Orang Miskin, Dilarang Beli Rumah
Rumus berbelanja yang bijak itu sederhana: membeli yang dibutuhkan dan sesuai kemampuan. Itulah pasar yang rasional. Jika Anda mempunyai rencana keuangan ketat, tentu sensitif dengan harga alias kemampuan finansial.
Membeli di luar kemampuan, itulah bentuk kegagalan pasar. Seperti kepala keluarga miskin pecandu rokok, menguras porsi besar penghasilan untuk membeli rokok, zat yang adiktif, karsinogenetik dan (menurut WHO) mematikan itu.
Seorang karyawan di tepi Jakarta yang mampunyai bujet perjalanan rutin dengan bus kota menuju kantornya di kawasan Kuningan, tentu akan waras tak menyetop taksi setiap hari. Tak perlu ada regulasi menghadang rasionalitas bijak itu. Tak pula masuk akal regulasi melarangnya naik angkutan kota apapun. Hukum itu harus waras dan objektif.
Di tangan kapitalis, arah hukum bisa dibelokkan sesuai kepentingan bisnis. Dalam teori disebut hukum menjadi tempat penyamaran kepentingan. Hukum yang melarang naik angkutan kota seperti tamsilan di atas itu, tidak waras dan tanpa justifikasi alias menjadi ketentuan yang aneh tapi nyata.
Biasanya akan serta merta dilawan publik tatkala regulator menormakan hal yang mustahil. Alamakjang, untuk membeli rumah berlaku hukum yang mustahil itu. Jika anda pasangan baru menikah, atau lajang yang betah sendiri, yang berpenghasilan terbatas atau kelompok berpenghasilan rendah (MBR) namun memiliki hasrat membeli rumah sehat sederhana sekarang ini, bersiaplah untuk kecewa.
Rumah tunggal ataupun rumah deret yang boleh dibangun dan dijual cuma yang luas lantai minimal 36 M2. Di luar itu tak diperkenankan regulator, termasuk terbitnya IMB dan fasilitas rumah bersubsidi seperti Falisitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Alhasil, harga rumah sejahtera sehat semakin melonjak.
Program rumah rakyat terancam, tidak tersedianya rumah alias defisit perumahan atau backlog semakin meninggi, dan ujung-ujungnya hak konstitusional atas tempat tinggal yang dijamin pasal 28H ayat (1) UUD 1945, semakin mengawang. Mungkin inilah yang disebut sementara kalangan “darurat perumahan”.
Biangnya adalah sepenggal ayat yang aneh dan tak pro poor. Pasar dan daya beli rumah MBR dihambat dengan ketentuan pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang berbunyi, “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.
Sepenggal ayat itu jelas merupakan norma yang tidak logis, tidak sesuai permintaan pasar, tidak pro-poor, mengabaikan MBR dan pasti membubungkan harga rumah untuk rakyat. Alhasil, kebijakan Menteri Keuangan memberi fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPN) bagi rumah berlantai di bawah 36 meter persegi, tak lagi menjangkau orang miskin dan kelompok MBR.
Bagi yang sudah terikat komitmen membeli rumah, bersiaplah membatalkan kontrak jual beli. Produksi rumah murah untuk MBR bisa anjlok separohnya. Defisit perumahan atau backlog semakin menggunung. Gagal membeli rumah, sangat mungkin menjadi faktor stagnannya pembangunan perumahan, meluasnya permukiman kumuh dan menurunnya hasrat pengembang memproduksi rumah murah.
Singkat kata, ayat luas lantai 36 meter persegi itu menciptakan hambatan dan membatasi hak konstitusional atas rumah. Mestinya, tak ada halangan siapapun membeli rumah dalam jenis dan bentuk apapun, luas lantai berapa pun asalkan sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Ketentuan pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 tahun 2011 menjadi kausal meningkatnya harga rumah untuk MBR.
Ayat itu juga menjadi kausal semakin terpuruknya daya beli kelompok MBR, karena tidak diikuti menaiknya tingkat pendapatan kelompok MBR, sehingga semakin tertinggal jauh dari akses memperoleh rumah. Apalagi selama satu dekade, harga rumah sederhana meroket 1.500%, sekali lagi, 1.500%. Bandingkan dengan kenaikan UMP rata-rata tahun 2011 lalu yang cuma 8-9% saja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejumlah 29,89 juta orang dan warga hampir miskin yang diperkirakan berjumlah 27 juta orang. Kelompok miskin ini yang paling berat memperoleh rumah karena rendahnya daya beli. Seakan regulator hilang akal dengan data resmi BPS itu. Apa gunanya data kalau tak membangun bangsa?
Merujuk Zulfi Syarif Koto, mantan petinggi Kementrian Perumahan Rakyat, kelompok MBR masih besar. Namun dalam 65 tahun merdeka pembangunan perumahan tidak memihak kelompok MBR. Jika dikelompokkan kluster masyarakat Indonesia menurut pendapaan, (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan Rp 2,5 s/d Rp 4,5 juta, sekitar 10% s/d 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan Rp 1 juta s/d kurang Rp 2,5 juta (20% s/d 30%); (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp 1 juta, (60% s/d 70%) [Zulfi Syarif Koto: “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, 2011, hal. 109].
Selain itu, data mengingatkan kita betapa masih meluas dan besarnya kelompok marginal yang bertempat tinggal tidak manusiawi di berbagai kota besar, kota kecil bahkan di pedesaan. Adanya fakta penggusuran rumah-rumah penduduk di atas tanah orang lain atau milik swasta dan atau pemerintah, kawasan permukiman kumuh, emperan tokok, di bawah kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasiltas umum seperti pasar dan pertokoan, lahan rawan bencana dan berbagai tempat lainnya.
Berdasarkan statistik kesejahteraan rakyat tahun 2008, diperoleh fakta dan data memprihatinkan berikut ini. Sebanyak 11,95% rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah.
Sebanyak 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen. Sebanyak 3,61% rumah tanga tinggal di ruma beratapkan daun. Sebanyak 21,1% rumah tanga belum dapat mengakses air bersih. Sebanyak 8,54% rumah tanga masih belum mendapatkan sambungan listrik. Sebanyak 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban (Renstra Kemenpera 2010-2014).
Yang penting dicatat, masih menurut Zulfi Syarif Koto, kenaikan harga rumah yakni Rusam Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) sekitar 1.500% dalam kurun 1997/1998 s/d 2009/2010. Secara ekonomi dan berdasarkan mekanisme di pasar, harga RS dan RSS mengalami kenaikan yang sangat signifikan yakni 1.500%. Sekali lagi, 1.500%, dalam kurun tahun 1997/1998 s/d 2009/2010, yakni pada tahun 1997/1998 harga RS sebesar Rp 5,9 juta dan harga RSS sebesar Rp 4,2 juta. Sementara itu tahun 2009/2010, harga RS sebesar Rp 80 juta dan harga RSS sebesar Rp 55 juta.
Dengan demikian, kenaikan harga rumah RS dan RSS sangat besar dibandingkan kenaikan pendapatan gaji kelompok MBR yang menjadi pasarnya. Apalagi dikaitkan dengan ironi kelompok miskin dan marginal yang berteduh di kolong jembatan, bawah jalan tol, emperan toko, dan aneka warna tuna wisma lainnya. Padahal mereka adalah warga negara, dan pemilik suara tatkala pemungutan suara legislatif maupun eksekutif.
Kalau sudah demikian, bijak dan adilkah membatasi hak memperoleh rumah bagi orang miskin dan kelompok MBR? Mau dibawa kemanakah arah kebijakan dan subsidi dana APBN alokasi pembangunan perumahan? Konstitusionalkah pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 tahun 2011? Sungguh itu norma yang mustahil bagi kaum MBR. Seakan dengan arogan regulator bertitah, jika anda orang miskin, dilarang beli rumah…!