Pasal Tembakau Terbanyak Uji Materil: (Itu) Kontrol Bukan Diskriminasi
Bleh diklaim, sepanjang sejarah uji materil Undang-undang, Pasal tembakau UU Kesehatan paling banyak dilakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sedikitnya ada 5 (lima) perkara mengenai pasal tembakau itu, yang dahulu pernah ”hilang” dan kembali lagi. Masa depan anak dan remaja dari agresifitas adiksi nikotin bakal terganggu haknya atas hidup, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan yang dijamin Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Bukan hanya sekadar hak sehat tapi hak hidup yang merupakan hak utama (supreme right).
Posita pihak kontra pasal tembakau mendalilkan pasal itu diskriminatif dan menghapuskan tembakau. Pihak pro pasal tembakau mendalilkan tak ada satu kata atau frasa dalam pasal tembakau yang melarang tembakau: menanam, menjualbelikan dan menggunakannya, yang ada cuma pengendalian penggunaan. Kedua konsep hukum itu sangat berbeda. Pengendalian adalah lazim karena sifat adiktifnya. Karena itu tiada maksud asli dan rasio legis pasal tembakau adalah norma yang diskriminatif, karena sifat adiksi nikotin pada bahan tembakau itu.
Ketentuan Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) adalah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban Negara terhadap rakyatnya dari ancaman bahaya kesehatan, berbagai penyakit dan kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat tembakau dan produk tembakau, yang secara keilmuan sudah terbukti kebenarannya. Ketentuan Pasal 113 (ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan merupakan realisasi hak konstitusional seluruh rakyat, oleh karena:
- Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat (right to health) atas kesehatan dan hak seluruh rakyat atas standar kesehatan tertinggi, yang dijamin dalam UUD 1945;
- Perlindung dan pemenuhan serta jawaban atas epidemi global tembakau (the globalization of the tobacco epidemic), sehingga kehadiran Pasal 113 ayat (1), (2) dan
- UU Kesehatan sebagai ujud tanggungjawab Negara atas pemenuhan hak kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945; (3) Perlindungan dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas hidup (right to life) dan hak kelangsungan hidup (right to survival) yang tidak lain merupakan hak utama (supreme rights) yang dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945, oleh karena berdasarkan bukti-bukti ilmiah bahwa konsumsi produk tembakau dan keterpaparan asap rokok merupakan penyebab kematian dan menimbulkan berbagai penyakit;
- Perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak (rights of the child) atas hidup, kelangsungan hidup, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945.
Demikian maka, ketentuan Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan sama sekali tidak dapat dikualifikasi sebagai norma yang bersifat diskriminatif, dan tidak merupakan pelanggaran atas hak atas keadilan, oleh karena memang secara substansial tembakau dan produk tembakau bersifat adiktif dan membahayakan kesehatan bahkan terbukti secara keilmuan mengakibatkan kematian.
Perlindungan seluruh rakyat dari zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan melalui Pasal 113 UU Kesehatan tidak tepat dilekatkan dengan dimensi diskriminasi, namun justru ujud realisasi hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup dan hak – hak anak yang dijamin dalam UUD 1945. Amat janggal menurut rasional dan logika, bahwa upaya perlindungan rakyat termasuk perlindungan anak dari zat berbahaya didalilkan diskriminatif.
Dalam hal ini, pihak kontra pasal tembakau tidak mampu memahami hak konstitusional perlindungan seluruh rakyat atas hak kesehatan dan hak hidup, kelangsungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang, termasuk anak-anak dari bahaya tembakau dan produk tembakau. Kehadiran Pasal 113 ayat (1), (2), (3) UU Kesehatan justru dalam rangka melaksanakan kewajiban Negara melindungi seluruh rakyat dan perlindungan anak.
Dalam hal penggunaan frasa atau istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, sama sekali tidak relevan dipahami sebagai bentuk norma yang diskriminatif atau pembedaan perlakuan terhadap satu jenis tumbuhan, dalam hal ini tembakau, oleh karena :
(1) Tembakau dan produk tembakau berdasarkan bukti ilmiah merupakan zat bersifat adiktif, dan karenanya sepatutnya dilakukan pengendalian (tobacco control). Dalam ketentuan Pasal 113 UU Kesehatan sama sekali tidak ada norma yang mencantumkan secara tekstual sebagai upaya memberangus tanaman tembakau, mengeliminir petani tembakau atau industrinya. Frasa yang digunakan justru “pengamanan penggunaan” bukan penghapusan penggunaan, sehingga tidak benar sama sekali ada diskriminasi, justru yang benar adalah perlindungan (protection).
Kekuatiran dan ilusi mengenai penghapusan pertanian tembakau, atau menghilangkan pendapatan petani tembakau adalah terlalu berlebihan dan hiperbolis oleh karena kua-normatif Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan sama sekali tidak mengandung norma atau maksud asli menghapuskan tembakau ataupun mengeliminir petani tembakau, akan tetapi yang benar bahwa norma Pasal 113 UU Kesehatan adalah norma pengendalian dampak tembakau (tobacco control). Sangat jauh korelasi ataupun causal verband antara pengendalian tembakau dengan ketakutan penghapusan pertanian tembakau.
Pendekatan data statistik ekonomi sebenarnya sudah dapat menjelaskan mengapa berkurangnya areal lahan tembakau, minimalnya pendapatan petani tembakau, padahal pendapatan pemilik usaha rokok paling jumbo dalam relasi industri tembakau.
Ada kesenjangan logika dan rasionalitas yang tidak cermat mengkaitkan seakan-akan Pasal 113 UU Kesehatan secara causal verband menghilangkan pertanian tembakau, menurunkan pendapatan petani tembakau dan mengurangi areal lahan tembakau, menaikkan pengangguran tenagakerja akibat pengurangan produk rokok. Bahkan ironisnya, dengan terlalu berlebihan Pemohon menjadikan Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan seakan-akan sebagai causal verband dari indikasi unsur kriminalisasi. Sungguh logika yang terlalu dipaksakan untuk membenarkan suatu ilusi dan spekulasi.
(2) Istilah yang dipergunakan dalam konvensi internasional sebagaimana FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) adalah tobacco (tembakau) sehingga penggunaan istilah tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan sudah sesuai dengan norma hukum internasional dan karenanya tidak diskriminatif akan tetapi justru protektif bagi perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan dan hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang;
(3) Secara yuridis formal, penggunaan istilah tembakau bukan hal baru dan telah dipergunakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003, yakni Pasal 1 butir 1 yang menyatakan tembakau mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan”; Pasal 1 butir 2 menyatakan “Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan”.
Dengan demikian penggunaan frasa/istilah tembakau bukan hal baru dan yang pasti bukan diskriminatif dan tidak melanggar keadilan hukum, oleh karena pengaturan pengendalian tembakau adalah pro hak konstitusional atas kesehatan, hak hidup, hak kelangsungan hidup dan hak tumbuh kembang anak. Padahal Pemohon sangat mengakomodir dan mempertahankan oleh PP Nomor 19 Tahun 2003 walaupun Pasal 116 UU Kesehatan mengamanatkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 113 s.d Pasal 115 UU Kesehatan.
(4) Penggunaan istilah tembakau pada Pasal 113 ayat (1), (2), (3) UU Kesehatan tidak diskriminatif oleh karena peneraannya dimaksudkan untuk pengendalian (tobacco control), yang dalam Pasal 113 ayat (1) UU Kesehatan disebut dengan frasa “pengamanan penggunaan”. Penggunaan nama atau istilah tembakau juga diterima sebagai norma universal karena dipergunakan dalam term FCTC dan juga dalam International Classification of Disease and Related Heart Problem (ISCD 10 WHO 1992) dalam F 17 code yang berbunyi “mental and behavior disorder due to use of tobacco”.
Sehingga penggunaan nama/istilah tembakau sama sekali bukan diskriminasi namun perlindungan dari bahaya adiksinya;
(5) Pasal 113 ayat (1), (2), (3) UU Kesehatan justru tidak ada norma melarang penggunaan tembakau atau produk tembakau sebagai zat adiktif, akan tetapi :
(a) Melakukan “pengamanan penggunaan” agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan [Pasal 113 ayat (1)];
(b) Melakukan pengendalian atas “produksi, peredaran dan penggunaan …yang harus memenuhi standar dan atau persyaratan” [Pasal 113 ayat (3)];
(6) Pasal 113 ayat (1), (2), (3) UU Kesehatan justru upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional atas kesehatan dan hak hidup,kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, oleh karena dalam konteks hak ekosob (ekonomi soal dan budaya), Negara menjamin (shall ensure) dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara memenuhi hak-hak anak (the maximum extent possible the survival and development), sebagai mana diatur dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KHA.
Dengan alasan tersebut diatas maka tidak terdapat diskriminasi atau pelanggaran keadilan ataupun pelanggaran hak hidup petani tembakau, dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Justru sebaliknya ketentuan Pasal 113 ayat (1), (2) dan (3) UU Kesehatan adalah ujud perlindung dan pemenuhan hak seluruh rakyat atas kesehatan, hak atas standar kesehatan, dan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, Pasal 113 UU Kesehatan jelas dimaksudkan untuk pengendalian tembakau (tobacco control), dan sama sekali tidak ada norma yang menghapuskan tembakau (tobacco abolition). Keduanya sangat berbeda dan sangat jelas kualifikasi yuridisnya.