RTJ (3): Reklamasi Tindakan Pemerintahan, Sebab …
Pelajar hukum akrap dengan adagium ini, “Negara Penjaga Malam” (nachtwaker staat). Adagium klasik itu mengambarkan negara hanya duduk manis menunggu malam bertukar siang.
Kritik atas Negara Penjaga Malam itu memunculkan gagasan Negara Kesejahteraan (welfare staat), yang dianut dalam cita-cita Proklamasi dan UUD 1945. Tema pokoknya, Negara melakukan prestasi positif menyejahterakan rakyat. Negara memiliki sandaran atau basis kewibawaan (de grondslag van het gezag) yang menjadi pembenaran tindakan atau penghalalan dari negara (de rechtvaardiging van de staat).
Termasuk ikhwal ruang dan tanah yang merupakan Hak Menguasai Negara (HMN). HMN lekat dengan kesejahteraan rakyat. Karena itu, pembenaran dari negara hanya dimiliki Pemerintah berdasarkan hukum publik. Hukum perdata (misalnya perjanjian) tidak mengenal de rechtvaardiging van de staat, sebagaimana ajaran guru besar FH UI, Prof.Mr.Djosoetono, dalam bukunya “Ilmu Negara”.
Reklamasi? Ya, sama saja, tersebab relasi tanah reklamasi dengan Negara adalah status HMN. Indonesia-lah yang mereklamasi, baik wewenang maupun tanggungjawabnya. Persis adagium orang Belanda soal reklamasi: God created the earth but the Dutch created the Netherlands”.
Hal wewenang Pemerintah itu eksplisit dalam Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Bunyinya, “Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Tersebab itu, Reklamasi Teluk Jakarta (RTJ) adalah tindakan pemerintahan, bukan melulu korporatisasi. Mengapa tindakan pemerintahan? Ada 5 (lima) alasan yang patut direnungkan dalam-dalam.
Pertama, mengacu Pasal 4 Keppres No. 52 tahun 1995 RTJ berasal dari wewenang dan tanggungjawab reklamasi Kawasan Pantura yang berasal dari Pemerintah, yang dengan Keppres era Presiden Soeharto itu diberikan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Karena apa? Merujuk konsiderannya, kawasan itu kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota, sehingga perlu pengaturan. Sekali lagi perlu pengaturan.
Kedua, masih mengacu Keppres No.52 Tahun 1995, disyaratkan pembentukan kelembagaan yang melaksanakan, yakni Badan Pengendali dan Tim Pengarah dari pemerintah pusat yang diketuai Kepala BAPPENAS, termasuk Menteri PU&PR serta Menteri ATR/Kepala BPN sebagai anggotanya. Kedua “organ” pemerintah itu yang memiliki de rechtvaardiging van de staat.
Badan Pengendali bertugas ganda, yakni (a) Mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan Reklamasi Pantura; (b) Mengendalikan penataan Kawasan Pantura. Jelas dan jernih, Badan Pengendali melakukan tindakan pemerintahan perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan, bukan hanya sekadar membuat regulasi dan memberi ijin pelaksanaan.
Butir ini sesuai dengan semangat HMN dan negara kesejahteraan. Dalam konteks HMN, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat yang menjadi landmark curt decisions ikhwal HMN untuk mendefenisikan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” itu bukan hanya membuat regulasi (regelendaad), namun mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).
Ketiga, masih Keppres No. 52 Tahun 1995, tanah hasil reklamasi itu diberikan Hak Pengelolaan (HPL) kepada Pemprov DKI Jakarta. HPL itu sama saja dengan HMN. Status pemegang HPL bukan sebagai pemilik tanah sebagaimana domein verklaring ala Agrarish Wet versi kolonial Belanda, sebab HPL adalah nama lain HMN yang diberikan untuk keperluan tertentu, yakni pengembangan (dan penataan) problematika kusut Kawasan Pantura.
Keempat, merujuk Pasal 12 Keppres No. 52 Tahun 1995, segala biaya RTJ dilakukan secara mandiri oleh Gubernur DKI Jakarta sebagai pemerintah daerah, dengan membolehkan kerjasama dengan swasta, namun sesuai peraturan perundang-undangan.
Kata “mandiri” adalah keuangan negara/keuangan daerah yang tercatat dalam sistem keuangan daerah (APBD), dan frasa “sesuai peraturan perundang-undangan” menjadi argumentasi RTJ adalah tindakan pemerintahan.
Kelima, objek RTJ adalah tanah dan ruang termasuk perairan pesisir yang merupakan ranah HMN yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Caranya? Rujuklah bimbingan jurisprudensi MK di atas.
Pembaca yang bersemangat. Kita perlu mafhum bahwa tindakan pemerintahan wajib patuh kepada hukum, melakukannya sesuai hukum (rechmatigeheid), sesuai tujuan (doelmatigeheid), dan mengacu asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPYB).
Tersebab itu, RTJ mutlak mematuhi hukum, memenuhi segala perijinan, kepatuhan prosedural. Tentunya, dengan kewenangannya dari Negara mesti menindak pelanggaran yang terjadi.
Terakhir, patut diungkap bahwa dalam rezim hukum administrasi negara, keputusan Pemerintah sebagai bestur handelling itu berlaku efektif saat diumumkan kepada publik. Pun kebijakan itu tidak dituangkan dalam secarik keputusan tertulis. Sumber
Muhammad Joni (Ketua Masyarakat Konstitusi Indnesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute)