Riak Internal Organisasi, Bukan Konstitusionalitas Norma
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 7 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Sejak pertama kali membaca cepat naskah permohonan pengujian materil UU 29/2004 dan UU 20/2013, saya merasa sudah mendapatkan sekitar dua pertiga kunci argumentasi, melakukan deteksi dan dekonstruksi permohonan 31 dokter. Lazimnya, pembacaan cepat dilakukan dengan memeriksa subyek para pemohon, obyek permohonan, alasan-alasan yang dipergunakan atau posita, dan tentu saja permintaan atau petitum yang diajukan. Biasanya, dalam perkara gugatan perdata perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi, saya langsung ke halaman akhir gugatan untuk membaca dan mencerna lebih dahulu apa petitum atau amar putusan yang diminta diputuskan Majelis Hakim.
Pengalaman litigasi dan nonlitigasi saya mengajarkan, acap kali klien menghendaki pendapat permulaan yang akurat. Itu tantangan bagi lawyer dalam menghadapi kenyinyiran klien. Itu beralasan karena klien mengharapkan ketenangan personal dan kepastian langkah institusional usai bertemu lawyer. Menanti “ijtihat” jawaban dan jalan keluar atas persoalan hukumnya. Adakalanya tipe klien yang mendatangkan lawyer karena mendesak dan “have a quick question”. Menghadapi itu, kepada calon lawyer yang mengikuti pendidikan khusus profesi advokat PERADI, saya mengajarkan kiat menghadapi klien yang cemas dengan kalimat panduan berikut ini: “…memberi jalan, tenaga dan ketenangan hukum kepada klien adalah first lawyering, itu membutuh lawyer skills”.
“Hemat saya, ini bukan konsitusionalitas norma, namun pelaksanaan norma, malah hanya riak-riak dinamika organisasi”, begitu lebih kurang pendapat saya untuk meyakinkan dan menenteramkan peserta rapat, tatkala digelar rapat pertama dengan jajaran PB IDI, yang menurut kesan saya masih menyimpan pertanyaan mengapa 31 dokter anggota IDI melakukan judicial review UU 29/2004 (dan UU 20/2013) yang justru menjadi landasan hukum diberikan kewenangan kepada Organisasi Pofesi IDI sendiri. Telaah profesional saya, persoalan yang diajukan sebagai obyek perkara, lebih proporsional sebagai dinamika internal organisasi.
Pendapat sedemikian diungkap dan dielaborasi dari rapat ke rapat, diuji dari dari pembahasan demi pembahasan, kemudian dituangkan menjadi draf yang difinalisasi sebagai produk hukum bertitel “Keterangan Pihak Terkait Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia”. Pada bagian halaman 1 dinarasikan antara lain berikut ini: “…perkara pengujian norma diajukan Para Pemohon bukan permasalahan konstitusionalitas norma, namun terang benderang merupakan permasalahan pelaksanaan norma Undang-undang yang diuji, bahkan hanya riak permasalahan internal organisasi IDI”.
Narasi ini bermaksud untuk meyakinkan Hakim Konstitusi bahwa objek perkara yang diajukan para pemohon tidak memiliki constitutional question, sehingga tidak ada norma yang bertentangan dengan UUD 1945, masih dalam lingkup kebijakan hukum (legal policy) Pemerintah. Kemudian ditemukan pula fakta bahwa persoalan yang diajukan (yakni menguji agar perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai organisasi profesi) sudah diatur normatif dan eksplisit dalam AD dan ART IDI sehingga permohonan itu kua substantif sudah kehilangan obyek pengujian.
Tonggak argumentasi ini juga disampaikan langsung tatkala lawyer PB IDI membacakan pokok-pokok Keterangan Pihak Terkait. Senada dan tak bergeser dari jurus dekonstruksi itu. “…Kuasa Hukum IDI Muhammad Joni berpendapat perkara yang diajukan Pemohon bukan permasalahan konstitusionalitas norma. Permohoan tersebut sebatas permasalahan pelaksanaan norma undang-undang. ‘Ini hanya riak permasalahan penyelenggaraan internal IDI. Keterangan Pihak Terkait ini mendudukkan keberadaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi Medical Doctor Association sebagai pilar penyelenggaraan praktik kedokteran untuk menciptakan kepercayaan profesional (professional trust) dan perlindungan pasien sebagaimana dianut dalam tujuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004,’” demikian berita sidang pengujian materil UU 29/2004 dan UU 20/2013 yang bertitel “Pemerintah: UU Kedokteran Melindungi Praktik Dokter” yang diwartakan pada hari Rabu, 24 Mei 2017, jam 18:38 WIB di laman website www.mahkamahkonstitusi.go.id
Argumentasi “kehilangan objek” dipakai untuk mendekonstruksi permohonan judicial review aquo, sebab petitum yang meminta perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai Organisasi profesi sudah tidak perlu diuji lagi, karena sudah demikian normanya dalam UU 29/2004, bahwa dokter termasuk dokter dan dokter spesialis.
Mengapa kehilangan obyek? Tamsilnya, seperti meminta menyatakan warna darah adalah merah, begitulah permohonan meminta pengadilan memutuskan keadaan yang sudah demikian adanya. Seperti hendak memformalkan norma yang sudah sah dan normatif. Untuk apa meminta hakim membuat putusan yang menyatakan Jakarta (yang notoir feiten) adalah ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Meminta Hakim Konstitusi memutuskan perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai Organisasi Profesi, hemat saya sama saja dengan meminta IDI dimaknai Organisasi Profesi dokter. Tentu tidak perlu, malah berlebihan. Sebab IDI sudah legal-formal dinormakan dalam Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 sebagai Organisasi Profesi. Norma itu bersesuaian dengan Pasal 6 Jo. Pasal 9 ayat (1) AD IDI.
Ketentuan mengenai perhimpunan dokter spesialis dimaknai sebagai Organisasi Profesi, itu hal berlebihan dan tidak perlu. Sebab, kua-defenisi dalam UU 29/2004 sudah jelas dinormakan bahwa dokter adalah dokter dan dokter spesialis (vide Pasal 1 angka 2). Malah, kalau dalihnya kebebasan berkumpul, justru kebebasan berkumpul dan berserikat sudah given dan melekat yang diberikan sejak semula pada entitas dokter spesialis untuk membuat perhimpunan dokter spesialis.
Tak hanya perhimpunan dokter spesialis, namun selanjutnya diakui dan dikokohkan dengan menghimpun seluruh perhimpunan ke dalam Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK). Ringkasnya, AD IDI pun demikian praksis pelaksanaannya, sudah memberikan lebih dari yang diminta hanya pengakuan sebagai organisasi profesi.
Mengabulkan lebih dari permintaan, dalam hukum acara disebut ‘ultra petitum partitum’. Meminta apa yang diberikan itu, kiranya lebih sebagai riak dinamika internal organisasi yang hendak mengembankan diskursus menuju tesis, antitesis dan sintesis baru perihal pertumbuhan wajar perhimpunan dokter spesialis yang forum puncaknya sudah disediakan organisasi dalam Muktamar IDI.
Bukan hanya perhimpunan dokter spesialis (PDSp), juga diakui Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (PDPP), yang bergabung dalam kelompok keahlian bahkan Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm) yang bermajelis di dalam MPPK. Tebukti, unsur-unsur dalam MPPK itu bagian penting menjalankan peran dan fungsi IDI untuk pengembangan pelayanan medis (medical services) yang bermutu dan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, fungsi IDI inheren atau “satu tubuh” dengan keberadaan MPPK. Dalam aturan AD IDI, terbukti MPPK diakui dan berada “satu tubuh” dalam IDI sebagai komponen dari struktur kepemimpinan di tingkat pusat dan wilayah dengan wewenang dan tugas yang jelas yang dijamin independensinya (vide Pasal 14 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf c AD IDI).
Lantas, untuk apa meminta yang sudah existing diberikan? Tepat jika mendalilkannya sebagai kehilangan objek! Bagaimana pendapat Hakim Konstitusi dalam pertimbangan MK? Ya.., sebab sumber rujukan kaidah hukum dapat diambil hanya dalam pertimbangan hukum pada putusan MK saja. Tabik. (Bersambung #8).