Penyalahgunaan Anak Dalam Kegiatan Politik

Sebentar lagi dimulai kampanye terbuka menjelang pemilihan umum (pemilu) legislatif. Seperti pemilu sebelumnya, banyak anak yang dilibatkan dan disalahgunakan dalam kegiatan politik utamanya kampanye pemiliu. Mereka menjadi korban: jiwa, luka, cidera, dimobilisasi.

Isu hukum pelibatan anak dalam kegiatan politik, mengacu atau berasarkan kepada ketentuan UU Perlindungan Anak dan UU Politik. Menurut Pasal 15 UU Perlindungan Anak, bahwa:

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

  1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
  2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
  3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
  4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
  5. Pelibatan dalam peperangan”. Menurut Pasal 87 UU Perlindungan Anak, bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Oleh karena pengawasan atas perbuatan penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik (Pasal 15) berimplikasi pada kriminalisasi (Pasal 87), tidak sepatutnya keliru dalam merumuskan konsep dan batasan teknis perbuatan. Hal ini penting dilakukan, karena dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan hanya dapat dipidana jika ditetapkan oleh Undang-undang atau diterapkan dengan menggunakan asas legalitas. Sehingga perbuatan yang dapat dipidana hanya perbuatan yang sudah jelas konsep dan batasan perbuatannya karena membutuhkan kepastian hukum.

Konsep dan Batasan Perbuatan

Dengan demikian, dalam Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Perlindungan Anak, perihal penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik maka perlu dilakukan terlebih dahulu identifikasi dan membuat batasan atau konseptualisasi mengenai:

  1. Penyalahgunaan (Anak);
  2. Kegiatan Politik.
  3. Secara Melawan Hukum.

Oleh karena itu, untuk membuat kepastian hukum dan menghindari resiko hukum dan kesalahan yang tidak perlu dalam melakukan pengawasan dan advokasi kegiatan penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik, terlebih dahulu memberikan batasan atau tafsir mengenai ketiga hal tersebut.

Hal ini berkenaan dengan berbagai pertimbangan:

1.BATASAN KONSEPTUAL ’PENYALAHGUNAAN ANAK’. Dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak, perbuatan yang dilarang hanyalah perbuatan ’penyalahgunaan’ anak (child abused) yang dapat diartikan perbuatan yang bersifat eksploitatif. Oleh karena itu, KPU perlu membuat pedoman yang mampu membedakan mana yang sudah termasuk ’penyalahgunaan anak’ dan mana yang masih ditoleransikan sebagai bentuk perbuatan yang kehendak sendiri dan perbuatan bukan penyalahgunaan tetapi penggunaan dengan tidak salah, dan mana yang merupakan bentuk ekspresi partisipasi anak;

2.BATASAN KONSEPTUAL ’KEGIATAN POLITIK’. Dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak, perlu memberikan batasan konseptual apa yang dimaksud dengan ’kegiatan politik’. Apakah kegiatan politik disimplifikasi sebagai ’kampanye politik’, ’kampanye langsung di lapangan terbuka’, ’penyertaan dalam iklan politik’, ’penyalahgunaan anak dalam iklan politik’.

Oleh karena dalam pengertian politik praktis, batasan ’kegiatan politik’ sangat terbuka dan dalam arti yang luas, sehingga mencakup kegiatan-kegiatan yang berbahaya dan massif seperti kampanye terbuka dengan diiringi hiburan dengan melibatkan massa yang banyak. Namun bisa pula kegiatan politik hanya sebatas pertemuan terbatas pada tempat yang terbatas dan nyaman pula.

3.MENCERMATI VARIASI DAN DIMENSI IKLAN POLITIK. Dalam konteks menelaah ada atau tidaknya penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik dalam bentuk atau melalui iklan politik misalnya, perlu berhati-hati dalam mengkritisi iklan politik yang di dalamnya penggunaan anak secara bervariasi. Dalam pengamatan yang kami lakukan, ada partai politik yang :

(a)menggunakan anak sebagai bintang utama, atau hanya latar belakang, atau hanya sebagai figuran yang tampil sekilas saja dari iklan politik;

(b)menggunakan anak sebagai penganjur untuk memilih partai tertentu (baik ekspresi, verbal ataupun acting) yang seakan-akan bertindak sebagai juru kampanye partai politik terentu;

(c)menggunakan anak hanya sebagai obyek saja dari tema/isu politik yang dicitrakan dalam iklan politik tersebut, misalnya mengenai perlunya kesejahteraan sosial anak, pendidikan bagi anak, kesehatan anak dan perlindungan anak.

(d)namun selain itu, untuk memeriksa ada tidaknya penyalahgunaan pelibatan anak dalam iklan politik, tentunya perlu dilakukan pemeriksaan apakah dilakukan secara absah sebagai hubungan pekerjaan (kontrak dengan production hause) sehingga walaupun hanya bersifat pasif dan menjadi bintang utama, atau hanya figuran saja, kalau dilakukan dengan kontrak kerja maka tentunya tidak dengan gegabah kita mendefenisikannya sebagai ’penyalahgunaan’ sebagaimana bunyi norma dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak.

4.KEGIATAN KAMPANYE Vs KEGIATAN POLITIK. Selain itu, tentunya KPAI tidak hanya menggunakan Pasal 15 UU Perlindungan Anak, namun juga menggunakan UU No. 10/2008. Di dalam Pasal 84 ayat (2) huruf j UU No 10/2008 diatur bahwa kegiatan yang dilarang bagi yang bukan pemilih adalah perbuatan yang didefenisikan sebagai ’kegiatan kampanye’ saja. Sementara itu, dalam Pasal 15 UU Perlindungan Anak menyebutkan term ’kegiatan politik’ yang tentunya secara substansial berbeda sama sekali dengan ’kegiatan kampanye’. Tidak benar jika dipahami bahwa ’kegiatan politik’ hanya perbuatan ’kampanye politik’ saja.

Bagaimana misalnya, anak-anak yang dipergunakan diluar masa kampanye, namun hanya memasang bendera partai politik atau baliho ditempat yang berbahaya dan mengancam keselamatan dirinya.

Disisi lain apabila mengunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye dalam iklan politik tertentu, dan disiarkan di televisi tertentu, maka bukan saja partai politik tetapi pengurus perusahaan stasiun televisi tersebut juga dapat dikriminalisasi dengan menggunakan term ’setiap orang’ yang ditentukan dalam Pasal 87 UU Perlindungan Anak.

5.BATASAN SETIAP ORANG Vs PELAKSANA KAMPANYE. Dalam Pasal 87 UU Perlindungan Anak, perbuatan yang dapat dipidana jika melanggar Pasal 15 UU Perlindungan Anak dikriminalisasi terhadap ’setiap orang’, jadi siapapun (termasuk badan/rechtpersoon) bisa saja menjadi pelaku kriminal pelanggaran Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Perlindungan Anak. Akan tetapi dalam UU No 10/2008 [Pasal 84 ayat (2) huruf (j)] pelaku yang dikriminalisasi tidak setiap orang, namun hanya PELAKSANA KAMPANYE saja. Sehingga mesti cermat dalam menentukan siapa aktor/pelaku perbuatan pelanggaran Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Perlindungan Anak dan Pasal 84 ayat (2) huruf (j) UU No. 10/2008. Apalagi, dalam kegiatan pelaksanaan kampanye itu, kerapkali bervariasi dan tidak hanya dilaksanakan PELAKSANA KAMPANYE yang resmi namun juga dikendalikan PELAKSANA KAMPANYE yang tidak tercatat secara resmi atau hidden team yang memang sudah biasa dalam politik praktis.

C. Pelibatan Anak (Remaja) dalam Kegiatan Politik: Antara Pro Perlindungan atau Pro Partisipasi?

Secara teoritis, kegiatan politik, memberikan suara pada pemilu adalah bentuk partisipasi sebagai warga negara. Di satu sisi, bagi anak (termasuk remaja yang sampai belum genap berusia 18 tahun), memiliki hak partisipasi. Bahkan ’penghargaan terhadap view of the child’ merupakan salah satu prinsip dalam KHA dan UU Perlindungan Anak.

Oleh karena itu, hak partisipasi anak/remaja (usia 17 tahun keatas) misalnya dalam hal menyalurkan aspirasi, berpendapat bahkan memberikan suara (vote) dalam pemilu dijamin sebagai hak yang dijamin UU.

Lebih dari itu, oleh karena hak partisipasi merupakan hak yang dijamin KHA dan UU bahkan diposisikan sebagai prinsip (principle), maka tentunya dipahami sebagai hak yang perlu didorong sepanjang tidak terjerembab kepada penyalahgunaan anak (child abused).

Dengan demikian, dalam hal kita pro hak partisipasi, maka tentunya perbuatan yang dilarang bukanlah semua kegiatan politik namun hanya PERBUATAN PENYALAHGUNAAN ANAK DALAM KEGIATAN POLITIK. Sebaliknya dalam hal ’rezim’ yang pro perlindungan maka seluruh kegiatan politik dilarang melibatkan anak, karena perbuatan tersebut secara ’otomatis’ diaggap eksploitatif bagi anak. Apalagi jika mendefenisikan kegiatan politik sebagai perbuatan yang hanya domein ’orang dewasa’, cenderung berbahaya dan destruktif yang seakan-akan kegiatan politik hanya sekadar kampanye terbuka atau rapat umum saja. Padahal, kegiatan politik adalah edukasi kesadaran berbangsa dan bernegara sebagai bentuk hak partsipasi anak (remaja).

Hal ini merupakan pilihan strategis dan pilihan etis yang mesti ditelaah secara mendalam, sehinga secara konseptual dapat :

(a)membedakan secara kategoris mana bentuk-bentuk penyalahgunaan dan mana yang masih bermanfaat dalam pemenuhan hak partisipasi.

(b)membuat graduasi teknis mana yang merupakan area dan bentuk partisipasi anak (remaja) dalam kegiatan edukasi politik anak (remaja), dan mana yang sudah eksploitasi dan penyalahgunaan anak.

D. Strategi Pengawasan dan Penelaahan

Untuk melakukan pengawasan dan penelaahan pelibatan anak dalam kegiatan politik, dapat dilakukan beberapa hal:

1.Mengidentifikasi bentuk/konten perbuatan apa saja yang melibatkan anak, diantaranya:
(a)kampanye tertutup;
(b)kampanye terbuka;
(c)rapat umum/terbuka;
(d)pawai/arak-arakan;

2.Menentukan karakteristik penyalahgunaan anak, dengan mempertimbangkan faktor, diantaranya:
(a)berbahaya atau tidak bagi anak;
(b)eksploitasi anak atau tidak;
(c)pemanfaatan secara salah atau tidak;
(d)dalam jangka waktu yang panjang atau pendek/sebentar
(e)menganjurkan memilih suatu partai atau tidak;

3.Mengidentifikasi maksud asli dan tujuan pelibatan anak dalam kegiatan politik, termasuk diantaranya:
(a)mobilisasi massa anak;
(b)pengerahan dengan melakukan pembayaran (politik uang);
(c)memprovokasi anak dalam kegiatan kampanye politik untuk melakukan perbuatan terlarang;
(d)menggunakan minuman keras dan bahan berbahaya;
(e)memperalat alat dengan senjata atau benda yang membahayakan dirinya dan orang lain;
(f)menggunakan massa anak dalam aksi kegiatan politik;
(g)memasangkan atribut partai politik pada anak-anak di bawah umur;

4.Secara sampling melakukan pengawasan dan pemantauan kampanye politik yang membtuhkan perlindungan khusus :
(a)kota atau kawasan tertentu dan beresiko tinggi;
(b)tempat-tempat yang merupakan pusat keramaian dan lokasi strategis pertemuan publik/masyarakat;
(c)kawasan konflik sosial;
(d)daerah kantung yang dominan partai tertentu;
(e)Kampanye partai politik yang secara tradisional (sudah biasa dan mempunyai pandangan politik) memperkenankan pelibatan anak dan membawa anak dalam kampanye pemilu;

5.Melakukan pelibatan anak sehingga anak-anak melakukan perbuatan yang dilarang daam Pasal 84 ayat (1) huruf (a) s.d huruf (j) UU No. 10/2008;

6.Mempergunakan jaringan NGO di daerah;

7.Melakukan pemanauan melalui media massa, dengan melakukan pemantauan atas:

(a)konten kampanye dalam mempergunakan isu anak;

(b)penyalahgunaan anak dalam kegiatan kampanye politik non nn kampanye politik, dalam berbagai bentuk:

karakteristik penyalahgunaan anak, diantaranya:
berbahaya atau tidak bagi anak;
eksploitasi anak atau tidak;
pemanfaatan secara salah atau tidak;
dalam jangka waktu yang panjang atau pendek/sebentar
menganjurkan memilih suatu partai atau tidak;

maksud asli dan tujuan pelibatan anak, diantaranya:
mobilisasi massa anak;
pengerahan dengan melakukan pembayaran (politik uang);
memprovokasi anak dalam kegiatan kampanye politik untuk melakukan perbuatan terlarang;
menggunakan minuman keras dan bahan berbahaya;
memperalat alat dengan senjata atau benda yang membahayakan dirinya dan orang lain;
menggnakan bahasa, isi/tema pesan/kampanye, isi spanduk/atribut yang memprovokasi anak;
menggunakan massa anak dalam aksi kegiatan politik;
memasangkan atribut pada anak dibawah umur.

8.Melakukan kooordinasi dengan BAWASLU, KPU, KPU, KPUD.

Leave a Reply