Penjelasan Pasal KTR Pun Dibawa ke MK
Asal tembakau dalam UU Kesehatan dipertarungkan lagi di Mahkamah Konsitusi (MK). Walau MK pada 1 November 2011 sudah memutuskan menyatakan sah dan konstitusional pasal 113, 114 dan 199 UU Kesehatan, kali ini yang dipersoalkan pasal tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) versi Pasal 115.Tak heran, jika kalangan tobacco control lawyer pun maju sebagai kuasa Pihak Terkait mendukung dan memihak kepada Pemerintah dalam perkara ini untuk mempertahankan KTR dari Pasal 115 UU Kesehatan.
KTR itu mutlak dan harus 100%. Tak ada tempat bagi ruangan merokok di dalam gedung. Merokok bukan hak asasi, dan bukan basic need, justru merokok adalah adiksi dari bahaya nikotin yang carsinogenik, dan bukan pula kebiasaan wajar apalagi kultural dan sosial. Bagaimana mungkin adiksi menjadi life style, atau mentolerirnya untuk social smoking?
Dalam perkara yang ke-4 ini, soal yang diujikan cuma penjelasan Pasal 115 mengenai kata “dapat” dalam konteks menyediakan tempat merokok di dalam gedung. Sebagai kuasa hukum Pihak Terkait dalam perkara nomor 57/PUU-IX/2011 ini, kami meminta Majelis Hakim Konstitusi agar salah satu pemberi kuasa alias pihak prinsipal Dr Hakim Sorimuda Pohan, mantan anggota DPRRI yang dulu membahas UU Kesehatan di DPR, memberikan tanggapannya sebelum Majelis mengakhiri pemeriksaan saksi dan ahli.
Paparannya mengingatkan arah pemikiran yang sudah diambil MK saat memtuskan 3 perkara sejenis terdahulu yang telah dimenangkan kalangan tobacco control. Selain itu, Hakim Pohan menyentuh juga aspek kultural dan adab dalam memperlakukan lingkungan agar bebas asap rokok.
Berikut ini disadur secara lengkap Tanggapan Dr. Hakim Sorimuda Pohan di hadapan Majelis Hakim MK, pertengahan Desember 2011 lalu, sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikumWr.Wb.
Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi RI selaku ketua Majelis serta Bapak-Ibu Anggota Majelis yang saya hormati.
Dengan senantiasa memohon keridhoan Allah, izinkan saya, Dr. Hakim Sorimuda Pohan, selaku dokter lebih 42 tahun dan selaku Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan lebih 36 tahun, merasa terpanggil untuk menyampaikan Hak Konstitusional saya dalam perkara yang sedang Yang Mulia periksa, adili dan akan memutusnya. Terlebih-lebih terpanggil oleh karena saya terlibat secara langsung dalam proses pembentukan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan selaku anggota Pansus, Panja, Panmus hingga akhirnya disahkan.
1. Perkara ini tidak dapat dipisahkan dan bahkan merupakan satu rangkaian dengan permasalahan pada perkara No 19/PUU-IV/2010. Kami bersyukur kehadirat Allah, Mahkamah Konstitusi telah memantapkan kedudukan Pasal 113 UU 36/2009 pada uraian Pendapat Mahkamah [3.15.10] yang berbunyi: Bahwa pembentukan Pasal 113 UU 36/2009 dimaksudkan untuk menyatakan bahwa tembakau adalah termasuk zat adiktif, dan karena termasuk zat adiktif, maka akan diatur produkdi, peredaran, dan penggunaannya, sebagaimana kemudian ditentukan dalam Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 UU 36/2009.
2. Konsekuensi logis pengaturan penggunaan zat adiktif sudah sangat jelas pada Pasal 113 ayat (1) yaitu “Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan”.
Pada ayat dijelaskan secara gamblang “zat adiktif penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.
3. Apabila kemudian ada warga negara yang belum faham tentang potensi merugikan bagi masyarakat sekelilingnya dan memaksakan harus selalu disediakan ruangan khusus merokok di tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, tentulah pendapat yang demikian lahir dari kekurangfahaman akan kalimat -merugikan masyarakat sekelilingnya”.
4. Undang-Undang tentang Kesehatan telah membuat ketentuan agar diperoleh ketertiban bermasyarakat sebagaimana Pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Andainya saya membuka botol air kemasan agak susah berakibat terpercik pada teman tetangga duduk, itupun dapat menyulut terganggunya ketertiban, walau diketahui airnya bersih, steril. Terlebih lagi bila air steril tadi disemburkan ke wajah tetangga duduk, lebih besar lagi gangguannya. Dapatkah dibayangkan bila yang disemburkan itu asap rokok yang mengandung lebih 7000 macam bahan kimia beracun, lebih 60 diantaranya bersifat ‘carcinogenic’?
5. UU 36/2009 menetapkan pengendalian penggunaannya oleh karena berbahaya bagi dirinya dan/atau sekelilingnya. Perlulah kiranya diulangi lagi Pasal 28J ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tuntuk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini diberlakukan terhadap pembatasan HAK yang diakui sebagai Hak Asasi Manusia menurut konstitusi kita. Apakah merokok merupakan bagian dari hak asasi manusia menurut konstitusi kita? Apakah itu sejalan dengan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan? Justru menurut UU 36/2009, tang dimantapkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi, justru membahayakan
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis
6. Apa yang terus terjadi sepanjang masa adalah PERUBAHAN. Saya akui ada masyarakat kita yang amat lamban menyesuaikan diri terhadap fenomena perubahan tadi. Setiap kurun waktu tertentu niscaya akan terjadi pergeseran dan cara pandang budaya ke arah yang lebih maju menurut kaidah yang diakui umat manusia. Setiap bentuk budaya yang mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sekarang berangsur-angsur mulai dimuseumkan, sebagai wujud penghargaan atas sejarah budaya bangsa.
Ilustrasi pertunjukan matador di Spanyol, berusia hitungan millenium, digemari jutaan bahkan ratusan juta orang, meopang kehidupan penduduk lokal dan mengucurkan devisa buat negara, oleh karena mengancam kehidupan manusia petarung dan kehidupan makhluk, bangsa beradab rela menghentikannya dan pertunjukan di Catalunya, 25 September silam akan tercatat sebagai pertunjukan terakhir memperdaya banteng. Baru saja kemarin kita dapat mengikuti berita Padang Ekspres, 30 Nov 2011, Seminar yang diselenggarakan saudara kita di Sumatera Barat dengan Thema: Menyigi Kedudukan dan Manfaat Rokok di Masyarakat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) diungkap tradisi menundang handai taulan ke perhelatan adat dengan kata2 Kaganti Siriah nan Sahalai dan Kaganti Pinang nan Sakapua. Tidak ada plesetan Kaganti Rokok nan Sabatang.
Jadi jelas Rokok yang baru dikenal di Nusantara dalam 4 abad terakhir ini, jauh sangat muda dibandingkan akar budaya bangsa. Kalaupun ada pengakuan yang dipaksakan, rokok bagian dari budaya daerah kita, oleh karena sifat adiksinya yang merugikan, bangsa beradab mengatur adab untuk merokok.
7. Semua peraturan perundangan pada dasarnya adalah tuntunan atau adab untuk sesuatu urusan. Undang-Undang Lalu Lintas, yaitu adab berlalu lintas. Janganlah hendaknya bila kita menjejakkan kaki kita di negara tetangga , baru tersa kita menjadi manusia beradab, kembali ke negeri sendiri kembali meninggalkan adab yang bai
Beradab itu sebetulnya adalah kosa-kata milik bangsa kita, ingatlah Sila ke-dua pancasila, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, bukan berbudaya, bukan santun, tetapi BERADAB.
8. Penyediaan ruang khusus untuk merokok, harus sepenuhnya bertolak dari perlindungan hak asasi manusia yang tidak ingin mencederai kesehatan dari ancaman 7000 bahan kimia beracun dan sifatnya bukan pelayanan terhadap hak perokok, justru sebagai metode tidak langsung mendidik agar perokok menyayangi kesehatannya yang sangat berharga. Bagi pengelola tempat kerja bila akan menyediakan ruang merokok, dapat mempedomani SKB Mendageri-Menkes.
Semoga putusan yang arif Majelis Mahkamah Konstitusi akan membimbing seluruh anak bangsa menjadi bangsa yang ADIL dan BERADAB seperti amanat Pancasila, sumber dari segala sumber hukum di tanah air tercinta.
Wassalamu’alaikumWr.Wb.
DR. H. Hakim Sorimuda Pohan