Ribuan Rumah Terancam Gagal Kredit

Muhamad Joni SH, lawyer DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) memprioritaskan permohonan kliennya. Jika tidak, akan terjadi gagal kredit untuk ribuan rumah.

Permohonan tersebut berkaitan judicial review undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), khususnya pasal 22 ayat 3. Kepada MedanBisnis, Selasa (31/1), Joni mengatakan permohonan prioritas penanganan ke MK itu sangat diperlukan. Hal itu mengingat awal proses pemeriksaan berkas hingga pemanggilan keputusan di MK setidaknya membutuhkan waktu tiga bulan.

Pihaknya berharap MK bisa menyelesaikan upaya judicial review dalam waktu yang lebih singkat, namun dengan tetap menghasilkan keputusan yang berpihak kepada hak azasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam upaya memiliki rumah sederhana.

“Maksud saya begini, setiap warga Indonesia, termasuk kelompok miskin, kan berhak memiliki tempat tinggal, walau sederhana sekalipun, Pasal 22 ayat 3 undang-undang PKP itukan membatasi kepemilikan rumah sederhana dengan luas 36 meter persegi, bukan 21 atau 27 meter persegi,” ujarnya.

Gagal Akad Kredit

Lalu, sambung Jhoni, jika proses judicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 2011 itu butuh waktu tiga bulan, maka akan banyak akad kredit rumah tipe di bawah ukuran 36 meter persegi antara calon konsumen, developer, dan pihak bank, yang tidak terealisasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari kliennya tersebut, Jhoni menyebutkan selama bulan Januari ini saja ada ribuan rencana akad kredit rumah tipe 21 dan 27 yang tidak terealisir.

Ketua Umum DPP Apersi, Eddy Ganefo, yang dihubungi secara terpisah menyatakan hal senada. Kata dia, untuk propinsi Jawa Barat saja ada 4.593 unit rumah sederhana di bawah tipe 36 yang gagal akad kredit karena kewajiban dalam UU tersebut. “Di Jatim yang gagal akad itu ada 3.527 unit, propinsi Banten lebih 4.000 unit, begitu juga dengan kota-kota lain seperti Medan, Palembang, Balikpapan, dan lainnya,” ujarnya.

Khusus kota Jakarta, Eddy Ganefo mengatakan tidak ada informasi mengenai pembangunan rumah di bawah tipe 36, baik landed house maupun vertikal. Hal ini disebabkan karena harga tanah di ibukota negara tersebut sudah sangat mahal dan tidak terjangkau untuk pembangunan rumah sangat sederhana.

Untuk keseluruhan data lengkap mengenai akad kredit yang gagal, Eddy Ganefo mengaku belum mendapatkannya secara lengkap untuk seluruh kota besar di Indonesia. Namun ia memastikan, selain masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak bisa atau tertunda niatnya untuk memiliki rumah sederhana, pihak developer pun juga mengalami kerugian dari sisi finansial.

“Harga rumah tipe 21 dan 27 di Jabar, Banten, Jatim, dan kota besar di pulau Jawa saja ditaksir sekitar Rp70 juta sampai Rp80 juta per unit. Ya, bisa kita bayangkan berapa jumlah kerugian finansial yang diderita developer yang membangun rumah di bawah ukuran 36 persegi ini yang disebabkan undang-undang PKP itu,” tegas Eddy Ganefo.

Leave a Reply