Rights to Food dan Impor Beras

Seperti diwartakan, DPR menolak kebijakan impor beras yang dikeluarkan Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu. DPR menemukan kejanggalan keluarnya izin impor 70.050 ton beras eks-Vietnam (Republika, 22-11-2005). Kesimpulan rapat Pemerintah dan Komisi VI DPR menolak izin impor beras karena belum adanya rekomendasi volume beras yang dibutuhkan menjaga stok beras nasional. Impor beras terganjal carut marut data stok beras nasional.

Sebelumnya, Menteri Pertanian, Anton Apriantono, menegaskan Indonesia tidak mempunyai masalah dengan cadangan beras untuk keburuhan nasional. ”Stok cukup,” tegas Menteri Pertanian (Republika, 21-11-2005).Yang ironis, bukan cuma sekadar data beras simpang siur, tetapi bisa mengancam ketahanan nasional atas hak pemenuhanan bahan pangan. Menurut Menteri Pertanian, cadangan beras surplus 1,6 juta ton. Sedangkan versi Badan Pusat Statistik (BPS), dengan konsumsi beras 136,3 kilogram per kapita, pada tahun 2005 diperkirakan cadangan beras defisit 614 ribu ton. Presiden SBY mengingatkan, beras impor hanya untuk cadangan saja. Menjaga agar mimpi buruk kelaparan tidak terjadi.Akibat impor beras, harga gabah yang diproduksi petani meluncur jatuh dan kesejahteraannya tidak bisa didongkrak. Begitu kira-kira argumen yang menolak impor beras. Tapi agaknya, Presiden tidak hendak kecewa lagi dengan tragedi busung lapar dan malnutrisi yang melanda berbagai daerah beberapa waktu lalu.

Jika demikian, impor beras bukan sekadar memasukkan beras dan menjaga stok nasional. Tapi bagaimana beras sebagai makanan pokok bisa diperoleh rakyat, menjaga stabilitas harga beras agar terjangkau. Dan yang lebih penting, terdistribusi sehingga tidak menjelmakan masalah sosial kelaparan dan busung lapar anak-anak.

Namun, yang tidak bisa dimengerti mengapa Menteri Perdagangan melahirkan kebijakan impor beras –yang akhirnya ditolak Komisi VI DPR– dengan data versi cadangan beras yang tidak seragam, bahkan berbeda secara signifikan. Kita khawatir, setuju atau tidaknya impor beras menimbulkan implikasi lain yakni terganggunya hak untuk memperoleh makanan (rights to food).

Bom waktu

Namun yang perlu dipastikan, hak memperoleh makanan tidak terganggu karena menyangkut hak untuk mempertahankan hidup. Tatkala pertimbangan ekonomi lebih dominan, apalagi dengan basis data kebutuhan dan stok beras yang keliru, maka kebijakan impor beras hanya akan menciptakan ‘bom waktu’ bagi ekses permasalahan baru yang tidak dipikirkan saat ini.

Sama seperti kontroversi data 15,5 juta keluarga miskin yang dikeluarkan BPS untuk ”proyek” bantuan langsung tunai (BLT) atas kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang akhirnya dikoreksi Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas. Bahkan, dengan data yang keliru dan tidak berbasis lapangan, de facto, kebijakan BLT menyisakan korban jiwa, konflik, dan tindakan koruptif.

Yang perlu dipastikan, dengan impor beras, hak makanan bagi rakyat akan terjamin. Realitas busung lapar dan kelangkaan makanan serta malnutrisi tidak terulang lagi. Dalam kacamata konvensi internasional yang menjamin hak-hak anak, dapat mengancam hak hidupnya (rights to life). Lepas dari pendekatan ekonomi-politik yang bergerak dalam kebijakan impor beras, namun yang absolut bahwa rakyat utamanya anak-anak secara universal berhak atas makanan (rights to food).

Kuat sekali korelasi antara rights to food dengan rights to life. Agaknya, pro kontra impor beras versus memberdayakan petani domestik perlu ditatap dalam konteks rights to food sebagai biang rights to life. Lebih jelas lagi, rights to food bagi anak-anak dan orang muda belia, adalah kunci dalam mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup dan perkembangan yang maksimal.

Hak atas makanan

Kelaparan dan malnutrisi yang pernah menjadi penderitaan sebagian negara-negara miskin di dunia, serentak disetujui untuk dicegah terjadi lagi. Hak atas makanan menjadi bagian tindakan nyata bangsa-bangsa beradab. Secara internasional, komitmen itu sudah lama dicurahkan ke dalam komitmen bangsa-bangsa yang beradab untuk menjamin rakyatnya bebas dari kelaparan dan malnutrisi (freedom from hunger and malnutrition) yang sudah dideklarasikan sebagai hak asasi yang mendasar dalam Universal Declaration of Human Rights.

Pada tahun 1996, PBB melalui United Nations World Food Conference juga berkomitmen penuh atas pembebasan bangsa di dunia dari kelaparan dan malnutrisi. Termasuk memberikan fokus perhatian rights to food kepada anak-anak yang paling rentan dari pelanggaran hak atas makanan itu. Perlu disadari bahwa penyediasan makanan kepada anak korelatif dengan mengurangi kematian bayi (infant mortality), meningkatkan harapan hidup anak (life expectancy), dan memerangi malnutrisi.

Bahkan, pada saat kemerdekaan seseorang dirampas sekalipun di dalam penjara, hak atas makan itu dijamin dalam Minimum Standard Rules tentang Perlakuan Terhadap Narapidana. Dalam Pasal 20 Ayat 1 dikemukakan: ”Setiap orang yang dipenjarakan harus diberi oleh pengelola penjara pada jam-jam yang bisa makanan yang bergizi cukup untuk kesehatan dan kekuatan, bermutu menyehatkan dan disiapkan serta disuguhkan dengan baik.”Namun di Indonesia, menurut riset seorang teman, nilai kalori makanan di penjara kita masih rendah jika dibandingkan dengan di panti sosial. Jika hal ini terjadi pada anak, jelas fakta ini adalah diskriminasi kebijakan pemenuhan rights to food tadi.

Relevansi rights to food sebagai kunci rights to life, dapat dilandaskan kepada konstitusi negara yang menjamin hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam Pasal 28 A UUD 1945. Bunyinya: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”Nah, dengan berbagai argumentasi konstitusional dan instrumen internasional itu, maka adalah fatal besar apabila negara mengabaikan hak atas makanan anak-anak sehingga menyeruakkan busung lapar anak-anak. Ironis sekali pro kontra impor beras melupakan konteks rights to food sebagai rights to life. Amat disayangkan, jika kebijakan impor beras hanya masuk dalam kalkulasi ekonomis saja.

Karenanya, menjamin realisasi hak atas makanan bagi anak adalah menjamin hak hidup manusia. Hak yang tidak boleh dikurangi dan jika dilanggar sama dengan melanggar konstitusi yang disahkan negara. Untuk memenuhi rights to food, Pemerintah tidak arif jika mempertimbangkannya dari sisi berapa banyak cadangan beras yang tersedia. Apalagi mempersoalkannya dari data yang berbeda secara kontras dan sektoral.

Pemerintah kerap melemparkan tanggung jawab bila berhadapan dengan masalah sosial atau kemanusiaan yang sebenarnya berakar pada kesalahan kebijakan negara. Seperti dalam isu busung lapar, dengan mudahnya Pemerintah (pusat) melemparkan beban dan kesalahan kepada Pemerintah Daerah, dan menuding akibat diberangusnya program swadaya masyarakat seperti posyandu dan kegiatan ibu-ibu PKK yang tidak lagi berjalan seperti pada zaman Orde baru.Yang pasti, dengan atau tanpa program-program impor beras, tidak justru membebaskan negara untuk bertanggung jawab menjalankan kewajiban konstitusionalnya menjaga rights to food bagi rakyatnya.

Muhammad Joni
Anggota Komisi Advokasi dan Hukum pada Komnas Perlindungan Anak; Dosen FISIP Universitas Nasional
Republika Online – Kamis, 24 Nopember 2005

Leave a Reply