Real Estate Transaction Engineering
Anda memesan secangkir kopi mandhaeling di sebuah kafe? Bersiaplah sajian seulas senyuman menimpali pertanyaan ringkas kasir: “bayar pakai kartu, atau cash?”. Di era digital kini, kedai kopi disukai tak hanya sebab piawai meracik buliran kopi dan menyamankan helat ‘hang out’ sang tamu/konsumen, pun ikhtiar inovasi cara pembayaran. Menyamankan pelanggan sesuai setiran pasar: market driven!
Bagaimana memesan properti semudah membeli kopi? Mereguk setangkup kopi bisa ditraktir teman, dan menikmatinya bebas hambatan. Properti? Acapkali calon konsumen tak jadi melakukan transaksi rumah atau properti karena tak kompatibel dengan syarat dan instrumen pembayaran.
Usah heran jika calon pembeli yang berminat beli dan mampu bayar, tetapi divonis sepihak non-bankable. Sebab tidak memiliki slip gaji dan digolongkan non-fixed income. Ironis, jamak calon konsumen yang berminat beli dan mampu bayar tetapi gagal transaksi karena mismach cara pembayaran. Akibatnya, transaksi tidak terjadi. Tidak ada pemasukan pajak properti. Siapa rugi?
Bukan pebisnis brilian kalau tak meretas kebekuan. Pilih mana, inovasi atau gagal transaksi. Inovasi transaksi dengan mengenali etnografi konsumen, termasuk dalam cara bertransaksi. Di forum smart property consulting, penulis mengenalkan jargon: “tak kenal maka tak deal!”.
Lebih lagi karakter pebisnis properti. Yang tak hanya membangun produk properti seperti kontraktor, namun merancang bisnis mulai dari konsep dan celah peluang, penyediaan lahan, menggolkan pembiayaan (project finance), ground breaking tanda mulai membangun, menunjuk agen penjualan dan menggenjot pemasaran (marketing), pengikatan jual beli, akta jual beli, sigap dalam transaksi, pelayanan konsumen dan pengelolaan. Menguasai “A to Z” alur/siklus bisnis real estate. Untuk tangguh dan maju talenta pebisnis properti diuji seperti perkakas pisau Swiss Army yang multi guna dalam berbagai situasi.
Apalagi bisnis properti dengan pembiayaan lembaga keuangan, aksi transaksi dengan konsumen adalah strategi inti memastikan kelancaran cash flow. Sebab itu, musti dipastikan, jenis, cara, syarat pembayaran atau transaksi yang memudahkan konsumen membayar.
Menyiapkan cara menerobos dan “seni” menyiasati syarat pembayaran, namun sah-legal dan disepakati dengan bahagia. Itu keahlian merancang perjanjian hukum yang jeli dan berbahan baku asas konsensualisme. Sebut saja real estate transaction engineering. Dengan sederhana, Wikipedia mendefenisikan real estate transaction is the process whereby rights in a unit of property is transfered between two or more parties. Hal ikhwal merancang konsensus transaksi yang lancar dan mungkin (smoothly as possible) dalam era sharing economic, tepatnya property business sharing, menjadi jurus dan kajian hukum yang menarik.
Misalkan saja, Uang Muka (down payment/DP) bisa dicicil, bahkan DP nol rupiah, cash keras, cash bertahap, pemasaran sebelum pembangunan (pre-project selling), pemasaran/penjualan melalui agen penjualan. Bahkan booking fee, nomor urut pemesanan (NUP), adalah ragam jenis dan cara menggaet calon konsumen melakukan transaksi properti. Yang dengan sengaja dirancang secara jeli, kreatif, legal dan menyamankan konsumen.
Tema ini termasuk area yang dikenali dengan real estate transaction engineering (sebut saja dengan akronim “RETE”). Itu jurus cermat dan kreatif menggaet konsumen. Kiat menaikkan angka penjualan. Yang pada gilirannya menaikkan pendapatan pajak sektor bisnis properti.
Ditengah tren melesunya penjualan, maka jurus RETE menyiapkan model pembayaran dan merekayasa ragam jenis transaksi realestate adalah jurus yang jitu dan kreatif. Cermatilah langkah satu group real estate besar ini, seperti diwartakan koran onlie bisnis.com (22/10).
“Dengan pilihan hardcash yang dapat dicicil 24x; KPR Express DP 15% dicicil 12x; KPR 6 Bulan DP 20% dicicil 18x; KPR 6 Bulan DP 30% dicicil 20x; hingga KPR 12 Bulan dapat dicicil hingga 24x dengan DP 30%”, tulis bisnis.com dalam artikel bertitel ‘Akhir Tahun Sinar Mas Land Genjot Penjualan’.
Tentu, pebinis properti butuh ragam model pembayaran hasil RETE yang dirancang dengan analisis aspek hukum yang sahih dan analisis aspek komersial yang akurat. Untuk memudahkan dan menyamankan konsumen dalam transaksi, musti keluar dari kungkungan model pembayaran yang konvensional-kaku dan yang formal-limitatif menjadi jurus transaksi yang smoothly as possible.
Rujukan RETE
Bagaimana hukum Indonesia bertemali dengan RETE? Kua-normatif, UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun telah memiliki landasan normatif yang mengatur sebagian ikhwal pemasaran dan transaksi, yang kua-teknis yuridis hal itu landasan menyusun RETE.
Lihatlah pasal 42 ayat (1) UU No. 20/2011, pemasaran dapat dilakukan sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan, alias masih dalam konsep atau “pre-project selling” dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Syaratnya? Asalkan keterbangunan paling sedikit 20% (Pasal 43 ayat (2) huruf d UU No. 20/2011).
Perlu dicatat, norma UU No. 1/2011 dan UU 20/2011 eksplisit membedakan objek transaksi yang diikat melalui PPJB dengan yang diikat melalui AJB berdasarkan perwujudan benda yang akan dijual. Dalam PPJB, bendanya belum selesai terbentuk sebagai sarusun/unit apartemen, namun sudah diterakan kepastian (rancangan) bendanya. Lengkap dengan uraian data fisik, seperti ukuran dan luasnya, letaknya lantai mana dan unit mana, tipe, bahkan view unit dan tingkap menghadap kemana. Namun, masih sebagai pemasaran dan dalam proses menuju jual beli karena belum ada wujud bendanya. Itu rasio-legis mengapa belum ada perbuatan hukum jual beli yang bersifat terang dan tunai.
Sebab itu, penulis lebih menyukai istilah “pre-project marketing” karena transaksi masih dalam fase pemasaran. Belum perbuatan hukum jual beli. Namun, ketentuan itu adalah landasan melakukan RETE sebagai cara jitu menarik pembayaran konsumen, dengan persyaratan yang melindungi konsumen.
UU No.20/2011 mengenal norma (1) pemasaran sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan [vide Pasal 42 ayat (1)]; (2) proses jual beli sebelum pembangunan rumah susun selesai yang dilakukan dengan PPJB [vide Pasal 43 ayat (1)]; dan (3) proses jual beli sesudah pembangunan rumah susun selesai dengan Akta Jual Beli (AJB) [vide Pasal 42 ayat (1)].
Adanya PPJB dan AJB, pun demikian perjanjian pendahuluan jual beli adalah dasar transaksi pembayaran sebelum adanya dan/atau selesai terbangun produk properti yang dipasarkan, yang menjadi alasan dan justifikasi RETE.
Selain properti komersial, perlu pendekatan RETE mencari solusi transaksi perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) non-fixed income yang kua-ekonomis mampu bayar. Pun demikian, MBR non-fixed income yang pendapatannya diatas upah minimum, namun tidak kompatibel dengan cara pembayaran.
Perlu solusi berbasis market driven dengan kiat RETE. Bagi pembiayaan perumahan MBR, perlu dirancang cara pembayaran yang berorientasi “MBR driven”. Tirulah ‘PKNS’, developer milik kerajaan Selangor, Malaysia mengganti slip gaji (‘Salinan Penyata Gaji’) dengan surat akuan bersumpah dari Pesuruhjaya Sumpah. Sungguh, cara pembayaran yang menghambat akses MBR kepada rumah bersubsidi, sungguh tak bijak dan kurang adil.
Majelis pembaca. Mari menghayalkan ragam jenis transaksi properti yang ringkas. Semudah anda memesan dan membayar secangkir black coffee americano di kedai kopi kawasan Cikini?
Sepertinya soal itu tak lagi ilusi sempurna ketika brosur dan bujukan agen penjualan apartemen suatu kota baru sudah mudah ditemukan di lobi hotel, pusat perbelanjaan maupun rest area jalan tol di tepi kota.
Postulat esai ini, selain inklusi keuangan idemditto perlu inklusi pembayaran. Jurus smart membayar dengan aman, sah, mudah, dan sepakat-bahagia! Walaupun literasi properti tetap diperlukan sebelum mengambil keputusan memesan.
#MUHAMMAD JONI, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas; Founder Smart Property Consulting (SPC); Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute.