Perumahan Rakyat Dan Properti: Rezim Hukum Terpisah?
Ada yang mengeritik justifikasi kiprah pelaku pembangunan swasta dalam pembangunan perumahan rakyat atau public housing, yang semenjak 2 tahun terakhir digeliatkan dengan Program Sejuta Rumah (PSR).
Namun faktanya, sejak PSR diluncurkan 29 April 2015 di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pelaku pembangunan swasta justru signifikan membangun perumahan umum untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Setakat menerima audiensi Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI), Menteri PUPR Minta REI tetap mendukung PSR. Data realisasi PSR semenjak 2015, REI membangun lebih banyak dari Perumnas maupun Pemda. Terbukti, peran pelaku pembangunan swasta masih menduduki puncak produksi rumah bersubsidi bagi MBR.
Akankah pelaku pembangunan perumahan pelat merah milik Pemerintah mampu mengusahakan sendiri seluruh target PSR? Akankah perumahan MBR hanya digiring identik dengan perumahan publik? Itu pertanyaan hukum yang dikandung esai ini.
Judul esai ini menjadi perihal penting karena hendak mencermati bagaimana hukum memosisikan perandan tanggungjawab Pemerintah dengan pengembang swasta dalam pembangunan perumahan rakyat.
Persoalan mendasar yang diajukan kepada pengeritik peran pengembang swasta dalam perumahan rakyat adalah apakah rezim hukum properti komersial yang tidak menerima subsidi Pemerintah hendak dipisahkan dengan rezim hukum perumahan (dan permukiman)? Bagaimana kebijakan hukum (legal policy) dan sistem hukum yang dianut Undang-undang yang berlaku?
Mari periksa bagaimana status hukum positif saat ini. Kua juridis formal, UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) mengenal perumahan umum dan dikenal pula perumahan komersial. Begitu dalam UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) dikenal rumah susun umum dan rumah susun komersial.
Jika ditelaah dari asas yang termaktub dalam Pasal 2 UU PKP maupun Pasal 2 UU Rusun, keduanya menganut asas kebersamaan dan asas kemitraan, yang tidak lain dimaksudkan menjemput partisipasi pengembang swasta. Ada pula norma yang mengatur hunian berimbang, baik dalam UU PKP maupun UU Rusun yang pengaturannya untuk mengatasi backlog perumahan. Artinya? Ikhwal hukum properti komersial dan hukum perumahan rakyat berada dalam rezim hukum yang sama, dan dipertautkan oleh kepentingan publik (public interest) memenuhi kebutuhan rumah MBR.
Namun perlu dicatat, tanggungjawab konstitusional atas tempat tinggal atau perumahan bagi MBR berada pada Pemerintah sebagaimana eksplisit dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP, pun demikian Pasal 15 ayat (1) UU Rusun. Artinya, sumber asli kewajiban menyediakan perumahan bagi MBR itu berasal dari kewajiban Pemerintah. Namun dengan asas kebersamaan dan asas kemitraan serta asas gotong royong (seperti halnya doktrin dalam elan kelahiran UU Tabungan Perumahan Rakyat/UUTapera) pelaku pembangunan secara de jure dan de facto berperan konkrit sebagai pelaku PSR.
Setakat ini pada faktanya tidak mungkin PSR minus peran pengembang swasta. Kua tioritis, hukum adalah penormaan kenyataan dan interaksi sosial serta realitas kegiatan ekonomi. Apalagi dengan jurus creating share value (CSV) ala sejawat saya pak Ali Kusno Fusin yang pernah dibesut pada forum membahas pembiayaan perumahan bagi MBR non formal yang digiatkan Housing and Urban Development (HUD) Institute.
Pembaca yang bersemangat. Jika merujuk PP No. 64 Tahun 2016 tentang tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpengasilan Rendah, PSR mengambil fokus perumahan umum yang bersifat rumah formal, malah mengakui pelaku pembangunan utama adalah pengembang swasta. Walaupun demikian perlu juga kritik agar Pemerintah memberikan perhatian yang tidak kurang kepada perumahan swadaya.
Kalau rezim hukum properti komersial hendak digiring berdiri sendiri, kua normatif, itu pikiran yang hendak memisahkan kepentingan publik menyediakan perumahan rakyat bagi MBR hanya tanggungjawab pemerintah, sedangkan urusan properti komersial digiring melulu menjadi kiprah dan urusan swasta.
Artinya, pengembang swasta tidak diberi peran dalam partisipasi pembangunan rumah bagi MBR. Bukankah hukum yang efektif jika normanya aktual, mendekati realitas dan sesuai interaksi sosial dan kegiatan ekonomi, dalam hal ini pembangunan perumahan.
Akankah mampu, realistis dan normatif jika Pemerintah menjadi pelaku pembangunan satu-satunya? Dan, hanya menyediakan perumahan publik yang bermakna dimiliki Pemerintah? Bukankah tema kerjasama swasta dan publik (privat and public partnership), begitu pula corporate social responsibility (CSR) dan creating share value (CSV) juga menjadi ciri pembangunan sosial? Bukankah tema-tema besar seperti lingkungan hidupa, pemanasan global (global warming), Millenium Development Goals (MDGs) dan dilanjutkan dengan Suistainable Development Goals (SDGs), adalah contoh betapa niscaya kolaborasi aktor pemerintah dengan institusi non pemerintah.
Lagi pula, menceraikan hukum properti komersial dengan hukum perumahan rakyat itu bukan garis politik hukum yang berlaku saat ini, yang tentunya sudah tuntas diperdebatkan mendalam dan keras saat pembentukan UU PKP maupun UU Rusun, termasuk PP No. 64 Tahun 2016, dan sebagainya.
Jika membandingkan dengan English Common Law, hukum properti (property law) dibedakan antara real property dengan personal property. Lingkup real property mencakup tanah dan apa yang berdiri di atas tanah, tumbuh atau berkaitan dengan tanah, seperti bangunan, apartemen, rusun, perumahan, dan real property lainnya. Hemat saya, semisal jalan fasilitas tol, pelabuhan, bandar udara, super market, mall, hotel, resort, fasilitas wisata, rumah sakit , termasuk real property. Selagi real property itu berada dan bertumbuh atau bertautan dengan/pada tanah dan bertemali urusan publik, maka tidak bisa melepaskan pertautan real property dengan kepentingan publik.
Asas-asas dalam UU PKP dan UU Rusun, keterkaitan real property dengan tanah, ruang dan perairan bahkan lingkungan hidup, adalah alasan sahih untuk menjawab pertanyaan dasar betapa adanya pertautan hukum properti komersial dengan hukum perumahan rakyat? Kua normatif dan realitas kebendaannya, real property tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kepentingan publik. Tersebab itu, anasir kepentingan publik mesti diintegrasikan dalam pengaturan real property.
Tentu saja, ikhwal hukum perumahan rakyat yang kental dengan kepentingan publik dalam rangka melaksanakan kewajiban konstitusional negara dan kewajiban hukum Pemerintah, terbangun postulat bahwasanya sahih, relevan, dan diperlukan peran pengembang swasta.
Kua normatif, tak relevan masih hendak membuat hukum atau menggagas Undang-undang yang memisahkan urusan perumahan rakyat dalam lingkup pengaturan real property. Tak relevan memisahkan PSR dari peran pengembang swasta. Tuntasnya, tak ada justifikasi hukum properti hendak lepas dari hal ikhwal kepentingan publik.
Penulis [Muhammad Joni, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK), Managing Partner Law Office Joni & Tanamas] sumber