RUU Kesehatan (Omnibus Law): Penting Mana, MKDKI atau Lapangan Parkir?
Bagaimana rasanya ketinggalan bus dalam perjalanan ke negeri baru? Agaknya, itu perumpamaan nasib MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). “Negeri baru” itu ialah ciptaan RUU Kesehatan (Omnibus Law).
MKDKI itu institusi “peradilan” disiplin profesi kedokteran dibentuk dengan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jika ada sengketa medis atawa bahkan dugaan malpraktek medis, antara Pasien versus Dokter dan juga Dokter Gigi, MKDKI majelis yang menyelesaikan.
Banyak sengketa medis Pasien versus Dokter dan Dokter Gigi efektif diselesaikan di “meja kehormatan” MKDKI. Tak harus masuk meja hijau: peradilan pidana ataupun perdata. Malah dalam praktik, laporan pidana malpraktik medis dipersyaratkan Kepolisian RI, dengan putusan MKDKI, lebih dulu.
Menjadi Tenaga Medis itu berat, biar Dokter saja! Karena Dokter (dan Dokter Gigi), terikat 3 norma sekaligus: norma disiplin, norma etika, dan norma hukum. Tersebab itu, profesi Dokter manjadi istimewa, begitu titah kaidah Mahkamah Konstitusi RI.
Tercecernya institusi MKDKI –sang pengadil disiplin kedokteran– dalam bus besar dan omni, apa begitu watak original Omnibus Law (OBL) yang hendak dibangun di negeri ini? Atau, karena pernah RUU karya “anonim” –yang sempat saling tak mengaku siapa pembuat naskah awalnya itu, disusun tidak cermat begitu? Jamak khilaf. Terburu-buru. Atau, faktor by design disengaja?
Padahal, MK RI berpendapat bahwa MKDKI eksis untuk menjamin keadilan. MKDKI melekat pada KKI yang independen. Yang menjaga 3 hal: mutu praktek kedokteran, membina disiplin kedokteran, dan perlindungan masyarakat (vide Pertimbangan Angka 3.13 Putusan MK RI Nomor 82/PUU-XIII/2015).
Dengan putusan itu, KKI yang ditargetkan bubar, namun bertahan dan gagal bubar, dengan Putusan MK RI. Selaku kuasa hukum perkara No.82/2015 aquo, jauh sebelum RUU Kesehatan (OBL) mencuat, zat halus intuisi saya sudah kuatir stadium tinggi. Kemandirian KKI juncto eksistensi MKDKI hendak digoyang, lagi.
Ironi hilangnya norma MKDKI di “negeri baru” RUU Kesehatan (OBL), mencemaskan publik. Merusak tatanan hukum yang dirawat putusan MK RI. Adalah prinsip hukum yang totok, bahwa materi muatan institusi peradilan, seperti halnya MKDKI yang bersifat permanen (bukan adhoc), dibentuk dengan UU. Sekali lagi dengan UU, bukan aturan di bawah-bawahnya.
Begitulah marwah kehormatan MKDKI dalam UU Praktik Kedokteran, yang disahkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Salut. Itu, tentu warisan peradaban hukum Presiden Megawati Soekarnoputri.
Putusan MKDKI tinggi marwah kehormatan. Analog seperti putusan pengadilan, putusan MKDKI juga dimulai dengan irah-irah: ‘Demi Kehormatan Profesi Kedokteran Indonesia Berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa’.
UU Praktik Kedokteran produk era reformasi itu hendak dicabut nyawanya dengan RUU Kesehatan (OBL). Ajaibnya, pencabutan itu setengah hati, karena tidak untuk segenap aturan anak turunannya.
Majelis Pembaca. MKDKI itu penegak disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Penegakan norma disiplin adalah domein profesi kedokteran, bukan pemerintah cq.eksekutif cq.Menteri Kesehatan.
Sebab itu MKDKI ialah “sayap” KKI yang bertanggungjawab kepada KKI (vide Pasal 56 UU Praktik Kedokteran). Tak patut dalam ilmu keadilan, badan penegak disiplin kedokteran bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan, melalui KKI (vide Pasal 317 ayat 2 RUU Kesehatan).
KKI itu independen dan bertanggungjawab kepada Presiden (vide Pasal 4 ayat 2 UU Praktek Kedokteran). Ya, tentu selaku kepala negara.
Bahkan, wewenang mengadili peninjauan kembali putusan majelis pun, diambil Menteri Kesehatan (vide Pasal 323 ayat 1 RUU Kesehatan). Dalam perkara hukum, Peninjauan Kembali (PK), itu hanya wewenang Mahkamah Agung RI. Sistem hukum yang berlaku saat ini, putusan MKDKI dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Jadi, diuji ke badan yudikatif, bukan membuka meja hijau “PK” ke badan eksekutif cq.Menteri Kesehatan.
Menteri Kesehatan saat ini yang mestinya fokus menurunkan angka prevalensi stunting anak saat ini, dan bersumpah menjaga konstitusi dan hukum saat ini, masihkah badan eksekutif pembantu Presiden RI saat ini, atau hendak menambah kekuasannya ke ranah yudikatif, nanti?
Yth. Bapak Presiden, ijinkan patik menyampaikan pendapat. Bahwa MA RI dan MK RI adalah Kekuasaan Kehakiman cq. yudikatif tertinggi, vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Jika MKDKI tidak bunyi dalam RUU Kesehatan ini, dan apalagi “PK” putusan majelis kehormatan disiplin kedokteran a.k.a MKDKI diambil Menteri Kesehatan, kiranya sistem pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, bakal terkoyak? Kewibawaan konstitusi musti dijaga dan disehatkan, pak Presiden.
Bukan keuangan saja, logika hukum pun bisa inflasi, sebab kelembagaan hukum dari badan penegak disiplin kedokteran, hendak dijungkir balik? Ahaa, ajaib jika eksekutif hendak mengadili disiplin profesi kedokteran.
RUU Kesehatan yang meniadakan MKDKI, itu menurunkan marwah dan kehormatan MKDKI. Juga, runtuhnya saluran utama bagi rakyat cq. Pasien pencari keadilan disiplin kedokteran. Jika saluran keadilan juncto kehormatan profesi kedoktetan itu dinihilkan telak dan langsung, dengan bunyi verbatim RUU Kesehatan yang meniadakan norma MKDKI, jangan heran pada masanya nanti sengketa medis Pasien versus Dokter dan Dokter Gigi, bak menyiapkan jalan tol langsung, dan akhirnya “booming” perkara senhketa medis di pengadilan, laporan pidana dan gugatan perdata.
Pasien pun berseteru panjang dengan rumah sakit, tenaga kesehatan, dan dokternya di pengadilan. Padahal, pengadilan adalah ‘the last resort’: upaya terakhir. Budaya hukum itukah yang hendak dipersiapkan RUU Kesehatan di negeri baru, nanti? Belum tentu Menteri Kesehatan ialah beliau yang menjabat era kabinet sekarang. Namun dengan jurus OBL, RUU segera ketok palu menjadi UU Kesehatan yang baru. Konon siap jalan dengan aturan pelaksana versi lama yang masih diberlakukan. Atau, takdir masa depan politik hukum berkata lain, konstitusionalitas UU itu digugat, langsung apkir, dan diparkirkan?
**
Pembaca yang bersemangat. Di bagian lain, namun derajatnya sama penting, masih RUU Kesehatan (OBL), ternyata mengatur rumah sakit. Bukan hanya pelayanan medis, namun termasuk bangunan fisik rumah sakit.
Dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, memang ada syarat 21 ruang bangunan rumah sakit, termasuk diantaranya: ruang inap, gawat darurat, operasi, radiologi, laboratorium, sterilisasi, farmasi. Bahkan ruang dapur, laundry, taman, juga pelataran parkir!
Syarat itu tertera dan menjadi norma dalam Pasal 10 ayat 2 UU Rumah Sakit. Ya.., dalam UU, bukan Permenkes. Hebat. Ada anasir properti dan infrastruktur pada rumah sakit. Pembaca, mari cam kan perlahan-lahan, ada pelataran parkir dalam UU.
Itu benar. Cocok, patut dipertahankan di negeri baru bernama: RUU Kesehatan, yang hendak mencabut UU Rumah Sakit. UU yang disahkan pada era Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebelumnya belum ada UU yang mengatur rumah sakit. Itu warisan peradaban hukum Presiden SBY.
Dalam RUU Kesehatan (OBL) Pasal 185 huruf f, rumah sakit wajib menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak, termasuk: parkir! Ini titik kesamaannya, UU Rumah Sakit dan RUU Kesehatan sama menghargai tingggi (lapangan) parkir –yang lazimnya berbayar. Beda nasib dengan (lapangan) MKDKI, yang disisihkan, atau setidaknya diparkir ke luar rezim UU Kesehatan yang baru
Majelis Pembaca. Ini hanya pertanyaan satir juncto menggelitik syaraf jenaka. Kalau MKDKI sebagai penegak disipilin dihapuskan, digusur dari UU Praktik Kedokteran, dan MKDKI tak masuk lagi dalam materi muatan RUU Kesehatan, sontak kawan “kembaran” saya bertanya: lebih penting mana? MKDKI atawa lapangan parkir? Tabik. (Advokat Muhammad Joni)