Perlu 68 Tahun Atasi Defisit Perumahan
Ingin merumahkan seluruh rakyat? Tunggulah satu generasi. Ini bukan agitasi tanpa bukti. Kebutuhan rumah sebagai tempat tinggal makin membludak, tiap tahun, tiap kabinet, tiap rezim. Di samping harganya tidak terjangkau oleh daya beli dan pendapatan rendah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR, apalagi warga miskin.
Versi data BPS, jumlah penduduk miskin September 2011 sebanyak 29,89 juta orang atau 12,36% (BPS ”Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi”, Januari 2012, hal.101). Ditambah lagi warga hampir miskin yang diperkirakan berjumlah 27 juta orang.
Di sisi lain, backlog atau defisit perumahan yang tinggi mencapai 13,7 juta, dan terus meningkat akumulasi dan eskalasinya dari tahun ke tahun. Anggap saja pertumbuhan permintaan rumah sama dengan nol, dengan daya bangun 200 ribu unit rumah per tahun, maka perlu 68 tahun untuk merumahkan rakyat yang terkena defisit perumahan itu. Belum dihitung pertumbuhan rumah, pertambahan penduduk, pasangan baru, penduduk miskin di kawasan kumuh dan tuna wisma yang tidak sedikit.
Padahal, dengan Undang-undang baru, mestinya lebih mudah dan segera memperoleh rumah. Namun apa daya, hukum malah sebaliknya. Lha? Lihat saja bagaimana Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 membatasi orang membeli rumah sesuai kemampuannya, yakni tak boleh membangun dibawah 36 meter persegi. Ibarat kata, orang miskin Cuma bisa beli nasi warung tegal dipaksa membeli nasi kotak di restoran.
Padahal, amanat Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah untuk kelompok MBR, dengan segala bentuk fasilitas dan subsidi yang disiapkan, maka tentunya tidak semestinya ada hambatan dalam pencapaian pembangunan perumahan bagi kelompok MBR.
Backlog atau defisit perumahan yang tinggi mencapai 13,7 juta, dan ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan rumah selama satu dekade terakhir, dan meningkatnya jumlah rumah tangga yang tidak mempunyai rumah, serta masalah kawasan permukiman kumuh yang berdasarkan data tahun 2009 seluas 57.800 hektar, sehingga Kementerian Perumahan Rakyat menilai Indonesia berada dalam kondisi darurat perumahan sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah (Bisnis Indonesia, “Indonesia di kondisi darurat perumahan”, 13 Desember 2011).
Ketidakadilan dalam pembangunan perumahan dikemukakan Zulfie Syarif Koto, mantan pejabat Kementerian Perumahan Rakyat, yang berdasarkan data dan fakta menyimpulkan: “…pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang 65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas”. (Zulfi Syarif Koto, “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”, LP3I dan Housing and Urban Development Institute (HUD), Jakarta, 2011, hal. 48).
Namun dengan adanya Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang membuat batasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 meter persegi, yang diberlakukan bagi setiap orang dan setiap wilayah secara sama dan tidak berbeda. Norma ini menghambat pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal oleh karena mengakibatkan semakin tingginya harga rumah dan tidak terjangkau daya beli kelompok MBR, termasuk sekitar 58 juta penduduk miskin dan hampir miskin di Indonesia.
Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 menjadi kausal terhambatnya pemenuhan hak konstitusional atas rumah, oleh karena:
- Permasalahan utama dan besar saat ini masih sekitar 57 juta penduduk miskin dan hampir miskin termasuk kelompok MBR yang membutuhkan rumah;
- Masih meluasnya kelompok marginal yang menghuni tempat tinggal tidak manusiawi;
- Kenaikan harga rumah sederhana lebih tinggi dari kenaikan pendapatan;
- Kerapkali luas tanah yang sempit dan terus mahal sehingga harga rumah menjadi mahal;
- Daya beli MBR yang stagnan namun harga rumah meningkat (apalagi dengan luas lantai 36meter persegi) sehingga tidak terjangkau kelompok MBR;
- Menciptakan efek domino yang menghambat terbitnya Ijin Mendirikan bangunan (IMB), dan segala fasilitas subsidi atau pembiayaan perumahan;
- Resisten bagi target pencapaian pembanguan perumahan untuk MBR;
- Tidak bisa diterapkannya fasilitas bebas PPN bagi MBR;
- Memicu eskalasi backlog atau defisit perumahan;
- Memicu meluasnya kawasan permukiman kumuh;
- Menciderai pemenuhan HAM atas rumah, dan
- Melanggar hak konstitusional untuk memperoleh rumah.
Apalagi fasilitas pembiayaan yang tersedia seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak bisa menjangkau seluruh kelompok MBR. FLPP diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.05/2010 tentang Tatacara Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan.
Sebelum diberlakukan skim FLPP, yang diberikan kepada kelompok MBR adalah subsidi uang muka dan subsidi selisih bunga. Dengan adanya skim FLPP, yang bersumber dari pos anggaran Kementerian Perumahan Rakyat yang semula adalah pos anggaran belanja yang dialihkan menjadi pos pembiayaan (Kompas.com, ”FLPP bakal hemat APBN Rp. 21 Triliun”, 26 Oktober 2010).
Kendatipun tersedia FLPP, namun tidak bisa mengakomodasi eskalasi harga beli unit rumah karena struktur dan komponen harga akan meningkat setelah adanya ketentuan luas lantai minimal 36 meter persegi tersebut diberlakukan. Dengan asumsi FLPP sebagai pos pembiayaan maka tidak konsisten dengan kewajiban Pemerintah dalam Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011. Semestinya untuk kelompok MBR diberlakukan subsidi bukan pembiayaan. Jika tidak, mungkin satu generasi baru Indonesia bisa merumahkan rakyat. Atau, rakyat sendiri yang menyediakan rumahnya? Alamakjang, betul jugakah dugaan negara “auto pilot” itu?