Norma yang Diujikan

Oleh: Muhamad Joni, SH., MH.
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.

Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 4 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.

**
Ditantang berperang? Ketahuilah lapangan! Itu nasihat strategi perang. Agar menang mudah dengan efisien. Begitu juga “berperang”, tamsil untuk perkara hukum. Kenali apa lapangan. Itu artinya, yang pertama dilakukan adalah mendudukkan persoalan. Jangan-jangan yang diperlukan hanya penjelasan dasar naratif-obyektif, bukan konflik paradigmatik. Konteks lapangan dan mendudukkan persoalan itu adalah bidang disiplin/keahlian. Atau, dalam bahasa hukum acara dikenal dengan kewenangan (kompetensi) dan yurisdiksi dalam perkara hukum.

Dalam hukum acara dikenal istilah objectum litis, artinya: objek yang disengketakan. Apakah objectum litis itu lingkup perdata atau tata usaha negara atau pengujian material atau judicial review? Pertanyaan itu yang pertama dijawab. Dengan mengerti objectum litis, langkah pertama memenangkan sengketa hukum. Dalam hukum diksi “sengketa” itu konsep yang netral, bukan dikti yang haram. Lihat saja Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, ada disebut frasa “disengketakan”. Dalam praktik litigasi, keputusan tata usaha negara yang digugat disebut objek sengketa. Memahami objectum litis, bagian awal langkah lawyering sengketa. Lanjutkan dengan prognosa, analisa dan seterusnya legal action plan.

Begitu pula dokter membuat prognosis kala disodorkan data pasien baru. Sama halnya lawyer membuat “prognosis” dalam perkara hukum sebelum mengubak dokumen dan menelisik peristiwa. Hal pertama yang diperiksa, ketahuilah kewenangan dan yurisdiksinya.

Apa “prognosis” tatkala lawyer mengetahui perkara judicial review norma Undang-undang di MK? Kewenangan dan yurisdiksinya apa? Sebab itu, fokus memeriksa apa norma yang diujikan. Jangan-jangan bukan pengujian norma, bukan hal ikhwal konstitusionalitas norma. Walaupun diklaim, objectum litis pengujian materil norma. Padahal pelaksanaan norma belaka.

Ketahuilah, MK bukan Mahkamah Agung (MA), walau keduanya sama-sama kekuasaan kehakiman tertinggi, sepertinya bunyi konstitusi. Saya yakin, katup demokrasi berdasarkan hukum (democratische rechstaat) dan tegaknya negara hukum (rechstaat) salah satunya dengan adanya jalur pengujian norma Undang-undang kepada MK. MK menjadi mahkamah yang berperan sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution), dan penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of the constitution), yang berwenang menguji konstitusionalitas norma. Sekali lagi, norma. Menguji validity of the norm. Bukan pelaksanaan norma, bukan penerapan hukum, bukan mengadili perbuatan law in action yang mengujinya dengan law in book.

Artinya, pengujian Undang-undang musti cermat. Tidak boleh semberono dan mencampur aduk dengan pengujian pelaksanaan norma. Karena itu, acapkali persoalan pertama yang diuji sebagai prasyarat mendasar bagi lawyer sebelum mendaftarkan perkara pengujian materil ke MK adalah, apakah obyek perkara itu mengenai konstitusionalitas norma atau sebenarnya hal ikhwal pelaksanaan norma.

Walaupun satu kata atau frasa dari ayat atau pasal norma Undang-undang (bahkan ekstrimnya tanda [“.”] titik, ataupun [“,”] koma bisa diujikan), dapat diujikan konstitusionalitasnya ke MK, namun bukan berarti bisa semena-mena “menuduh” keberlakuan dan validitas norma tidak konstitusional, dan lantas tergopoh-gopoh melakukan pengujian meteril di MK. Menguji soal dengan jawaban. Menguji keberlakuan dan validitas norma dengan batu ujinya yakni UUD 1945.

Sebab itu dipersyaratkan adanya hal ikhwal constitutional question yang mempersoalkan apakah suatu undang-undang (= wet, gesetz, droit) bertentangan dengan UUD atau Verfassung, mengutip Prof. Dr. Laica Marzuki, S.H., pakar hukum tata negara yang pernah mendedikasikan diri sebagai Hakim Konstitusi dan pernah Wakil Ketua MK periode 19 Aguatus 2008-31 Mei 2008.

Lazim dan tepat jika jurus pertama mengidentifikasi, memetakan, dan mendeteksi pengujian materil adalah menemukan apa norma yang diuji. Pun demikian jurus untuk melemahkan bahkan meruntuhkan dalil-dalil pemohon judicial review norma Undang-undang adalah menguji validitas apakah yang diujikan itu norma, atau pelaksanaan norma?
Caranya? Dengan menelaah objek permohonan, apa alasan dalam posita, yang menunjukkan pokok permohonan pengujian materil hanya pelaksanaan norma, atau penerapan norma saja, atau malah hanya riak-riak dinamika penyelengaraan organisasi saja.

Dengan meneliti objectum litis norma yang diujikan, yang terkait eksistensi IDI lebih sebagai pelaksanaan norma. Bukan menguji konstitusionalitas norma. Pada kesempatan pertama membaca permohonan itu, kuat alasan bahwa pengujian materil itu hanya kritisi biasa atas pelaksanaan aturan Anggaran Dasar (AD) dan/atau Anggaran Rumah Tangga (ART) IDI.

Mencermati dengan seksama permohonan judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013, lawyer berkeyakinan bahwa permohonan itu kental dengan uraian dan bahkan pokok persoalan praktis atau riak dinamika organisasi semata, dimana para pemohon menjadi anggotanya. Ohya, perlu disampaikan, permohonan itu diajukan 31 pemohon sebab 1 (satu) orang mencabut kuasa. Kami pun menyampaikan langsung hal itu di depan sidang MK yang dipimpin Ketua MK kala itu Arief Hidayat.

Jika teliti lebih jauh, semisal memohon perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai Organisasi Profesi, dan meminta kedudukan kolegium kedokteran dimaknai sebagai Organisasi Profesi, dengan meminta kolegium kedokteran tidak lagi dibentuk Organisasi Profesi cq. IDI. Padahal, sejak lama perhimpunan dokter spesialis dan juga kolegium kedokteran secara formal sudah diatur lebih lengkap dalam AD dan ART IDI.

UU 29/2004 yang kua-historis digagas kalangan dokter, dalam Pasal 1 angka 12 mendefenisikan IDI adalah Organisasi Profesi. Termasuk membentuk kolegium kedokteran. Termasuk terintegrasinya perhimpunan dokter spesialis dalam IDI. Sekaligus membantah IDI dianggap organisasi serikat pekerja (trade union).

Paragraf-paragraf berikut ini hasil identifikasi dalil-dalil para pemohon, kontra argumentasi dari telaah lawyer dan diskusi intens dengan jajaran PB IDI, sampailah pada pendapat bulat bahwa permohonan judicial review itu masuk kualifikasi pelaksanaan norma bukan constitutional question. Hanya riak-riak dinamika urusan internal organisasi belaka, jauh dari domein konstitusionalitas norma. Posisi dan pendapat ini yang menjadi landasan dalam menyusun naskah Keterangan Pihak Terkait PB IDI.

Posisi dan pendapat disusun itu setelah menelisik permohonan judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013 yang menuliskan “momen opname” antara lain: perihal membentuk Kolegium Dokter Indonesia (hal.21); perihal asumsi intervensi yang dilakukan PB IDI terhadap MKKI, perihal pengelolaan dan pengambilan keputusan; perihal pengelolaan/tata laksana keuangan (hal.37-38). Juga memeriksa perihal organ IDI pada kepemimpinan pusat terdiri atas Pengurus Besar IDI (PB IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) yang diatur dalam AD dan ART (hal.30-31).

Mencermati perihal Surat Keputusan PB IDI mengenai keputusan IDI mengenai Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) (hal.34-35); perihal verifikasi dokumen P2KB bagi dokter umum dan dokter spesialis (hal.47). Mendalami perihal sikap organisasi IDI mengenai pembentukan Kolegium Dokter Indonesia (KDI) dan menyelenggarakan uji kompetensi bagi dokter yang baru lulus (hal.35); perihal sikap organissi IDI perihal Dokter Layanan Primer (hal.36); perihal kekeliruan pemahaman yang menganggap MKKI sebagai “sub ordinate” dari IDI (hal.46); perihal pelaksanaan ujian kompetensi dan penerbitan sertifikat kompetensi (hal.57-58); perihal pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD) (hal 58).

Malah, lawyer dan PB IDI sependapat jika diperiksa lebih detail permohonan itu sebenarnya hendak menguji dan kritisi ketentuan AD dan/atau ART IDI. Jika begitu, tentu saja objectum litis bukan kewenangan MK mengujinya. Bagi orang yang paham berorganisasi dengan mudah mengerti hal ikhwal kritik atas AD dan ART IDI itu masuk ranah dinamika organisasi IDI yang sudah memiliki forumnya sendiri.

Muktamar IDI yang berkompetensi membahas dan mengesahkan perubahan AD dan ART IDI. “Kekuasaan tertinggi organisasi di tingkat nasional berada pada Muktamar…”, demikian bunyi Pasal 13 AD IDI. Di sanalah bersidang “mahkamah” yang menguji, menilai, mengubah, memperbarui, dan mengesahkan lagi AD dan ART IDI. Sangat demokratis. Inilah model “democratische rechstaat” melalui Muktamar IDI yang tanpa hambatan digelar tiap 3 tahun. Begitulah landasan lawyering Satu IDI.

Jika yang diuji terkait dengan pelaksanaan norma malah pelaksanaan dan kritisi terhadap ketentuan AD dan ART IDI, maka pertanyaan mendasar yang diajukan adalah: apakah norma/aturan AD dan ART IDI adalah norma Undang-undang? Ini pertanyaan menarik, karena jawabannya tidak serta merta dari “kemasan” normanya dalam bentuk aturan AD dan ART saja.

Misalnya, IDI adalah Organisasi Profesi sesuai ketentuan Pasal 6 AD IDI. Jika merujuk AD IDI yang mendefenisikan sebagai organisasi profesi dokter, ketentuan itu memiliki substansi yang sama dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 yang berbunyi: “Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”. Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 itu menggunakan huruf kapital “I” untuk Ikatan, “D” untuk Dokter, dan “I” untuk Indonesia. Artiya, secara konkrit dan eksplisit menormakan IDI adalah Organisasi Profesi dokter. Idemditto dengan Pasal 6 AD IDI.

Dengan dalil diterakan eksplisit frasa “Ikatan Dokter Indonesia” itu dalam UU 29/2004, sahih jikalau Dr. Suharizal, S.H. M.H., pakar hukum tata negara berpendapat bahwa maksud pembentuk Undang-undang mendudukkan Ikatan Dokter Indonesia sebagai subjek hukum. Selanjutnya, pakar hukum tata negara yang menjabat Sekretaris Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas itu berpendapat bahwa UU 29/2004 menjelaskan fungsi/kegiatan kenegaraan yang dijalankan oleh Ikatan Dokter Indonesia yakni Pasal 8, Pasal 14 (1), Pasal 26 (3), Pasal 28 (1), Pasal 28 (2), Pasal 38 (1), Pasal 60, dan Pasal 71. Fungsi-fungsi kenegaraan diatas membuktikan bahwa Ikatan Dokter Indonesia adalah organ negara dalam arti luas.

Mencermati itu, hemat saya norma IDI sebagai wadah satu-satunya organisasi profesi kedokteran, sebagaimana Pasal 9 ayat (1) AD IDI adalah infinity rules yang lestari tak berbatas dan menjadi kesadaran permanen kalangan dokter. Tak berlebihan jika patik menabalkan norma Satu IDI itu disebut infinity and beyond bagi IDI sebagai Organisasi Profesi.

Persoalannya tidak selesai hanya mendefenisikan objek perkara adalah masuk kualifikasi norma Undang-undang semata, namun periksalah lebih lanjut apakah norma itu mengandung constitutional question, atau tidak?

Pada bab berikut akan diindentifikasi norma yang hendak diujikan para pemohon. Diuji dengan kewenangan pengujian materil yang melekat pada MK. Perlu kejelian dan pengalaman untuk menyiapkan argumentasi sanggahan bahwa permohonan judicial review itu adalah perihal penerapan norma dan masih dalam lingkup kebijakan hukum (legal policy) Pemerintah. Bukan konstituionalitas norma. Artiya, tidak berkaitan dengan constitutional question. Paling-paling hanya law question. Atau, justru cuma riak-riak dinamika organisasi yang mengkritisi aturan organsasi IDI. Kritik atas pelaksanaan AD dan ART IDI. Masih dalam batas-batas pengujian atas statuta IDI.

Pada gilirannya, Prof. Dr. Laica Marzuki, S.H., yang menjadi ahli yang diajukan PB IDI berpendapat serupa, bahwa: “Pasal-pasal UU Nomor 29 Tahun 2004 dan pasal-pasal UU Nomor 20 Tahun 2013 yang dipersoalkan Para Pemohon berpaut belaka dengan LEGAL POLICY pembuat undang-undang”.

Paragraf-paragraf di atas menjelaskan begitu pentingnya membaca fakta, menguji fakta, dan interpretasi lawyer lebih dahulu yang mendefenisikan objectum litis daripada “Norma Yang Diujikan”, seperti sub judul 3 dari Bab I ini. Tabik. (Bersambung #5)

Leave a Reply