Reklame Rokok Harus Dilarang

“Kami memang ingin agar iklan rokok dihapuskan secara komprehensif,” ujar Koordinator Tim Litigasi Komnas Anak, Muhammad Joni.

Selain berdampak buruk, pemasukan dari reklame rokok ke pemerintah daerah ternyata sangat kecil. Tim peneliti dari Tobacco Control Support Center (TCSC) mendapatkan fakta bahwa pendapatan daerah dari industri rokok ternyata sangat kecil. Jumlahnya tidak sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan rokok kepada masyarakat. Karena itu, TCSC meminta pemerintah daerah melarang reklame rokok di ruang publik.

Demikian disampaikan Alex Papilaya, Ketua Tim Peneliti TCSC, saat mempresentasikan hasil penelitian TCSC di Jakarta, Rabu (15/6). Alex menjelaskan, timnya melakukan penelitian di tiga kota yaitu Semarang, Surabaya, dan Pontianak. Ketiga kota ini dipilih karena memiliki struktur pendapatan daerah yang sama.

Alex katakan, ada tiga bentuk reklame yang dinilai tim peneliti yaitu reklame bando, reklame megatron, papan billboard, reklame berjalan, baliho, reklame kain, selebaran, stiker, reklame film, reklame udara, reklame suara, peragaan, dan sign net.

Hasilnya, kata Alex, pendapatan ketiga kota ini dari pajak reklame rokok hanya 0,12 persen–1,01 persen dari total pendapatan daerah. “Jumlahnya bahkan terus menurun dari tahun ke tahun sejak tahun 2008,” ujarnya.

Di Kota Semarang, pendapatan dari reklame rokok pada tahun 2008 hanya sebesar 0,8 persen dari pendapatan asli daerah dan menurun jadi 0,6 persen tahun berikutnya.

Di Kota Pontianak dan Surabaya, meski naik, Alex menegaskan jumlahnya tidak signifikan. Di Kota Surabaya, jumlahnya hanya 0,94 persen dari PAD tahun 2008. Tahun berikutnya, jumlah ini naik meski tidak signifikan, 2,88 persen dan 3,11 persen di tahun 2010.

Di Pontianak, jumlahnya 1,64 persen di tahun 2008, 2,46 persen di tahun 2009, dan menurun lagi menjadi 1,76 persen di tahun 2010. “Karena jumlahnya kecil, kami merekomendasikan kepada pemerintah kota Semarang, Surabaya, dan Pontianak untuk menerapkan larangan bagi reklame rokok. Dampak buruk rokok tidak perlulah dijelaskan lagi,” katanya.

Menurut Alex, perusahaan rokok sangat gencar beriklan melalui reklame dan mensponsori kegiatan anak muda, seperti konser musik dan kompetisi olahraga. “Akibatnya, anak-anak muda Indonesia sangat dipengaruhi iklan yang mengasosiasikan tembakau dengan gaya hidup,” jelasnya.

Alex meyakinkan, hilangnya pendapatan dari reklame rokok ini bisa ditutup dengan pendapatan dari sektor lain. Timnya melihat, potensi reklame dari bidang perbankan, industri makanan, otomotif, hingga telepon seluler sangat besar.

“Tren pendapatan pajak reklame dari produk non rokok seperti ini sangat menjanjikan, karena mengalami kenaikan dari tahun ke tahun di ketiga kota itu, meski cukup fluktuatif,” katanya. Karena itu, tim peneliti menyarankan pemerintah kota tidak memperpanjang izin reklame produk rokok dan mengganti dengan reklame produk non rokok. “Perlu komitmen kepala daerah untuk cari sumber pendanaan lain selain dari reklame rokok,” katanya.

Persoalan iklan tayangan rokok ini pernah dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi tahun 2009, meski dalam konteks pelarangan iklan televisi. Komisi Nasional Perlindungan Anak bersama dua orang bocah bernama Alfi dan Sekar melakukan pengujian UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Mereka menguji frase dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran yang secara lengkap berbunyi “Siaran iklan niaga dilarang: melakukan promosi yang memperagakan wujud rokok”. Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan frase yang berbunyi “yang memperagakan iklan rokok” tidak mengikat.

Bila permohonan ini dikabulkan, maka bunyi Pasal 46 ayat (3) huruf c menjadi ‘Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok’. “Kami memang ingin agar iklan rokok dihapuskan secara komprehensif,” ujar Koordinator Tim Litigasi Komnas Anak, Muhammad Joni.

Sementara, pihak pemerintah tidak sepakat dengan permintaan Komnas Anak. Dalam persidangan saat itu, Dirjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo Freddy H Tulung menegaskan pemerintah sulit melarang iklan rokok secara total.

“Pemerintah menilai sampai saat ini peraturan perundang-undangan masih mengakui industri rokok sebagai bisnis yang legal. Harus diposisikan sama seperti industri lain. Industri rokok juga berhak beriklan di televisi. Kami hanya bisa membatasi, bukan melarang,” katanya. Ternyata, permintaan Komnas Anak tidak diluluskan MK. Sembilan majelis hakim konstitusi menolak permohonan pengujian tersebut. “Menyatakan permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Mahfud MD, di ruang sidang MK, pertengahan September 2009.

Menurut Mahkamah, rokok masih dipandang sebagai komoditi yang legal. “Sehingga promosi rokok juga harus tetap dipandang sebagai tindakan yang legal,” demikian salah satu bunyi konklusi putusan tersebut.

Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengatakan sektor industri rokok memiliki hak yang sama dengan industri-industri lain yang dinilai legal. Yakni, dalam hal mengenalkan dan memasarkan produknya.

“Industri rokok juga berhak menggunakan sarana komunikasi yang tersedia dan membangun jaringan dengan industri lain termasuk industri periklanan serta perfilman,” sebut Akil saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Meski demikian, Alex dan tim penelitinya tetap optimis rekomendasi mereka. Apalagi, tim peneliti telah mendapatkan komitmen lisan dari beberapa pejabat daerah tersebut. Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Mulit Juto Bhatarendro, menegaskan komitmen daerahnya.

“Saya akan sampaikan hasil lengkap penelitian ini kepada bapak walikota. Sejauh ini, beliau cukup kooperatif,” katanya menanggapi Alex, di tempat yang sama. sumber

Leave a Reply