Pertalian Persusuan: Aspek Hukum

Dalam keadaan tertentu atau darurat, sangat mungkin ibu kandung tidak dapat menyusui anak kandungnya (misalnya, ibu meninggal dunia, terpisah, sakit menular, atau tidak menghasikan susu, dan lain sebagainya).

Hak anak atas air susu ibu (ASI) adalah terkit dengan hak anak atas hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang. Itu sebabnya byi yang lhir disarankan langsung mengenali dan disuguhi ASI. Kualitas ASI yang mujarab bahkan tidak tergantikan oleh susu formula apapun. ASI adalah opsi pertama dan terbaik bagi bayi, walaupun dalam situasi darurat sekalipun (UNICEF, “Technical Notes: Special Considerations for Programming in Unstable Situation”, 2003, New York, h. 224). ASI efektif bagi daya tahan tubuh, pertumbuhan dan kesehatan bayi/anak. ASI adalah Hak ats makanan (right to food).

Adanya kesadaran global mendorong pemberian ASI kepada bayi, dan bahkan membuat The International Code of Marketing of Breast-Milk Substututes. (UNICEF, h. 231-232); Dalam kode etik itu ditegskan: No Advertising of above product to the public; No free Samples to mothers, their families or health care workers; No Promotion of products (display, posters, distribution of promotion materials); No Gift or Samples to health care workers; No Free or Low cost supplies of Breast-Milk Substututes.

B. Pertalian Persusuan Dalam Khi

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 39 ayat (3) mengenal dan mengakui lembaga Pertalian Persusuan. Adanya Pertalian Persusuan itu menjadi alasan Larangan Perkawinan yang diatur secara eksplisit dalam KHI.

Pertalian Persusuan, selanjutnya berimplikasi bukan saja pada pemenuhan hak hidup, kelangsungan dan perkembangan anak. Namun, selanjutnya menerobos masuk ke dalam domein hukum keluarga. Oleh karena itu, dapat dikemukakan:

  1. Pertalian Persusuan merupakan keadaan hukum yang mempunyai akibat hukum tertentu dalam hukum keluarga/hukum perkawinan Islam.
  2. Pertalian Persusuan diakui dan eksis dalam sistem hukum nasional, seperti halnya lembaga Pengangkatan Anak, Perwalian, Pemeliharaan Anak, Pengakuan Anak, dan lain-lain;
  3. Pertalian Persusuan diakui dan hadir sebagai hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat;
  4. KHI sebagai hukum materiil diakui sebagai Pedoman bagi hakim dalam penyelesaian perkara pada yurisdiksi peradilan agama;

C. Hukum Pertalian Persusuan

1.Menyusukan bayi/anak sebagai bentuk tindakan Pengakuan Prinsip Hak Anak untuk hidup, Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan (rights to life, survival and development);

Pemberian ASI kepada bayi adalah bentuk tindakan sengaja untuk merealisasikan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Dengan demikian, Pertalian Persusunan dapat dibangun dalam konteks Pertalian Kehidupan, Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Anak.

Prinsip Hak Anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Pasal 6 KHA dan Pasal 2 huruf (c), dan Pasal 4 UU No 23/2002), ditemukan rujukan konstitusionalitasnya dalam Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.

Dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999). Hak hidup ini, merupakan hak asasi universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right).

Sebelum KHA, beberapa instrumen/konvensi internasional juga menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6). Bahkan, dalam General Comment (1982), The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency).

Menurut Manual on Hman Rights Reporting (1997), mengarahkan Negara Pserta untuk melaksanakan Pasal 6 KHA, diantaranya dengan membangun keadaan alamiah yang positif dan merancang perlindungan hidup anak, termasuk meningkatkan harapan hidup (life expectancy), mengurangi kematian bayi dan anak, penanganan bencana dan rehabilitasi kesehatan, menyediakan makanan/nutrisi dan air bersih, melarang dan mencegah hukuman mati, melakukan tindakan sengaja mempertahankan kehidupan anak dan menyelamatkan kehidupan anak.

Dengan demikian, terbangun argumentasi kuat bahwa Pertalian Persusuan adalah tindakan melindungi hak hidup, kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak/bayi.

2. Hak atas Identitas

Dalam UU No 23/2002, hak atas akte kelahiran diatur secara khusus dalam pasal 27 dan 28 UU No 23/2002. Pencatatan kelahiran penting bagi eksistensi formal anak, dan mestilah dipahami sebagai “right from the start”. Anak-anak yang tidak tercatat kelahirannya berbahaya bagi keterputusan sosial, bahkan bisa kehilangan hak atas identitas formal, pengakuan nama dan kewarganegaraan. (lnnocenty Digest No. 9-March 2002, “Birth Registration Rights from the Start”).

Dalam perspektif Konvensi Hak Anak (KHA), hak anak atas identitas ini, mengacu Pasal 7 dan 8 KHA. Di dalam Pasal 7 KHA dijelaskan bahwa pencatatan kelahiran anak dilakukan secara segera (immediatly) setelah kelahiran, dan memiliki hak atas nama (name), memperoleh kewarganegaraan (nationality), dan hak mengetahui orangtuanya.

Pasal 8 KHA menegaskan Negara Peserta menghormati hak anak atas identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan kerabat/keluarga (family relation). Karena itu, dalam hal implementasi pasal 27 UU No 23/2002, mestilah dibaca sebagai (a) Kewajiban negara menghormati identitas anak; (b) Kewajiban negara melakukan pencatatan kelahiran secara segera setelah kelahiran anak; (c) Kewajiban negara menghormati hak anak atas identitas, termasuk atas kewarganegaraan; nama; hubungan kerabat/keluarga.

Dengan demikian, hak atas identitas anak, bukan saja hak atas nama namun juka hubungan kekerabatan (family relation). Nama, kewarganegaraan dan hubungan kerabat (family relation), hanya beberapa unsur saja dari ientitas anak. Beberapa dimensi lain dari idenitas anak yakni sejarah personal anak sejak lahir (dimana tinggal dan dilahirkan, siapa yang memelihara, mengapa keputusan krusial dilakukan/diambil dll., termasuk suku, agama, budaya bahasa anak. (UNICEF, “Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child”, h. 113).

Dalam KHA juga dalam UU No 23/2002 tidak secara spesifik menentukan apa yang harus dicatatkan, namun secara minimal pencatatan kelahiran itu mencakup nama bayi pada saat dilahirkan, jenis kelamin, tanggal kelahiran, dimana dilahirkan, nama orangtua dan alamatnya, dan status kewarganegaraan orangtua. Informasi lainnya juga bisa dicatatkan yakni pekerjaan orangtua dan status etnik (suku) – yang bisa berguna bagi keperluan statistik.(UNICEF, h. 101.)

3. Pertalian Persusuan ekuivalen sebagai bentuk Peristiwa Penting dalam Hukum Keluarga.

Pertalian Persusuan merupakan lembaga hukum dalam KHI dan sudah merupakan hukum yang hidup dan diikuti masyarakat (living law). Dalam hukum nasional termasuk KHI, Pertalian Persusuan merupakan keadaan hukum yang penting dalam sistem hukum keluarga, seperti halnya hkum keluarga mengatur tentang Pengangkatan Anak, Perwalian, Pemeliharaan Anak, Pengakuan Anak, Perkawinan, Kelahiran, Kematian,.

Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Administrasi Kependudukan”), memberi batasan Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir, mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan (vide Pasal 1 angka 17 UU Administrasi Kependudukan).

UU Administrasi Kependudukan mewajibkan melaporkan Peristiwa Penting kepada Instansi Pelaksana (Pasal 3). Mengatur pencatatan Peristiwa Penting yakni Pengakatan Anak (Pasal 47), Pengakuan Anak (Paal 49), Pengesahan Anak (Pasal 50), Perbahan nama (Pasal 52), Perubahan Status Kewarganegaraan (Pasal 53-54).

Oleh karena KHI mengenal dan mengakui Pertalian Persusuan, serta menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat, maka seperti halnya lembaga Pengangkatan Anak, Perkawinan, Perwalian, Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, diakui pula sebagai Peristiwa Penting dalam perspektif UU Administrasi Kependudukan.

Kerap pula terjadi, dalam hal anak yang terpisah dari orangtuanya (separated children), anak yatim piatu, dan anak yang orangtuanya tidak mampu mengasuh, maka pengasuhan dan perawatan anak dilakukan melalui keluarga alternatif (alternative family), yang secara bersamaan mungkin saja memiliki Pertalian Persusuan. Dengan demikian, Pertalian Persusuan dapat menjadi alasan adanya pertalian “darah putih” dengan ibu susunya.

Pertalian Persusuan tidak termasuk dalam/sebagai Peristiwa Penting, Data Kependudukan, Dokumen Kependudukan, sehingga belum diakui secara formal dalam Administrasi Kependudukan.

4. Pertalian Persusuan dijamin UU Perlindungan Anak

Negara Peserta KHA berkewajiban melindungi hak anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan. Sebagai Negara peserta KHA, dan telah terikat dengan UU Perlindungan Anak, Negara berkewajiban melakukan perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak anak termasuk adanya Pertalian Persusuan sebagai Pertalian Kehidupan antara anak dengan ibu susunya.

Pertalian Persusuan sebagai satu bentuk dari Social Savety Net untuk menjamin hak-hak anak (vide Pasal 28 huruf H ayat (3), Pasal 34 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, UU Nomor 6/1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), UU Nomor 39/1999 tentang HAM Pasal 41 ayat (1), dan UU Perlindungan Anak Pasal 8).

Dalam Pasal 7 UU Perlindungan Anak, setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya. Menurut Penjelasan Pasal 7 UU Perlindungan Anak, “…hak anak untuk mengetahui siapa orangtuanya, dalam arti asal usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan rangtua kandungnya , …”

D. Kesimpulan

  1. Pertalian Persusuan adalah lembaga yang absah dan berguna bagi anak untuk pemenuhan hak-hak anak, bahkan terkait dengan hak utama anak (supreme right) yakni hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.
  2. Pertalian Persusuan penting dalam pemenuhan hak anak atas identitas yang dilekatkan pada hak atas hubungan kerabat (family relation).
  3. Pertalian Persusuan diakui dan dijamin dalam UU Perlindungan Anak (vide Pasal 7 dan penjelasan Pasal 7). Sehingga menjadi kewajiban Pemerintah melindungi dan memenuhinya dengan/dalam administrasi kependudukan.
  4. Pertalian Persusuan belum secara formal termasuk sebagai Peristiwa penting, Data Kependudukan, dan Dokumen Kependudukan sebagaimana ditentukan UU Administrasi Kependudukan. Namun, Pertalian Persusuan masuk dalam Kompilasi Hukum Islam, dan menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat.

E. Saran

  1. Perlu harmonisasi lembaga pertalian persusuan ke dalam hokum nasional termasuk dalam kaitan dengan hak atas identitas, Data kependudukan, Dokumen Kependudukan, dan merupakan Peristiwa Penting.
  2. Menggunakan Pasal 7 UU Perlindungan Anak sebagai landasan bagi pengembangan konsep perlindungan anak yang berkenaan implikasi hukum atas Pertalian Persusuan.
  3. Mengatasinya, mengintegrasikan Pertalian Persusuan dalam RUU tentang RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan –yang termasuk Prioritas Program Legislasi Nasional Tahun 2008.

Leave a Reply