Resolusi Properti 2021: Kepercayaan Konsumen, Itu Harta Karun Sesungguhnya
Siapa berani melawan raja? Kepercayaannya wajib dijaga. Dari diskusi yang dihelat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta pelaku pembangunan realestat agar: “Jaga Kepercayaan Masyarakat”, begitu titel Kompas (29/12/2020). Permintaan Wapres mengajak kebaikan (ma’ruf) itu berdimensi publik, karena diucapkan pejabat eksekutif paling tinggi kedua. Arti kata مَعْرُوف adalah berbuat kebaikan. Ajakan kebaikan musti terus dan berkali alias wanti-wanti.
Tersebab itu, jajaran kabinet dan produsen properti patut memaknai sebagai “disposisi”, yang disegerakan semenjak hari pertama publik membaca. Urusan konsumen berdimensi publik. Tidak hanya urusan hukum perdata. Melampaui doktrin privity of contract vide Pasal 1315 KUHPerdata. Kalaupun ada khilaf (dwaling), paksa (dwang), tipu (bedrog; fraud), Pasal 1321 KUHPerdata sudah mengaturnya. Asas janji musti sepenuh percaya.
Sebab itu konsumen adalah raja. Begitu kiasan yang masih menggema. Selain meminta menjaga sang “raja”, juga mengingatkan bahwa kepercayaan soal rentan. Rentan dari dwaling, dwang, bedrog/fraud. Rentan yang sangat dominan bukan tanpa alasan, fakta dan data. Faktu itu bersifat jujur dan tulus. Jika mengacu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), pengaduan konsumen perumahan dan properti terus mendominasi. Cermatilah rilis badan publik BPKN (25/6/2020), tercatat 2.260 pengaduan dari total 2.695 pengaduan. Pun demikian, BPKN jangan pula mencatatkan dan mengungkapkan saja. Amar ma’ruf ikhwal perlindungan konsumen properti jangan berhenti sebagai unjuk statistik belaka.
Kepercayaan masyarakat konsumen yang sahih perlu edukasi. Pencerahan yang diikhtiarkan jangan berhenti. Kepercayaan bukan datang tetiba begitu saja, seperti awan comulonimus pada cuaca sampai turun hujan. Namun direncanakan, diupayakan, dicirikan dan dibuktikan sebagai “hujan” menyegarkan. Ikhtiar mencipta kepercayaan konsumen properti berciri ganda: perlindungan konsumen dan literasi properti. Kapten pilot in command pesawat penerbangan sipil memutuskan pergi terbang atau tunda bahkan tidak, setelah membaca prakira cuaca. Maskapai dan otoritas bandara fasih pada literasi cuaca. Analog seperti uji pasar, tes ombak. Siapa berani melawan raja, eh maaf: tenaga cuaca.
Pidato Wapres itu jangan melulu dibaca normatif. Juga bukan kuliah filsafat hukum. Tetapi hal ikhwal yang aktual dan workable. Rujukan pengambil keputusan. Sebab itu berdimensi kebijakan publik dari pernyataan pejabat publik. Juga, orientasi dalam inovasi industri properti yang bergelut dalam pusaran pemulihan ekonomi nasional (PEN). Patut jika jajaran kabinet musti menyikapi sebagai tindakan pemerintahan (bestuur handelingen). Dengan menelurkan noma, membuat skema operasional dan aksi nyata menjaga kepercayaan konsumen. Begitulah Pemerintah yang hadir dan efektif. Dengan “gercep” (gerak cepat) dan “geber” (gerak bersama), termasuk BPKN, satuan tugas program sejuta rumah –tak cukup hanya unjuk data. Kita tunggu geber 2021.
Literasi properti kepada pembeli akhir (end user) maupun investor menjadi bagian yang tidak boleh disepelekan. Saya membacanya sebagai perintah: melindungi harta kekayaan dibawah kekuasaan setiap orang. Yang memiliki sumber legitimasi konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Membacanya sebagai konstitusionalis dengan bola mata yang tembus kitab, beyond content, melampaui teks namun konteks.
Tentu jajaran senator dari DPD RI mengamini itu. Tepat juga jika gercep meminta rapat dengar pendapat dengan menteri-menteri mitra kerja, pakar, NGO perumahan-properti, dan pegiat perlindungan konsumen, segera! Sebagai nutrisi, vaksin dan vitamin menjaga derjat kesehatan sektor perumahan-properti. Demi kepercayaan-cum-perlindungan konsumen.
Interupsi sebentar. Ajakan kebaikan Wapres itu sekaligus semacam resep kepada produsen/developer dan pelaku pemasaran. Agar bersiap dengan keterbukaan informasi produk properti. Konsekwensinya, produsen menyediakan informasi simetris ikhwal inci demi inci data produk kepada konsumen/pasar. Menyajikan data produk bukan resiko, malah peluang memenangkan hati konsumen. Tentu bukan hanya membajiri informasi, namun melakukan literasi properti. Edukasi yang mencerahkan. Perlu diwaspadai, konten iklan mengikat sebagai janji.
Perlindungan konsumen sejajar dengan mencerdaskan dan mendewasakan konsumen. Jasa baik dan tulus developer yang berdedikasi, berbuah loyalitas konsumen properti, pasti. Bahkan mereka tulus dan bangga menjadi penganjur juncto pengiklan produk realestat-properti anda dalam arus besar kompetisi sengit pasar properti. Iklan bertenaga kuat adalah bisik dan rekomendasi pembeli yang puas dan tumbuh percaya, bahkan loyal.
Tunggu sebentar. Itu masih kue perumahan/properti formal. Belum masuk perumahan swakarsa/swadaya –yang lebih jumbo lagi: sekitar 70% postur perumahan Indonesia. Belum lagi yang tersembunyi, yang disebut Hernando de Soto menyimpan misteri kapital –yang belum dikapitalisasi dan disistemkan, misalkan saja, ke dalam model bisnis perumahan berbasis komunitas berskala besar yang diintegrasikan PEN Berkeadilan Sosial. Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum HUD Institute menyebutnya “raksasa tidur”. Bersiaplah menjadi pewaris idaman harta karun sang “raja”. Kepercayaan konsumen adalah harta karun sesungguhnya! Lagi pula, porsi sektor perumahan-cum-properti kepada produk domestik bruto (PDB) masih bisa bangkit lagi dari 3%. Meraksasa ke dobel digit menyusul negara tetangga: Filipina (3,8%), Thailand (22,3%), Malaysia (38,4%), Singapura (44,8%).
Literasi Properti
Era kolonial sudah lampau. Pasar zaman milenial saat ini sudah jauh berbeda. Ibarat teori politik, konsumen milenial itu liberal-cum-demokrat yang cerdas, nekat dan keras kepala pada kebenaran. Perangainya cadas dan jeli menguliti produk yang hendak dibeli. Jika dilanda ragu, persekian detik minggat ke kedai-digital sebelah. Per sekian masa, pindah memesan unit apartemen proyek sebelah. Bahkan nekat membuat testimoni dan menjadikannya konten akun media sosial yang seketika menjadi viral. Mereka perlu disentuh literasi properti. Masih ingat kisah viralnya daftar menu maskapai garuda yang ditulis tangan? Walau ada kengerian produen pada tipikal pasar milenial, namun jamak developer dan bank membidiknya dengan KPR milenial.
Sayangnya, UU No. 1 Tahun 2011 tetang Perumahan dan Kawasan Permukinan (UU PKP) belum menyediakan aturan ikhwal perlindungan konsumen dan literasi properti. Pun untuk properti komersial maupun rumah umum untuk masyarakat berpenghasian rendah (MBR).
Tengoklah, UU PKP hanya membuka peluang peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan perumahan yang dinormakan dengan membentuk forum (vide pasal 131 ayat 3), namun tidak menyentuh perlindungan konsumen. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) idemditto. Tanpa aturan perlindungan konsumen namun hanya membuka pengaturan penyelesaian sengketa (pasal 105 dan pasal 106). Seakan perlindungan konsumen hanya bermula karena urusan sengketa. Soal ini belum tersentuh dalam UU Cipta Kerja, malah ada adendum-pengurangan persyaratan.
Andai program sejuta rumah hendak disempurnakan maka menjaga kepercayaan sejuta konsumen MBR patut dioptimalkan. Belum lagi konsumen non MBR juncto warga kelas menengah yang cerdas membelanjakan duit rupiah demi rupiah.
Tendens esai ini adalah perlindungan konsumen tandem dengan literasi properti. Demi inovasi bisnis properti dan pemulihan ekonomi nasional, bersiaplah menjaga kepercayaan raja. Jika tidak, konsumen milenial akan mengucapkan vayacondios kepada sang produsen nakal. Walau masih banyak yang berpredikat sangat baik menjaga manner kepada konsumen.
Mengapa perlu gercep dan geber? Karena upaya itu kanalisasi pengaduan konsumen –yang pasti getol mencari saluran memperjuangkan haknya ke meja birokrasi manapun. Tak hanya ke BPKN, NGO, bahkan tak jarang sampai ke meja Menteri PUPR dan pimpinan parlemen. Bahkan mohon keadilan kepada Presiden.
Namun jangan heran jika ada konsumen yang pergi ke Pengadilan Niaga. Mendaftarkan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) bahkan kepailitan. Makin dimudahkan karena pembuktiannya sederhana. Hanya dua utang jatuh tempo saja. Tanpa batasan nominal utang. Tanpa saringan insolvency test. Bukan upaya terakhir alias ultimum remidium. Kengerian lain, defenisi utang itu tidak hanya utang uang. Pun, gagal serah unit apartemen ataupun sertifikat hak tak kunjung selesai; dikualifikasi sebagai utang. Begitulah preseden hukumnya. Seakan setiap wanprestasi perjanjian adalah sama dengan utang (uang). Seakan Buku III KUH Perdata tentang Perjanjinan isinya hanya bab utang piutang uang saja. Menangani ini, ijtihat saya: perlu haluan baru hukum properti dan hukum PKPU dan kepailitan. Caranya? Perlu bahas intens. Tak cukup ruang mengulas di sini.
Tersebab itu, eureka…, isu perlindungan konsumen segera dirapihkan: gercep dan geber. Setarikan nafas dengan PEN Berkeadilan Sosial. Menjaga kepercayaan konsumen kepada produsen, seperti pasti hukum gravitasi. Tanpa upaya yang seimbang, siapa kuat menahan gaya tarik bumi dari kejatuhan?
Kiranya, menjaga kepercayaan konsumen bukan pernyataan yang pertama, namun wanti-wanti karena juga disampaikan Wapres saat Rakernas REI (3/12/2020). Ajakan kebaikan itu adalah “fikih” perumahan yang jangan diabaikan. Kausalitasnya pasti. Tidak berlebihan jika kusutnya relasi konsumen-produsen perlu di-“omnibus law”-kan. Kepercayaan konsumen menjadi resolusi 2021. Salam literasi properti. Tabik.
[Muhammad Joni, Advokat pada Joni & Tanamas Law Office, Sekretaris Umum The HUD Institute, Ketua Kornas Perumahan Rakyat, esai ini pendapat pribadi: mhjonilaw@gmail.com]