Priyo Minta Presiden Tinjau Kembali Grasi

Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso berjanji akan meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk meninjau kembali grasi yang diberikan terhadap bandar narkoba baru-baru ini.

Dirinya merasa terkejut dengan langkah Mahkamah Agung (MA) yang berturut-turut mengabulkan putusan Peninjauan Kembali (PK) terhadap kejahatan narkoba.

“Saya berterima kasih pada kaukus, yang bertemu untuk berdialog di DPR RI. Kami memastikan aspirasi dan kehendak yang dicantumkan akan kami proses di DPR,” tandas Priyo yang didampingi Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba antara lain Asrorun Niam Sholeh (KPAI), Andi Najmi Fuadi (LPBH PBNU), Amirsyah Tambunan (MUI), Ridwan Taiyeb (eLSAS), Ikhsan Abdullah (Advokat), Maria Advianti (KPAI), Muhammad Joni (PAAI), dan lain-lain, di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (19/10). Menyinggung permintaan DPR untuk menggunakan hak konstitusi kepada Presiden soal alasan pemberian grasi seperti yang didesak kaukus, Priyo mengatakan, hak konstitusional melekat kepada semua anggota dewan.

“Sudah tentu, saya hanya bisa mengatakan, hak konstitusi melekat kepada semua anggota dewan. Kalau pun anggota dewan merasa cukup meminta penjelasan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan wakilnya, mungkin cukup. Namun, kalau tidak cukup, anggota dewan bisa menggunakan hak konstitusinya, yaitu hak bertanya atau interpelasi,” tambah Priyo.

Priyo mengatakan, masalah kejahatan narkoba merupakan darurat negara, yang harus dipangkas sampai ke akar-akarnya.

Karena itu, sulit diterima kalau republik yang nasional dan religius ini ikut kena dampak bahaya narkoba seperti di Amerika Latin.

Namun, kata Priyo, negara-negara lain termasuk di Amerika Latin tersebut sudah berupaya memberantas narkoba.

Oleh sebab itu, pemerintah diminta untuk tidak melakukan langkah yang tak bisa dipahami, langkah agak mengalah kepada keinginan untuk mempertegas pembasmian dan pemberantasan narkoba di Indonesia.

Sementara itu, Asrorun Niam dan Andi Najmi mendukung bandar narkoba itu dihukum mati. Mengapa? Karena sistem hukum pidana Indonesia masih berlaku sebagai hukum positif dan bisa diterapkan, termasuk yang sudah dilakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) di mana hukuman mati itu masih eksis, berlaku dan konstitusional.

Dengan demikian putusan hakim PK (peninjauan kembali) yang menjatuhkan hukum 15 tahun itu justru melanggar konstitusi dan tidak bertentangan dengan putusan MK, yang berarti pula melanggar UUD 1945.

“Selain itu, ada 10 UU yang diratifikasi terkait hak-hak sipil dan politik pada 28 Oktober 2005, yang membolehkan hukuman mati,” katanya.

Atas dasar tersebut, kaukus kepada presiden untuk melanjutkan gerakan memerangi kejahatan narkoba terorganisir, memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang dasar pertimbangan pemberian grasi, mengambil kebijakan dengan membuat moratorium grasi narkoba, dan meminta dukungan nyata presiden untuk mengoptimalkan gerakan masyarakat memerangi kejahatan serius, luar biasa, dan terorganisir narkoba dengan mendukung gerakan masyarakat anti narkoba. sumber

Leave a Reply