Pengelolaan Zakat: Review Hukum
Walaupun saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU No. 38/1999”), namun dinilai belum berjalan efektif dan maksimal. Indikatornya? Masih rendahnya hasil akumulasi nominal pengumpulan zakat yang yang potensinya diperkirakan masih ‘tertidur’ di pundi-pundi wajib zakat alias muzakki yang belum sadar zakat. Karenanya, dipandang perlu mengganti UU No. 38/1999. Bukan sekadar perubahan beberapa pasal saja. Apa urgensi dan justifikasi untuk mereform UU No 38/1999? Segi hukum yang mana pula perlu direform dalam pengelolaan zakat?
Merujuk kepada pendapat Friedman, dalam sistem hukum terkandung 3 (tiga) unsur yakni substansi (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Nah, untuk mereform UU No. 38/1999 itu dilakukan dengan memperkuat struktur hukum dalam pengelolaan zakat. Bahkan reform UU No 38/1999 itu bisa menjelma bak ‘arsitektur’ sistem pengelolan zakat di Indonesia.
Caranya dengan membentuk, memperjelas dan memisahkan antara peran dan fungsi Pemerintah sebagai regulator dan peran badan zakat Indonesia yang independen sebagai aktor perencana dan pengawas, serta peran dewan zakat nasional sebagai lembaga fatwa yang memastikan kepatuhan syariah. Selain itu tentunya melegalisasi operator pengumpul dan pendistribusi zakat, yakni lembaga/badan amil zakat yang sudah bersemi, seperti lembaga amil zakat (LAZ), Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dompet dhuafa, dan sebagainya.
Karena itu, reform atas UU No. 38/1999 dalam UU Pengelolaan zakat (UU PZ) baru diharapkan bisa menjustifikas tugas dan wewenang baru dalam pengelolaan zakat. Pembentukan UU baru memang untuk membuat wewenang baru. Langkah besar untuk pengelolaan zakat di negeri ini dilakukan dengan membentuk kelembagaan semacam ‘badan zakat Indonesia’ sebagai regulator dan pengawas yang bertugas dalam menerbitkan perizinan, pengaturan dan pengawasan operasional pengelolaan zakat. Kelembagaan lain? Diperlukan semacam ‘dewan zakat nasional’ untuk menjamin kepatuhan syariah, penetapan fatwa zakat dan pengawasan kepatuhan syariah.
Seperti halnya pajak, sangat mungkin zakat menimbulkan perselisihan atau sengketa hukum. Dimanakah yurisdiksi perselisihan atas sengketa hukum zakat? Hal itu mudah saja. Menetapkan yurisdiksi zakat dengan harmonisasi kompetensi Pengadilan Agama yang sudah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengumpulan zakat yang belum maksimal, secara hipotetis disebabkan belum adanya norma hukum yang mengintegrasikan dengan hukum perpajakan. Hal ini berguna untuk mendorong ketaatan membayar zakat dan menurunkan penghindaran zakat (zakah evasion). Dalam versi UU No. 38/1999, kewajiban pembayaran zakat belum dikurangi sebagai kewajiban atas pajak (tax credit). Yang ada hanya sekadar pengurangan pembayaran zakat dari penghasilan kena pajak (tax deduction). Sehingga perlu menormakan tax credit atas kewajiban pembayaran zakat.
Di sisi lain, dalam hal mendorong kepatuhan muzakki membayarkan zakat, perlu menormakan wewenang Pemerintah cq Departemen Agama RI sebagai eksekutif yang menyelenggarakan urusan pemajuan (to promote) dan sosialisasi serta penyadaran terhadap kepatuhan membayar zakat dan menurunkan penghindaran zakat (zakah evasion).
Pemajuan dan sosialisasi serta penyadaran zakat ini masih penting karena sebagian besar umat Islam Indonesia hanya memaknai zakat sebagai ibadah ritual keagamaan dan pendekatan santunan.
Namun ada gagasan progresif yang menjatuhkan hukuman (sanksi) kepada muzakki yang tidak membayar zakat. Menteri Agama mengusulkan sanksi bagi muzakki tak berzakat (Republika, 25 Februari 2009). Menjadi isu penting dan snsitif untuk ditelaah mendalam, apakah muzakki yang tidak membayar dapat diberikan sanksi? Jika iya, apakah dilakukan kriminalisasi? Sanksi denda? Atau hanya sanksi administratif? Atau sanksi peringatan (moral)? Langsung dapat dijatuhi sanksi pidana, atau secara bertahap dikenai sanksi non pidana lebih dahulu?
Dalam kondisi masyarakat saat ini, muzakki yang tidak membayar zakat masih sulit untuk dilakukan kriminalisasi sehingga kurang beralasan apabila diberikan sanksi pidana dalam (R) UU PZ yang baru. Apalagi, sanksi pidana merupakan ‘the ultimum remidium’ dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Akan tetapi, sanksi pidana atas perbuatan pengelola (operator) dapat dirumuskan, yakni (1) secara melawan hukum memiliki zakat dalam kekuasaannya; (2) menjaminkan, menghibahkan, menjual, mengalihkan zakat; (3) mengubah peruntukan zakat; (4) mengambil dan/atau menggunakan fasilitas atas pengelolaan zakat; (5) dengan sengaja atau lalai tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar; (6) tanpa hak melakukan pengmpulan zakat.
Lebih lanjut, beberapa isu hukum dalam review UU No. 38/1999 adalah:
- Membentuk kelembagaan hukum yang memisahkan antara regulator, pengawas dan operator dalam pengelolaan zakat sehingga diperoleh struktur hukum yang mengelola zakat secara baik, akunabel serta transparan;
- Membentuk struktur hukum yakni memastikan pembentukan badan zakat Indonesia sebagai regulator dan pengawas, dewan zakat nasional yang menjamin kepatuhan syariah, melegalisasi lembaga/badan amil zakat sebagai operator, dan menegaskan yurisdiksi Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan atas perselisihan zakat di Indonesia;.
- Memberi wewenang dan tugas kepada Pemerintah cq Departemen Agama RI melakukan pemajuan, sosialisasi dan menganjurkan kepada wajib zakat menyadari kewajibannya membayar zakat;
- Memastikan tercapainya tujuan pengelolaan zakat sebagai sumber dana yang potensial bagi pemberantasan kemiskinan dan memastikan penyalurannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada lingkungan dan wilayah/daerah sumber zakat;
- Mengatur penyaluran zakat diwajibkan untuk mustahik pada wilayah/daerah yang sama;
- Mengatur pendistribusian dan peruntukan zakat kepada mustahik untuk bidang kesejahteraan sosial yang dilakukan dengan penetapan dan pengawasan badan zakat Indonesia sebagai regulator dan pengawas;
- Mengatur harta zakat yang bersumber dari masyarakat dalam pengelolaan zakat ditetapkan secara yuridis formil sebagai keuangan negara sehingga merupakan obyek pemeriksaan keuangan negara;
- Mengatur pembayaran zakat sebagai pengurangan kewajiban pajak (tax credit);
- Pengembangan peran serta masyarakat dalam pengawasan, pemajuan, sosialisasi dan menganjurkan pengelolaan zakat, serta laporan dan pengaduan sebagai bentuk partisipasi publik;
- Standardisasi dan sertifikasi dalam setiap kegiatan pengelolaan zakat, mencakup aspek perencanaan, pengorganisasian, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat;
- Memastikan perbuatan mana yang dikriminalisasi dengan sanksi pidana dan mana yang hanya sanksi administratif, peringatan dan denda agar memberikan kepastian hukum;
- Menormakan status harta zakat yang dikumpulkan sebagai bentuk amanah yang dititipkan muzakki kepada operator (lembaga/badan amil), yang karenanya hanya bisa diserahka kepada muzakki. Operator hanya penympul dan penyalur zakat kepada mustahik, bukan lembaga pembiayaan atau fund manager sehingga zakat muzakki bukan untuk direinvestasikan!