Rumah (masih) Bertapak di Tanah

Tak hilang rumah di bumi. Walau angkasa sudah “dikapling”, rumah belum lazim melayang di angkasa. Selagi rumah masih bertapak di atas bumi, tak bisa melepaskan urusan tempat hunian itu dengan hal ihwal tanah. Sudah barang tentu bertemali dengan hukum tanah.

Meski tanah di hamparan bumi ini anugerah Tuhan, tak bisa dipungkiri kepemilikan dan penggunaannya berhimpit dengan soal kapital. Tanah adalah kapital. Karena itu, pembangunan perumahan rakyat kerap berhadapan dengan hambatan tanah sebagai barang atau komoditas biasa.

Salah satu sebab sulitnya merumahkan rakyat adalah kelangkaan tanah. Tepatnya, mahalnya harga tanah. Tak bisa dibantah, mutlak penyediaan tanah untuk perumahan: apakah rumah mewah ataupun rumah rakyat. Yang jadi soal mahalnya tanah untuk merumahkan rakyat, karena itu amanat konstitusi. Kua normatif, skim land bank yang mestinya wajib disediakan Pemerintah, karena sudah masuk dalam UU Nomor 1/2011. Tapi, land bank masih law in book saja. Perlu ihtiar besar agar jadi law in action.

Agar tak terjerat dengan hambatan struktural dan kapital atas tranah. Komponen harga tanah, besar dan signifikan dalam biaya membangun rumah. Akibatnya, harga rumah tak terjangkau dan defisit perumahan alias backlog masih tinggi.

Medio Nopember 2012, saya bertemu dengan kalangan praktisi, pakar dan birokrat bidang perumahan dan permukiman. Acara itu rutin membahas soal perumahan yang dibesut Home and Urban Developmen Institute (HUD Institute).

Zulfi Syarif Koto, Ketua HUD Institute yang kenyang dengan “asam garam” urusan perumahan rakyat, juga mengundang mantan Menteri Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari. Walau usia sudah tak muda lagi, beliau masih ulet menyelesaikan disertasi doktor mengenai kebijakan publik perumahan rakyat.

Setakat berbincang dengan buya Yusuf Asyari, demikian saya biasa menyapanya, saya diminta memberi jawaban dan tanggapan atas beberapa pertanyaan seputar perumahan rakyat. “Pertanyaan tertulis kepada informan kunci”, demikian kira-kira sebut buya Yusuf.

Dalam emailnya 15 Nopember 2012, buya Yusuf Asyari menulis, “sesuai dengan pembicaraan kita di White Elephant Cafe, maka bersama ini saya kirimkan beberapa pertanyaan”

Berikut ini hasil Tanya jawab itu:

Tanya: Cuk Kuswartojo, pakar perumahan dari ITB menyatakan bahwa problem utama urusan perumahan rakyat ada tiga, PEMBIAYAAN, KELEMBAGAAN DAN PERTANAHAN. Bagaimana pendapat anda? Adakah faktor lain yang lebih penting?

Jawab: Selain ketiga hal itu, soal perumahan adalah masalah hukum atau regulasi, baik norma (substansi)-nya maupun penerapannya dalam keadaan konkrit. UU Nomor 1/2011 misalnya, masih menyisakan masalah dan hambatan normatif, seperti masalah luas lantai rumah yang pernah di bawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1/2011 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Soal lain, pasal 34 s.d 37 UU Nomor 1/2011 yang mengatur hunian berimbang (HB).

Ketentuan HB itu menurut saya justru Pemerintah/Pemerintah Daerah ambigu dan menurunkan kadar tanggungjawab dan kewajibannya. Konsep dan norma HB itu adalah ihtiar atau skim untuk mengoptimalkan program merumahkan rakyat bagi MBR, dan juga warga miskin.

Karena itu, beban dan tanggungjawab merumahkan rakyat secara normative dan konstitusional ada pada Negara (state obligation). Bukan justru dialihkan kepada pihak non state actor atau non governmental organization atau badan hukum privat.

Kalau membaca Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011, Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Kata/frasa yang digunakan “wajib”. Bukan “harus”, bukan pula “dapat” yang bisa “iya” bisa “tidak”. Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 itu adalah turunan dari landasan filosofis untuk “merumahkan rakyat” yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Anehnya, mengapa untuk HB justru Pemerintah/Pemerintah Daerah tidak dibebani “wajib” memberikan insentif bagi badan hukum (swasta) yang membangun rumah dengan HB? Inilah inkonsistensi antara Pasal 54 ayat (1) dengan Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011. Sehingga norma UU Nomor 1/2011 itu sendiri justru mengurangi kadar kewajiban Pemerintah menjadi “dapat” yang bersifat fakultatif, yang tidak pasti, tidak mengikat secara memaksa dan ambigu.

Padahal ketentuan tentang HB itu dilengkapi dengan ancaman sanksi hukum jika dilanggar. Karena adanya inkonsistensi, menurut analisis saya, norma itu tidak bisa diterapkan, tidak efektif, hanya “kata-kata mati tak berguna”, dan tidak konkrit di dalam praktik. Selanjutnya, ancaman sanksinya hanya “macan kertas”. Justru hal ini mengesankan Pemerintah “buang badan” dan lepas tanggungjawab untuk merumahkan rakyat utamanya MBR.

Selain itu, UU Nomor 1/2011 tidak memberi fokus kepada ihtiar merumahkan kaum dhuafa atau warga miskin. Jika dibedah pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011, kewajiban Pemerintah merumahkan rakyat hanya untuk kelompok tertentu saja yakni kelompok MBR. Padahal, warga miskin atau dhuafa, jauh lebih miskin dari MBR. Pasal tersebut mengandung diskriminasi yang abai bagi dhuafa atau warga miskin.

Hal lain, begitu banyaknya pasal dalam UU Nomor 1/2011 yang diamanatkan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Jika ditelaah secara substansi norma-nya, sulit membedakan apa kualifikasi dan logika hukumnya suatu norma atau pasal diatur dengan PP atau dengan Permen.

Jika dianalisis berdasarkan UU Nomor 12/2011, sebenarnya Permen hanya mengatur hal-hal yang merupakan lingkup tugas/urusan Menteri. Namun, dalam hal mandat dari norma dalam UU Nomor 1/2011, yang merupakan turunan dari UU, maka lebih tepat jika diturunkan menjadi/ke dalam PP, bukan dengan Permen. Misalnya, ketentuan HB yang diposisikan sebagai kewajiban badan hukum atau pengembang (dengan frasa “wajib”), bahkan dilengkapi dengan ancaman sanksi, lebih tepat jika ditindaklanjuti normanya dengan PP bukan dengan Permen (vide Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 UU Nomor 1/2011).

Tanya: Seberapa pentingkah faktor pertanahan bagi urusan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi rakyat terutama yang berpenghasilan menengah kebawah?

Jawab: Tanah merupakan faktor paling penting dalam perumahan rakyat, karena tanah terbatas, harganya mahal, dan cenderung naik terus menerus. Karena itu, untuk membantu MBR dan mengoptimalkan program merumahkan rakyat, maka masalah tanah tidak bisa dilepaskan secara mekanisme pasar, baik harga tanahnya maupun pengelolaan/penyediaannya. Untuk itu, maka Pemerintah “wajib” menyiapkan land bank bagi program MBR sebagaimana Pasal 54 ayat (3) huruf f UU Nomor 1/2011.

Namun, lagi-lagi dalam pasal 54 ayat (3) UU Nomor 1/2011 adalah pasal yang ambigu karena bukan suatu kewajiban bagi Pemerintah. Tidak ada kata “wajib” sebagaimana maksud Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011. Bahkan Pasal 54 ayat (3) tersebut menggunakan frasa “dapat” yang fakultatif, sehingga tidak pasti, tidak limitatif dan ada celah untuk tidak dilaksanakan karena menggunakan frasa “dapat”.

Di sisi lain, walaupun diakui masalah pengadaan tanah sebagai hal penting, namun UU Nomor 1/2001 ini seakan-akan lepas dari koneksitasnya dengan peraturan perundangan dalam bidang pertanahan. Misal kata, kewajiban untuk membangun HB yang tidak satu hamparan, namun wajib dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota yang sama, padahal urusan lahan sehamparan adalah urusan tanah atau rezim hukum pertanahan.

Karena itu tidak bisa dipaksakan atau seakan-akan lepas dari koneksitas dengan hukum pertanahan. Padahal de facto pada kawasan perumahan banyak yang secara administratif berhimpitan dengan beberapa Kabupaten/Kota bahkan lintas Propinsi, seperti Serpong, Cinere, Cibubur, Cimanggis, dan sebagainya.

Menurut pendapat saya, untuk merumahkan rakyat khususnya MBR terutama juga dhuafa dan warga miskin,maka Pemerintah/Pemda WAJIB menyediakan lahan/tanah dengan konsep land bank, yang bisa dikendalikan harganya tidak menguikuti harga pasar sehingga tak terjangkau bagi MBR atau pengembang untuk MBR.

Oleh karena itu, Pasal 54 ayat (3), Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011 harus direvisi. Jika tidak saya memprediksikan norma itu sulit dilaksanalan sehingga tidak efektif sebagai norma hukum. Lebih dari sekadar norma tidak efektif, namun akan berimplikasi kepada gagalnya program merumahkan rakyat dalam ha ini MBR.

Tanya: Konon pemanfaatan tanah bagi perumahan termasuk kepemilikan asing terbentur pada UU Pokok Agraria. Bila benar, bagaimana duduk persoalannya?

Jawab: Sebenarnya UU PA bukan menjadi penghalang bagi masalah perumahan, oleh karena pembangunan perumahan rakyat sebagai tugas dan kewajiban Negara adalah untuk merumahkan rakyat, sebagai kebutuhan dan HAM. Bukan sebagai investasi atau ekspansi kepemilikan warga asing. Pemerintah tidak semestinya terlalu memberi porsi bagi perumahan untuk warga Negara asing, karena mereka bisa memperoleh hak atas hunian, namun tidak boleh melanggar asas nasionalitas dalam UU PA.

Hal ihwal kepemilikan rumah bagi orang asing bukan prioritas dalam kebijakan dan program Pemerintah, namun mesti prioritas bagi rakyat (MBR, dhuafa), dan untuk maksud itu tak ada resistensi dari UUPA. Oleh karena itu, Pemerintah tidak perlu tergopoh-gopoh membuat regulasi yang membolehkan kepemilikan asing atas tanah, selain yang dibenarkan dalam UU PA.

Tanya: Apa kritik anda pada UU Nomor 1/2011?

Jawab: UU Nomor 1/2011 masih banyak kelemahan, baik norma (substansi), maupun institusi pelaksananya, juga kultur hukum yang ada. Penjelasan soal ini sudah diungkap pada bagian awal.

Adanya inkonsistensi dalam UU Nomor 1/2011 sangat kentara, dengan adanya pasal yang justru mereduksi kewajiban Pemerintah memberikan bantuan, fasilitasi padahal pada pasal lain, dengan jelas dan tegas Pemerintah “wajib” merumahkan rakyat yakni MBR.

Inkonsistensi dan penurunan derajat tanggungjawab dari “wajib” menjadi hanya sekadar “dapat”, menurut saya bukan karena kekeliruan atau kekhilafan teknis dan kelemahan akademis semata namun sangat mungkin karena adanya kepentingan tertentu yang secara teori disebut “persembunyian kepentingan” dalam norma UU, seperti Pasal 22 ayat (3), Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 1/2011. Sehingga, secara praktis harus diluruskan dan direvisi atau bisa juga diuji konstitusionalitasnya ke MK.

Masalah yang belum diatur atau lemah pengaturannya berkenaan dengan penyediaan tanah dan penggunaannya, karena hal itu merupakan wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN) bukan Kementerian teknis. Sehingga, koneksitas dan sinkronisasi dengan hukum agraria dan pertanahan merupakan hal mutlak.

UU Nomor 1/2011 tidak bisa menjangkau dan menegasikan hukum pertanahan. Oleh karena itu, misal kata untuk pengadaan lahan dan sertifikasi harus konsisten dan mengacu kepada hukum pertanahan.

Oleh karena urusan pertanahan adalah urusan pemerintahan Pusat, dan tidak diotonomisasi, maka hal ihwal pengadaan tanah akan sulit jika UU Nomor 1/2011 tidak mengaturnya secara sentralistik dan tidak bisa diberikan otonomisasinya kepada daerah. Untuk maksud itu, urusan pengadaan tanah untuk perumahan mesti diatur substansinya dengan BPN, dan institusi pengelolaannya secara sentralistik pula, sehingga tidak tepat dan tidak jalan jika urusan perumahan seluruhnya diotonomisasi ke daerah.

Tanya: Urusan perumahan rakyat, desentralisasikan atau sentralisasi?

Jawab: Ada hal yang bisa diotonomisasikan, seperti teknis pembangunan, pembiayaan dan luas serta bentuk rumah yang khas daerah, bisa diatur sendiri oleh daerah.

Namun, karena rumah dibangun diatas tanah, bukan diatas udara, maka pembangunan rumah MBR berkaitan langsung dengan hukum pertanahan.

Untuk pengadaan lahan dan sertifikasi harus konsisten dan mengacu kepada hukum pertanahan. Oleh karena urusan pertanahan adalah urusan pemerintahan Pusat, dan tidak diotonomisasi, maka hal ihwal pengadaan tanah akan sulit jika UU Nomor 1/2011 tidak mengaturnya secara sentralistik dan tidak bisa diberikan otonomisasinya kepada daerah.

Untuk maksud itu, urusan pengadaan tanah untuk perumahan mesti diatur substansinya dengan BPN, dan institusi pengelolaannya secara sentralistik pula, sehingga tidak tepat dan tidak jalan jika urusan perumahan seluruhnya diotonomisasi ke daerah.

Tanya: Bagaimana peran Kementerian Perumahan Rakyat?

Jawab: Pemerintah harus menjalankan tugas sebagai regulator, pengawas, fasilitator, pemberi izin, dan dalam hal tertentu sebagai operator (pembangun) rumah rakyat.

Tanya: Ada hal lain yang penting?

Jawab: UU Nomor 1/2011 banyak sekali mengamanatkan PP dan Permen, dan secara teoritis tidak bisa jalan apabila tanpa Peraturan Pelaksana dimaksud. Yang prioritas untuk dibuat pengaturannya adalah mengenai fasilitasi, bantuan dan kontribusi Pemerintah/Pemda dalam merumahkan rakyat, sehingga dalam keadaan konkrit yang harus dibuat segera adalah PP atau Permen yang melaksanakan Pasal 54 ayat (1), bukan justru membuat Permen yang mengatur kewajiban badan hukum misalnya dalam HB.

Mengapa? Skim HB secara objektif tidak akan berjalan jika tidak didukung skim fasilitasi, bantuan dan dukungan Pemerintah. Lagi pula, hal merumahkan rakyat atau MBR adalah kewajiban Negara (state obligation) yang dilaksanakan Pemerintah selaku eksekutif. Bukan kewajiban non state actor ataupun pihak swasta yakni pengembang.

Jika justru meminta dilaksanakan lebih dulu kewajiban badan hukum/pengembang, hal itu adalah sungsang, tidak objektif, tidak dapat dilaksanakan dan tidak logis.

Oleh karena itu, Kementerian Perumahan Rakyat membutuhkan skenario hukum dan legal enginerring untuk melaksanakan program merumahkan rakyat utamanya dhuafa dan MBR.

Leave a Reply