Pemerintah Didesak Ratifikasi FCTC

Pemerintah didesak untuk meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Masalah Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)karena isu tembakau sudah terkandung dalam Undang-Undang Kesehatan Pasal 113 ayat 2. Isi ayat tembakau yang semula hilang itu menyebutkan zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Desakan untuk meratifikasi konvensi yang kerap disingkat FCTC itu terungkap dalam diskusi Mengetuk Hati Pemerintah: Komitmen akan Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Selasa (1/12), di Jakarta.

Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC. Sementara RUU Pengendalian Produk Tembakau terhadap Kesehatan yang sudah mengadopsi isi FCTC masih tersendat di Badan Legislasi DPR periode sebelumnya. Jika tidak ada UU yang mengatur peredaran produk tembakau, upaya pengendalian konsumsi rokok semakin sulit karena perusahaan rokok akan terus mencari pasar baru yakni anak-anak dan remaja. Selain Indonesia, ada 6 anggota WHO yang juga belum meratifikasi FCTC yakni Zimbabwe, Sudan, Gambian , Somalia, Eritrea, dan Lichtenstein. Industri rokok senang sekali disini. “Indonesia menjadi surga bagi industri rokok internasional karena tidak ada kendali sama sekali,” kata mantan Ketua IDI, Kartono Muhamad.

Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok, kata Kartono, membuktikan pemerintah tidak berminat melindungi kesehatan rakyatnya. “Segala macam janji dan komitmen memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat hanya retorika saja. Namun dalam praktiknya pemerintah membiarkan rakyatnya sakit akibat racun rokok. Pemerintah sama sekali tidak peduli dengan kesehatan rakyatnya,” ujarnya.

Tidak adanya kendali pada konsumsi rokok ini, kata Mohammad Joni dari Komnas Perlindungan Anak, karena rokok dianggap sebagai barang bebas. “Karena dianggap bebas maka bisa bebas beriklan. Ini kesalahan utamaya. Ada upaya menormalisasi rokok sebagai barang yang tidak berbahaya,” ujarnya.

Industri rokok pun selalu berargumentasi rokok sebagai pilihan pribadi. Rokok tidak dianggap sebagai adiktif tetapi habituatif (kebiasaan) saja. Karena dianggap sebagai pilihan pribadi maka segala resiko pun harus ditanggung sendiri karena itu pilihan mereka. Untuk mengurangi konsumsi rokok, kata Joni, pihaknya akan melanjutkan legal action dan advokasi terhadap larangan iklan rokok secara total. Memerangi iklan rokok itu penting karena menjadi titik masuk bagi industri rokok untuk mempertahankan eksistensinya.

Peneliti dari Lembaga Demograsi FE-UI, Abdillah Ahsan, menyarankan instrumen cukai adalah cara efektif untuk menurunkan konsumsi rokok. Pihak yang paling sensitif terhadap kenaikan harga adalah kelompok anak-anak. Oleh karena itu harga rokok yang tinggi juga dapat mencegah anak-anak dan remaja mulai merokok. UU No 39 tahun 2007 tentang Cukai menetapkan cukai rokok maksimal 57 persen dari harga jual eceran.

“Saat ini rata-rata cukai rokok baru 38 persen. Jadi masih ada banyak ruang untuk menaikkan cukai rokok sesuai UU Cukai. Harga rokok harus lebih tinggi dari tingkat inflasi dan pertumbuhan pendapatan. Kalau tidak, rokok masih bisa terjangkau masyarakat,” ujarnya. sumber

Leave a Reply