Rumah, Pot Bagi Benih Nasionalisme
Lengket dan tak terpisahkan, begitulah kesatuan orang dengan nama-nya sebagai identitas, apa pun dan berapapun alias yang dimilikinya. Lengket pula dengan nama sebagai identitas adalah alamat atau tempat tinggal alias rumah hunian. Dalam borang isian apapun yang pernah anda isi, tempat tinggal selalu mengikuti nama. Kua-juridis, sosologis ataupun ekonomis, nama selalu melekat dengan alamat tempat tinggal.
Dalih sederhana dan mendasar itu cocok sebagai justifikasi mengapa setiap orang mempunyai hak atas nama dan hak atas tempat tinggal. Soal hak atas tempat tinggal itu sudah dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Sebuah kemajuan konstitusional.
Boleh dikatakan, paska amandemen UUD 1945 kaya kandungan hak asasi manusia. Tak salah jika menyebutnya “human rights constitution”. Termasuk mengandung jaminan konstitusional hak atas tempat tinggal alias rumah hunian. Secara konstitusional setiap orang berhak bertempat tinggal, yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Seorang kolega dan sahabat saya, Dr. Khairul Alwan Ar-Rivai Nasution, dosen pasca sarjana UI, yang menguasai holistic justice and law, menyebutkan dalam catatan sejarah, dimulai dari rumah-lah founding fathers pendiri bangsa menyemaikan paham nasionalisme. Tak salah dari rumah pula kemajuan dan peradaban disemaikan. Solidaritas, cinta kasih, anti kekerasan dan toleransi dibibitkan. Mengertikah anda duhai regulator, begitulah arti pentingnya rumah bagi bangsa ini.
Kita kembali membahas HAM. Hak atas perumahan dijamin dalam instrumen atau konvensi internasional. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, adalah hak ekonomi sosial budaya. Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, social dan budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right) dengan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right.
Hak atas rumah sebagai HAM secara eksplisit sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 40 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Pengakuan dan jaminan terhadap hak atas rumah sebagai HAM adalah bukan hanya sekadar pernyataan atau declaration bahwa rakyat berhak atas rumah dan karenanya Pemerintah menyediakan perumahan rakyat, akan tetapi merupakan komitmen sebagai masyarakat internasional yang beradab yang menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, dimana Indonesia senantiasa aktif dalam kegiatan yang diprakarsai oleh United Nation Center for Human Settlements, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II yang mengakui bahwa rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau.
Dalam Millenium Development Goals (MDGs), yang menjadi indikator pembangunan kesehateraan manusia juga memberikan indikator keterjangkuan memperoleh rumah bagi semua, antara lain mengemukakan bahwa “Sebagai dasar yang fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan yang bermartabat, damai, aman dan nyaman, maka penyediaan perumahan dan permukiman yang memenuhi prinsip-prinsip yang layak dan terjangkau bagi semua”.
Hak memiliki rumah untuk tempat tinggal adalah hak konstitusional yakni hak untuk mempunyai hak miliki pribadi yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Dengan demikian setiap orang atau warga masyarakat mempunyai hak konstitusional untuk membangun, membeli dan memiliki sebagai hak milik pribadi atas unit rumah, dalam segala bentuk apapun, apakah itu rumah tunggal ataupun rumah deret, ataupun rumah susun (vide Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2011). Demikian pula halnya setiap orang atau warga masyarakat mempunyai hak konstitusional untuk membangun, membeli dan memiliki sebagai hak milik pribadi atas unit rumah apakah membangun sendiri atau rumah swadaya, ataupun jenis rumah yang dikualifikasi sebagai rumah komersial ataupun rumah umum.
Dengan berdasarkan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 tidak ada halangan juridis konstitusional bagi setiap orang atau warga masyarakat membangun, membeli dan memiliki unit rumah. Dengan jenis apapun dan dengan bentuk apapun, termasuk tentunya dengan luas lantai berapapun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Sebagai pemilik tanah atau lahan berhak menggunakannya untuk membangun rumah tempat tinggal, dengan luas tanah/lahan berapapun, sehingga adanya ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011, bukan saja menghalangi menggunakan dan memanfaatkan hak milik pribadi yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, akan tetapi juga mengakibatkan:
(a) Tidak termanfaatkan atau menganggurnya lahan dengan luas dibawah 36 meter persegi, sehingga menjadi kapital mati atau menganggur yang tidak bisa dioptimalkan nilai ekonominya, dan karenanya menimbulkan ketidakadilan dalam kesempatan memperoleh pendapatan.
(b) Tidak termanfaatkannya atau menganggurnya lahan di kawasan permukiman dengan luas dibawah 36 meter persegi, sehingga akumulasi lahan yang luasnya dibawah 36 meter persegi tetapi tidak dapat dikembangkan menjadi rumah, sehingga sangat mungkin menjadi kawasan permukiman kumuh dan tidak bisa dioptimalkan nilai ekonominya.
(c) Keadaan sebagaimana huruf (a) dan (b) diatas, dalam perspektif juridis konstitusional menjadi kausal terganggunya hak atas perlindungan harta benda yang berada dibawah kekuasaan setiap orang atau warga masyarakat yang dijamin dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945;
Oleh karena hak konstitusional untuk mempunyai hak milik pribadi, termasuk dalam hal ini hak milik pribadi atas rumah yang dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, maka tidak ada alasan konstitusional untuk menghalangi dan mencegah atau melarang setiap orang atau warga masyarakat membangun, membeli dan memiliki rumah dengan luas lantai berapapun asalkan dilakukan dengan/atas alas hak dan kepemilikan yang sah.
Itulah sebabnya mengapa Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 yang berbunyi “Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”, bertentangan dengan pasal 28H ayat (1) dan (4) UUD 1945 oleh karena:
(a) secara konstitusional tidak boleh membuat pembatasan yang menghambat hak setiap orang untuk memperoleh hak milik pribadi atas rumah tempat tinggal, dimana hak atas milik pribadi tersebut merupakan hak konstitusional yang dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945;
(b) berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 39/1999, setiap orang berhak mempunyai milik pribadi sebagai HAM sehingga ketentuan Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2011 tidak boleh menjadi hambatan bagi setiap orang untuk memperoleh hak milik pribadi yakni hak atas rumah untuk tempat tinggal.
(c) hak untuk membangun dan memiliki rumah sebagai hak milik pribadi adalah hak konstitusional yang secara eksplisit dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, maka setiap orang atau warga negara mempunyai kemerdekaan untuk memiliki/ membeli rumah, walaupun luas lantainya kurang 36 meter persegi.
(d) apabila orang atau warga masyarakat hanya mempunyai lahan tanah kurang 36 meter persegi, maka secara juridis konstitusional tidak boleh dihambat atau dikurangi haknya membangun rumah dalam jenis dan ukuran luas lantai berapapun.
Jika demikian, bisa jadi lantai rumah itu sudah bertentangan dengan konstitusi hak asasi manusia. Melawan human rights constitution, membungkam nasionalisme. Kalau pak Dr. Khairul Alwan Ar-Rivai Nasution membaca ini, walaupun tengah mendengar lantunan “nurul kawakib”, berkenan melengkapi esay sederhana ini dengan pendekatan holistic, bahwa: rumah itu pot bagi bibit nasionalisme.