Amri Lubis, S.H

Perokok Uji Pergub Kawasan Dilarang Merokok

Niat Gubernur DKI Jakarta mengendalikan penggunaan rokok ternyata cukup serius. Dua peraturan gubernur (pergub) dalam kurun waktu lima tahun menjadi bukti keseriusan itu. Pergub pertama bernomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Lalu, muncul Pergub No 88 Tahun 2010 sebagai penggantinya.

Pasal 18, setelah diubah, berbunyi “Tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung dan; b. tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung”.

Namun, tak semua warga DKI Jakarta setuju dengan aturan ini. Salah satunya adalah Ariyadi. Berbeda dengan perokok lain yang hanya menggerutu, warga Kampung Kramat, Cipayung, Jakarta Timur ini menggunakan langkah hukum. Ia mengajukan judicial review Pasal 18 Pergub DKI Jakarta itu ke Mahkamah Agung (MA).

“Hari ini, Tim Advokasi Hak Rakyat (TAHR) mendaftarkan permohonan uji materiil terhadap Pergub DKI Jakarta No 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilaranng Merokok. Uji materi ini kami ajukan karena kami melihat bahwa Pergub ini telah melanggar Hak Asasi Manusia para perokok,” sebut kuasa hukum pemohon, Habiburokhman, melalui pesan yang diterima hukumonline, Kamis (13/1).

Dalam permohonannya, pemohon menilai sebagai seorang perokok dan warga DKI Jakarta berhak merokok tanpa dibatasi oleh waktu. Selain itu, pemohon juga merasa berhak untuk dapat merokok di dalam gedung tempat kerja dan di tempat umum tanpa mengurangi hak-hak warga lain yang non-perokok, yaitu dengan ruangan khusus.

Sekedar mengingatkan, dalam Pergub yang lama memang dikenal ruang khusus bagi perokok dalam sebuah gedung. Pengelola gedung wajib menyediakan ruangan ini. Namun, aturan ini akhirnya dinilai tak efektif. Karenanya, Pergub yang terbaru ini menegaskan para orang yang ingin merokok harus benar-benar berada di luar gedung.

Pemohon menilai aturan yang menyatakan tempat khusus merokok harus berada di luar gedung adalah ketentuan yang sangat mengada-ada. Ketentuan ini dinilai sangat menyulitkan pemohon untuk melakukan aktivitas di tempat umum dan di tempat kerja. Ia meminta, sebaiknya, diberlakukan saja aturan yang lama.

“Bahwa ketentuan Pasal 18 Pergub DKI No 75 Tahun 2005 sudah cukup melindungi hak orang yang bukan perokok untuk menikmati udara yang terbebas dari asap rokok dan sekaligus juga melindungi hak perokok untuk merokok di tempat khusus merokok,” jelasnya dalam permohonan.

Pemohon menilai dengan adanya Pergub yang baru ini hak perokok di Jakarta semakin dipersempit. “Seperti pesakitan, para perokok diusir dari dalam gedung,” sebutnya. Lebih lanjut, pemohon menilai aturan itu melanggar Pasal 23 Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. “Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja yang menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak menggangu kesehatan bagi yang tidak merokok”. Selain itu, aturan ini juga dinilai melanggar hak asasi manusia.

Muhammad Joni, dari Indonesian Lawyer Community on Tobacco Control, mengaku tak akan diam dengan judicial review ini. “Kami akan intervensi,” ujarnya. Ia mengatakan akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan Pergub ini, dengan mengajukan diri sebagai pihak ketiga.

Menurut Joni, alasan hak asasi manusia yang digunakan oleh para perokok itu sangat mengada-ada. “Rokok itu bukan hak asasi manusia. HAM itu kan tidak boleh melanggar HAM orang lain, yakni orang yang tidak merokok,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (14/1)

Peraturan MA

Judicial review terhadap Pergub tentang Kawasan Dilarang Merokok ini masih mengalami hambatan. Pemohon menyadari bahwa ia bisa terhambat dengan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Intinya, permohonan judicial review hanya bisa diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak peraturan perundang-undangan itu ditetapkan.

Sayangnya, usia Pergub No 88 Tahun 2010 ini telah lewat dari 180 hari. Pergub ini ditetapkan pada 13 April 2010 yang lalu. Namun, pemohon tak habis akal. Dalam permohonan yang sama, ia juga menguji Pasal 2 ayat (4) Perma yang membatasi 180 hari pengajuan judicial review ini.

Pemohon menilai, meski ditetapkan pada 13 April 2010, Pergub ini baru disosialisasikan menjelang 1 November 2010. Karenanya, tenggang waktu 180 hari dinilai tidak tepat. Kasus ini sering terjadi dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Perma No 1 Tahun 2004 ini dinilai bertentangan, salah satunya, dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Leave a Reply