Penjara (Bukan) tempat Anak

Keadaan buruk dalam pemenjaraan anak bukan saja situasi fisiknya, namun filosofi yang diusung.  Anak masih dianggap  orang dewasa ukuran mini. Yang membedakannya cuma masa penahanan, kenyataannya anaktetap saja melakoni pembinaan dalam  LP Anak yang masih bercitarasa penjara biasa.

Mari kita keluar dulu menemui Phil Dickens yang berargumen tentang penghapusan sistem penjara. Dia mengemukakan pendapat kritis ini: “The idea that prisons serve to reform criminals is a nonsense. Dalam  Anarchism: its Philosophy and Ideal, Peter Kropotkin made the argument that the result wasin fact the opposite”.  Dia melanjutkan, “Have notprisons-which kill all will and force of character in man, which enclose within  their walls more vices than are met with on any other spot of the globe-alwaysbeen universities of crime?”[1]

Dickens percaya, penjara mengubahkejahatan adalah bohong, dan dengan mengutip PeterKropotkin  dengan penjara bahkanhasilnya justru sebaliknya.  Pada artikel itu Dickens memaparkan,  “So, a century after Kropotkin wrote ofprisons “which kill all will and force of character in man,” we still see anoverwhelming brutalisation of human beings within their walls”.

Seabad setelah Kropotkin menulis tentang  penjara “yang  membunuh semua kemauan dan menekan karakter diri manusia,” kita masih melihat brutalisasi  besar umat manusia di dalam dinding-dinding  mereka (penjara).  Dan hasilnya? 61% dari semua  tahanan yang dilepaskan  pada tahun 2001adalah mengulangi lagi perbuatan (reconvicted)dalam waktu dua tahun dan 73% dari pelaku laki-laki muda yang dilepaskan  tahun 2001 adalah reconvicted dalam waktu 2 tahun.”

Agaknya  potret buruk pemenjaraan anak juga tergambar di Indonesia. Kekerasan tak terelakkan dari anakberkonflik hukum. Di lingkungan kepolisian RI, seakan-akan penyidikan identikdengan kekerasan. Kunjungan KPAI ke sebuah Lapas Anak misalnya menemukan, dari 32 penghuni Lapas  Anak, 18 orang darimereka mengaku selama penyidikan mengalami penyiksaan.[2]

Patutlah jika  ada pihak yang menggugat  keabsahankonstitusional pemenjaraan anak sebagaimana dimohonkan  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Mahkamah  Konstitusi (MK). Penulis adalah kuasa hukum lembaga Negara itu, yang didaulat merumuskan argumentasi dan posita serta  petitum ke MK.

Dengan modal  Pasal 28B ayat (2) UUD 1945,  cukup kuat alasanuntuk menghapuskan (abolisi) atau mengoreksi pemenjaraan anak yang dalam banyakkasus sudah menjadi ancaman pada fisik, psikis, masa depan dan bahkankelangsungan hidup anak. Tak hanya menghapuskan pemenjaraan anak, tentu hal itu  dimulai dengan  mengubah sistem  peradilannya  yang masih turunan peradilan pidana dewasa yang eksis karena didasarkan  pada UU  Kekuasaan Kehakiman, UU Pengadilan Anak, KUHPdan KUHAP.

Pemerintah agaknya masih konservatif  menanggapi penghapusan pemenjaraan anak. Dalam draf RUU Sistem Peradilan PidanaAnak yang diajukan ke Presiden,  yang  berkembang justru  pandangan  moderat yang  masih menerapkan  pidana penjara bagi anak atau mengakui pemenjara ananak dengan  menambahkan  berbagai perlakuan khusus denganmengusung  konsep restorative justice.    Pandangan  moderat  juga dianut  Komite Hak Anak (Commitee on the Rigths of the Child)  yang  cuma merekomendasikan  anak berkonflik dengan hukum   dipisahkan penahannya dari orang dewasa,  penahanan  sebagai upaya terakhir (the last resort),dan  jangka waktu paling pendek (shortest time period).

Pandangan ini mirip KUHP Nasional Belanda dimana  sistem  Code Penal di Nederland  sampai tahun 1886 (di Nedtherland Indie sampai tahun1918), dengan  adanya  pembatasan umur  memenjarakan anak.  Seorang anak   belum  berusia 16 tahun yang melakukan delik, tidakdijatuhi pidana akan tetapi  dapatdiperintahkan  Hakim perdata  mendapatkan pendidikan paksa (dwang-opvoeding) dari Pemerintah.

Pada tahun 1886, semenjak berlakunya KUHP Nasional Belanda  terjadi perubahan dalam pembatasan usia tanggungjawab  pidana. Apabila  anak yang belum  berusia 10 tahun melakukan  tindak pidana, maka dia tidak dijatuhi pidanaakan tetapi  mendapat pendidikan paksa  dari pemerintah.

Jika seorang anak yang usianya antara 10 tahun dan 16 tahun melakukan suatu tindak pidana dan sudah berakal (oordeldes onderscheid), anak harus dipidana dengan pengurangan 1/3nya. Tetapi jika belum berakal anak itu tidak dipidana, akan tetapi harus diperintahkan  oleh Hakim untuk dididik paksa oleh  pemerintah sampai anak itu berumur 18 tahun.  Seorang anak yang  berusia 16 tahun atau lebih jika melakukan suatu tindak pidana, harus dipidana.

Dengan karakternya yang masih belia atau tengah menjalani evolusi kapasitas (evolving capacities), tidak sepatutnya anakdijatuhi pidana  sebagai bentuk  penderitaan atas ulah perbuatannnya.   Sesuai  doktrin filsafat  determinisme  dalam hukum pidana mengajarkan bahwa perilaku manusia, baik perorangan ataupun kelompok  ditentukan faktor fisik,geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan.

Janganlah menghukum anak atas apa yang tidak  tanggungjawab utuh si anak. Kejahatan bukan kelakuan otentik si anak.

Solusinya?  Menjatuhkan Tindakan diluar penjara berjeruji.  Selain lebih mendidik anak,  Tindakan secara kua-teoritis  setara  dengan Pidana dan merupakan  sanksi  mandiri (independent sanction). Bukan sanksi pelengkap(complement sentences) dari  sanksipidana.

Lagi pula perkembangan pemikiran hukum pidana dewasa ini mengarah pada abolisi pemidanaan untuk menderitakan pelakunya.  Lihat saja bagaimana RUU KUHP dengan sadar  memasukkan Tujuan Pemidanaan (Pasal 50) dan  Pedoman Pemidanaan (Pasal 51) yang diarahkan untuk memandu  penegak hukum  memahami falsafah pemidanaan yang  tidak bermaksud menderitakan dan merendahkan   martabat manusia. Pemidanaan bukan nirkemanusiaan.

Pemidanaan bukan balas dendam. Sistem hukuman dalam RUU KUHP mengadopsi hukuman pidana kerja sosial, pidana pengawasan,  denda, yang  melengkapi alternatif  pidana penjara. Perkembangan pemikiran itu mengarah kepada delegitimasi dan dekonstruksi  pidana penjara dalam sistem hukuman.

Masihmenurut Phil Dickens[3] “…the prison systemis an element of state structure deemed to be beyond question”  Sistem penjara adalah elemen struktur negara yang perlu diragukan.  Dickens melanjutkan, “However,the idea of its abolition remains unspeakable, indeed unthinkable”.Gagasan penghapusan penjara  tetap takterkatakan, namun memang tak terbayangkan.

  1. Artikel ini  ditulis oleh Phil Dickens,yang bertitel “Argumen untuk penghapusan sistem penjara” dalamhttp://propertyistheft.wordpress.com/2009/08/31/abolish-the-prison-system/
  2. Hadi Supeno, “DekriminalisasiAnak”, Pokok-pokok pikiran, pada Diskusi Publik “Dekriminalisasi  Anak”,yang diselenggarakan  oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), padatanggal 31 Juli 2009.
  3. http://propertyistheft.wordpress.com/2009/08/31/abolish-the-prison-system/

Leave a Reply