Risalah Hari Kemerdekaan: Monumen Prof.Lafran, dari Amandemen ke Identitas Konstitusi (1)
Sejarah merisalahkan ajaran teladan putra terbaik bangsa. Prof.Lafran Pane (1922-1991) yang memilih takdir profesi pendidik. Sebagai ciri dan fitur utama sosok pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Isalam) yang jejak hidupnya acap berliku.
Lafran pernah melakoni hidup zigzag: ditinggal ibu, diasuh nenek di Sipirok, dibawa kakak sulung Sitiangat ke Medan, hidup bebas di jalanan Medan dan klub motor Senen, Jakarta, bahkan sempat menjadi petinju.
Juga, jejak mengadvokasi rakyat pemotong sapi di kaki Sibualbuali yang minta bantuan hukum dari pungutan paksa pajak “darah” potong sapi oleh penguasa militer Jepang. Lafran selamat, dan nyaris dieksekusi pedang Jepang.
Lafran muda kembali ke Batavia lagi dan hijrah ke Yogjakarta. Di sana dia menjadi mahasiswa, dan mendirikan HMI pas 5 Februari 1947 dengan meminjam jam kuliah Ilmu Tafsir Husein Yahya di kampus Sekolah Tinggi Islam (STI) Jalan Surjodiningratan. Prof. Lafran berlabuh indah menjadi akademisi sampai guru besar IKIP Yogjakarta.
Sebagai akademisi yang konsisten, Prof.Lafran tegar memidatokan pembaruan konstitusi di forum terhormat: pengukuhan guru besar IKIP Yogjakarta, 16 Juli 1970.
Pembaruan konstitusi sinonim perubahan atau amandemen. Lafran muda belia menghendaki perubahan nasib bangsa. Tak seperti jalan hidupnya yang berkelok, namun Prof. Lafran tetap tabah lurus sebagai akademisi yang merdeka sejak hati –meniru judul novel biografi ayahanda Lafran karya A.Fuadi (2019). (Bersambung ke2)
*) Muhammad Joni, SH.MH., Advokat, Ketua MKI, Sekum Badko HMI Sumut (1990-1992).