Politik Hukum UU Koperasi: Menguatkan Lembaga dan Modal
Masih ingat heboh kasus investasi bodong Koperasi Langit Biru? Investor yang tak teliti terkena resiko dan kerugian materil. Sesederhana apapun, usaha simpan pinjam tetap saja lakonnya seperti lembaga keuangan: sensitif dan mesti menjamin likuiditas dana nan segera. Kini, dengan berlakunya UU Nomor 17/2012 tentang Koperasi, Koperasi serba usaha atau koperasi yang berusaha di sektor riil, tidak dibolehkan lagi membuka “window” usaha simpan pinjam (USP). Kegiatan simpan pinjam hanya oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Dulu, koperasi dapat saja membuka USP.
Ihwal KSP itu, salah satu saja yang direformasi dalam UU No.17/2012. Mengacu asas kekeluargaan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, Koperasi dikembangkan agar tumbuh sehat, kuat, tangguh dan mandiri agar mampu menghadapi tantangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis.
Dengan landasan filosofis dan arah politik hukum tersebut, maka dilakukan pembaruan hukum dengan UU Nomor 17/2012. UU Koperaai baru itu merupakan keniscayaan menghadapi perubahan menuju Koperasi berkualitas, baik secara kelembagaan maupun usaha. Berdasarkan Penjelasan Umum UU Nomor 17/2012, pembaruan hukum perkoperasian mencakup:
Pertama: Pembaruan mengenai Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang sehat, kuat, mandiri dan tangguh serta terpercaya sebagai entitas bisnis.Kedua: Pembaruan mengenai status dan pengesahan perubahan Anggaran Dasar dan mengenai hal tertentu merupakan wewenang dan tanggungjawab Menteri. Ketiga: Pembaruan mengenai keanggotaan Koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka, satu orang satu suara, pengawasan Koperasi oleh anggota, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi. Keempat: Pembaruan mengenai Pengawas dan Pengurus merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kelima: Pembaruan mengenai pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dengan pembentukan Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam yang langsung bertanggungjawab kepada Menteri. Keenam: Pembaruan mengenai Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin Simpanan anggotanya, dalam hal ini Pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi Simpan Pinjam. Ketujuh: Pembaruan mengenai kewajiban anggota Koperasi berkontribusi modal dengan membeli Sertifikat Modal Koperasi, namun tidak memiliki hak suara. Kedelapan: Pembaruan mengenai pembubaran Koperasi dapat dilakuan berdasarkan keputusan Rapat Anggota Koperasi, jangka waktu berakhir, atau keputusan Menteri.
Landasan filosofis UU Nomor 17/2012 menggantikan UU Nomor 25/1992 adalah untuk “pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dalam suatu kebijakan Perkoperasian”, dengan mengambil dan menerapkan “nilai dan prinsip Koperasi sebagai wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi Anggota”, yang dimaksudkan agar Koperasi “tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri, dan tangguh dalam menghadapiperkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan”. Landasan filosofis ini tertera dalam konsideran “Menimbang” huruf b UU Nomor 17/2012. Maksud kehadiran dan pengesahan UU Nomor 17/2012 tidak lain untuk menciptakan adanya Koperasi berkualitas secara kelembagaan maupun usaha, yang dipandu oleh landasan filosofis dan arah pembaruan hukum dalam UU Nomor 17/2012 yakni:
(a) Menghendaki Koperasi yang “tumbuh menjadi kuat, sehat, mandiri, dan tangguh …”;
(b) Yang disiapkan dan dibangun serta dibina oleh Pemerintah agar mampu berkompetisi dengan wadah usaha lain “dalam menghadapi perkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan”.
Berdasarkan Penjelasan Umum UU Nomor 17/2012, yang hendak dicapai adalah “mengembangkan dan memberdayakan diri agar tumbuh menjadi kuat dan mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan Anggota …”. Walaupun pertumbuhan Koperasi dinilai membanggakan dalam satu dekade, namun dari sisi kualitas “Koperasi belum berperan signifikan kontribusinya terhadap perekonomian nasional”. Karena itu, dengan UU Nomor 17/2012 diarahkan “penguatan kelembagaan dan usaha agar Koperasi menjadi sehat, kuat, mandiri, tangguh dan berkembang…”.
Justifikasi sosiologis perlunya penguatan kelembagaan dan usaha agar Koperasi menjadi sehat, kuat, mandiri, tangguh dan berkembang, mengingat secara faktual Koperasi yang tidak/belum berkualitas masih dalam jumlah tidak sedikit. Menurut data, koperasi klasifikasi A sekitar 10-20%, B sekitar 60%, dan C dan BDK sekitar 20-30%. Kalau hanya klasifikasi A yang dimasukkan dalam katagori koperasi berkualitas, maka jumlahnya jauh dari yang dikehendaki [Sularso, “Membangun Koperasi Berkualitas – Pendekatan Substansial”, Infokop No.28 Tahun XXII, 2006].
Oleh karena itu, norma-norma hukum dalam UU Nomor 17/2012 dimaksudkan untuk memperkuat kelembagaan dan usaha Koperasi, misalnya dengan mempertegas kedudukan Koperasi sebagai badan hukum (legal entity), menegaskan modal koperasi termasuk menormakan Sertifikat Modal Koperasi bersama-sama dengan Setoran Pokok [vide Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 17/2012], serta sumber-sumber lain modal Koperasi yakni (a) Hibah; (b) Modal Penyertaan; (c) modal pinjaman yang berasal dari: 1. Anggota; 2. Koperasi lainnya/atau Anggotanya; 3. Bank dan lembaga keuangan lainnya; 4. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau 5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (d) sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 17/2012]. Permodalan merupakan permasalahan yang signifikan dalam kemajuan perkoperasian di Indonesia yang harus diatasi dengan UU Nomor 17/2012.
Menciptakan Koperasi yang berkualitas baik kelembagaan atau usaha, tetap mendudukkan Koperasi sebagai “usaha bersama” berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana diarahkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Asas kekeluargaan dari Koperasi yang berasal dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 sama sekali tidak tergerus dalam UU Nomor 17/2012, malah dipertahankan secara konsisten, yang tertera dalam Penjelasan Umum UU Nomor 17/2012 berikut ini: “keanggotan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka, satu orang satu suara, pengawasan Koperasi oleh Anggota, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi”.
Dalam batang tubuhnya UU Nomor 17/2012 mengacu Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dan prinsip Koperasi sebagai “usaha bersama”, tetap mempertahankan norma bahwa “Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi” [vide Pasal 32 UU Nomor 17/2012], dan satu Anggota mempunyai satu hak suara [vide Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 17/2012]. Norma-norma UU Nomor 17/2012 adalah norma baru (new norms) yang dimaksudkan sebagai instrumen memperkuat kelembagaan Koperasi dan usaha Koperasi yang berkualitas. Dalam konsideran UU Nomor 17/2012 diarahkan agar tumbuh Koperasi yang sehat, kuat, mandiri, tangguh dan berkembang. Bukan Koperasi yang setelah dibentuk, tidak bergerak dan akhirnya “mati suri” atau hanya pasif mengharapkan bantuan Pemerintah.