management, sembari menengok kepak rama-rama di sela pohon palem bismarkia (bismarckia nibillis), dan sayup riuh kicauan swara burung pipit, entah dari arah pucuk pohon pinus (pinus merkusii) ataupun dahan petai cina, patik menuliskan catatan digital sederhana ikhwal literasi properti ini.

Jamaah Pembaca. Takdir manusia adalah bertempat tinggal. Sebab itu, borang pendataan warga atau sensus ekonomi acap setelah kolom nama anda, diikuti kolom alamat tempat tinggal, seakan identitas nama dan alamat tinggal inheren tak terpisahkan.

Perumahan dan permukiman selalu berjodoh dengan perkotaan atau penataan kota (town planning; urban planning). Bagaimana “membahagiakan” warga kota yang tinggal dan menghuni perumahan/permukiman, adalah misi esensial otoritas kota.

Bagaimana jadinya kota tanpa warga kota, kalau bukan kemunduran? Apalagi kota minus warga kota yang bahagia dan berdaya, kalau bukan kengerian dan pertikaian? Tak mungkin kota jenis apapun jika tanpa warga kota. Bisa menjadi kota mati. Kota yang ditinggalkan.

Pernah dengar kisah kota mati paling indah di dunia yang ditinggalkan warganya? Menurut sebuah situs, diwartakan Wittenoom di Australia, kota kecil situs tambang asbes yang terbesar dan pemasuk asbes biru tahun 1950-an sampai 1960-an. Ironis, Wittenoom akhirnya tutup karena warga sakit-sakit dan udaranya berbahaya.

Ada pulau Hashima di Jepang yang dibuka tahun 1800-an, ramai penduduk sebab tambang bawah laut. Hashima tutup tahun 1974 dan ditinggalkan warganya. Film Skyfall pernah mengambil gambar di Hashima. Juga kota Shi Cheng di China, yang dilabel “Atlantis dari Timur”. Idemditto kota Pripyat di Ukraina menjadi kota mati karena evakuasi nuklir Chernobil tahun 1986.

Pulau Renaissance di Uzbekistan menjadi situs percobaan senjata biologis tahun 1954, ditinggalkan karena banyak kontainer berisi zat beracun. Di Chili ada kota Humberstone yang dulu pusat tambang nitrat yang ditinggalkan.

Tahun 2005-an tatkala advokasi anak- anak yang tercemar limbah kandungan arsen akibat penambangan emas, terpaksa merelokasi warga desa Buyat Pante di teluk Buyat, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara ke Duminanga, jarak 6 jam perjalanan dari Buyat walau masih di Bolaang Mongondow. Entah bisa sama atau tidak dengan Wittenoom atau Hashima, mereka direlokasi dari desa aslinya. Sahabat saya tokoh aktifis lingkungan Didi Koleangan dan Yul Takaliuang mengetahui banyak soal itu.

Bagaimana kabar dengan Pangkalan Berandan yang kilang minyaknya tak lagi beroperasi? Walau tetap menjadi kota kecamatan di Langkat, Sumatera Utara, namun rongsok kilang minyak pertama yang mukai operasi 1891 itu, kini tutup sejak 2007. hanya diabadikan jadi situs jejak museum sejarah perminyakan saja.

Sahabat saya Fatimah Syahru, alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang kini dosen di Universitas Samudera Langsa masih punya jamak kenangan di Puraka II Pangkalan Berandan sana. Idemditto adik saya Surya Hermana dan Elvi Hadriany yang sejak kecil disana mengikuti orangtuanya pegawai Pertamina, menjadi saksi masa kejayaan “oil booming” Pangkalan Berandan.

Mungkin itu takdir siklus 50-an tahun kota pertambangan? Isu kota yang berkelanjutan (suistainable city) relevan dijadikan pilihan membangun kota-kota masa depan.

Nah, patut memperkirakan kota-kota masa depan menjadi apa. Yang pasti tak mungkin kota tanpa warga kota. Kota mestilah inklusif dengan warganya. Kota yang memberdayakan warganya menjadi empowerment city. Kota yang mengutamakan “anasir hijau” menjadi green city dan kota yang cerdas dan layak huni menjadi smart and livable city. Demi menuju kota bahagia seperti yang diusung AniSandi.

Ikhwal happiness and the city pernah patik tulis. Untuk mengingatkan bahwa kota bukan hanya perkumpulan fisik bangunan dan properti tanpa gagasan minus ruhani. Apapun konsep kota yang diusung, kota “milik bersama” alias kota inklusif (inclusive city) adalah nukleusnya.

Artinya, mustahil kota tanpa warga kota. Dengan segenap skala eksistensi kua- sosio ekonomi kukturalnya. Apakah kota yang memberdayakan, kota hijau, kota

cerdas, dan kota layak huni, pun juga kota layak anak dengan akronim KLA, adalah rona warna warni kota-kota masa depan dalam diskursus pembanguna kota yang mempertimbangkan New Urban Agenda dan Suistainable Development Goals (SDGs).

Kiranya, konsep itu memperkaya dan memperkuat ‘Jakarta Kota Bahagia’. Eureka…, pas jika kita mendukung AniSandi dan mengadvokasi serta menggeliatkan tema ‘Jakarta Kota Bahagia’ yang diusung kala kampanye Pilkada Jakarta.

Jelang ahad siang (15/10) di Taman Jogging, saya menginput jadwal digital hari Senin(16/10): “menengok” pelantikan duo pemimpin baru Jakarta Anis Baswedan dan Sandiaga Uno. Sejurus perkakas ‘samsung’ patik berguncang. Suara di seberang sana milik bang Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute. Kami tenggelam dalam arus dialog sekitar 30 menit, terlibat diskusi gurih ikhwal TOD (Transit Oriented Development) yang lagi hangat. Usai itu, muncurlah catatan digital ini terunggah ke media sosial, keharibaan ruang baca majelis literasi properti. Apa pula ikhwal yuridis TOD itu? Tunggu esai berikutnya. Tabik.

Leave a Reply